Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cahaya yang Terus Menyala, Mengamati Keberadaan Lansia di Yogyakarta

12 November 2018   23:51 Diperbarui: 13 November 2018   00:10 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Namun, berkali-kali saya juga mendapati orang-orang baik masih eksis dan nyata adanya, membantu para lansia ini dengan cara membeli dan menggunakan jasa yang ditawarkan. Ini sangat adil, sebab kepuasan sebagai manusia baik berusia muda ataupun lansia adalah; orang-orang mempercayai karya kita. 

Sebab bila hanya sekedar menunggu belas kasih, tentu si mbah-mbah ini hanya menunggu bantuan pemerintah atau lembaga sosial yang tidak dapat ditebak kehadirannya. Sehingga yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri adalah dengan terus bergerak, mencari, berupaya, dan berusaha dengan berbagai cara.

Pada suatu hari yang terik, saya pernah kesiangan berangkat ke Sunday Morning. Saya melihat seorang si Mbah Lanang yang kegirangan karena mendapatkan banyak sampah botol minuman yang telah disusun rapi di karung. Saking baerlimpahnya, karung yang padat tersebut tidak dapat diseret atau ditarik seperti biasanya, maka si Mbah Lanang meletakan di atas kepala.

Hari itu matahari sangat terik, sampai-sampai saya juga merasa seperti tidak sanggup pulang dengan jalan kaki. Kebetulan setiap minggu, saya seringkali berpapasan dengan si Mbah Lanang, tidak banyak membantu, hanya senang dan mendoakan kebaikan untuknya setiap kali mendapatkan kesempatan berjumpa di hari Minggu. 

Kembali ke soal si Mbah Lanang, dengan karung di atas kepala dia berjalan tergopoh-gopoh, berjalan hingga kemudian semua orang dikagetkan dengan pemandangan di Mbah Lanang ambruk di jalan. Kulit wajahnya yang keriput, sontak mengeluarkan darah segar ketika bergesekan dengan aspal panas.

 Beberapa orang sigap membantu, membawanya ke tepi jalan yang beratap sehingga dia bisa bersandar. Beberapa memberi bantuan uang, makanan, minuman, dan ternyata si Mbah memang merasa sangat haus dan pelan-pelan berbisik : "Lapar". Saya tahu, hari itu adalah berkat baginya, sehingga berangkat sejak pagi sampai lupa  sarapan.

Dari bisik-bisik para pedagang menyebutkan kalau si Mbah Lanang masih memiliki keluarga tapi kenapa dibiarkan mengumpulkan sampah botol plastik. Mungkin yang menggugatnya merasa sangat iba dengan kondisi fisik si Mbah Lanang yang telah renta.

Tetapi satu hal yang tidak banyak dipahami adalah orang-orang yang berusia senja terkadang tidak hanya membutuhkan uang ketika melakukan sesuatu, tetapi aktivitas yang menuntut tubuh bergerak, bertemu dan berinteraksi orang-orang, menjumpai teman-teman lama, dan memiliki uang yang dapat dibagikan untuk cucu tanpa harus dianggap lemah dan bergantung kepada anak-anaknya, merupakan kebutuhan psikis yang harus dipahami dan dilekatkan kepada orang-orang tua. Sebab, tidak ada manusia yang ingin terlihat lemah di hadapan manusia yang lain.

Di Prawirotaman saya pernah menyapa seorang Mbah Puteri yang berjualan di sekitar pasar tradisional, orang-orang tua memang senang sekali bertutur tentang setengah pengalaman hidupnya yang mengendap di dalam kepala dan ujung-ujung perasaan. Kepada saya, dia berkisah bahwa telah berpuluh-puluh tahun berjualan kelapa yang diparut tangan.

Di antara revolusi teknologi yang sangat pesat, tentu saya tidak dapat menerima pandangan sebab segala sesuatu telah menjadi praktis karena teknologi.

Tetapi kemudian saya mendapatkan pelajaran dari si Mbah Puteri bahwa kerjanya adalah rutinitas yang mengandung banyak sekali mutualisme; bergerak, olahraga, interaksi dengan pelanggan loyal, bercerita, berbagi senyuman, berbagi makanan, berbagi keluh-kesah saat musim hujan atau sepi pelanggan, tapi tidak ada keluhan, semua tetap disyukuri sebagai berkat yang tiada habis dengan senyum penuh yang setia di ujung bibirnya. Proses hidup yang bertahap menyeimbangkan dirinya dan membawa si mbah-mbah menjadi sosok yang semestinya dihormati, begitu juga setiap pilihannya yang perlu didukung dan dipahami. Seperti cahaya yang terus menyala, kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun