Sejak ibu mulai buka warung makan sederhana, secara tidak langsung saya menyadari bahwa beliau menjadi lebih "aktif dalam berbicara" ketika sedang ngobrol dengan orang lain khususnya pelanggan. Hal ini saya anggap wajar karena proses komunikasi sehari-hari yang telah berlangsung lebih dari lima tahun. Kepada saya yang merupakan anaknya yang tinggal jauh dari rumah, beliau tidak pernah mengeluh atau bercerita tentang apapun yang terjadi di rumah. Kadang komunikasi kami menjadi lebih kaku, tetapi yang harus saya pahami adalah komunikasi menjadi terbatas karena waktu-waktu setelah pulang dari warung biasanya digunakan ibu untuk bersilaturahmi dengan tetangga, anggota keluarga, sementara ketika malam hari adalah waktu untuk beristirahat bagi ibu, menenangkan jiwa, pikiran, dan dirinya, sebab pekerjaan esok hari menunggu untuk dilakukan.
Pada tahun 2013, Liputan6.com pernah membuat ulasan tulisan mengenai perbedaan kebutuhan bicara antara laki-laki dan perempuan. Dalam beritanya tertulis, seorang peneliti bernama Margaret McCarthy dari Universitas Maryland melakukan penelitian dengan menguji sampel sebanyak 10 responden yang terdiri dari anak laki-laki dan perempuan berusia tiga dan lima tahun. Hasilnya anak-anak perempuan memiliki protein 30 persen lebih banyak dibandingkan FOXP2 yang terdapat pada anak laki-laki. FOXP2 merupakan salah satu protein yang terdapat dalam otak manusia, protein tersebut merupakan protein kunci yang berkaitan dengan kemampuan bahasa di dalam otak manusia. Hasil penelitian secara biologis, menunjukkan bahwa kemampuan berbicara perempuan lebih komunikatif dibandingankan laki-laki disebabkan kadar protein FOXP2 yang terdapat dalam otak manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Dalam penelitian Psikologis juga menunjukkan bahwa perempuan dikenal sebagai makhluk yang lebih komunikatif dan senang mengobrol sejak usia muda. Anak perempuan belajar berbicara lebih awal dan lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki penyimpanan kosakata lebih banyak dengan berbagai jenis kalimat yang lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun secara Sosiologis, hal ini tidak dapat sepenuhnya dibenarkan karena dalam proses adaptasi dengan objek lain disekitarnya. Seseorang yang memiliki kepribadian pendiam bisa saja menjadi lebih komunikatif ketika berada dalam lingkungan yang mengharuskan dan mendukungnya untuk menjadi obyek yang "banyak berbicara". Menurut pandangan penulis seseorang yang sedikit berbicara bukan merupakan obyek yang lebih dominan dibandingkan yang lain namun kondisi ini berkaitan juga dengan kondisi psikis pada saat proses komunikasi terjadi, misalnya menyesuaikan dengan suasanan hati, suasana lingkungan, akumulasi dari peristiwa sosial yang terjadi sehari-hari.
Bila dikaitkan dalam cerita Ibu Baik di awal tadi, dapat kita ketahui bahwa komunikasi itu sendiri terjadi lebih karena beban kerja ganda perempuan dan konsekuensi sosial yang menggambarkan bahwa proses mendengarkan menjadi sesuatu yang jarang terjadi di saat ini, khususnya bagi perempuan ataupun masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan. Sekedar kesimpulan singkat dari penulis, mendengarkan dapat menyembuhkan luka dan menunda kesepian yang dapat menyebabkan depresi, sehingga saat ini menjadi penting untuk mulai berlatih mengasah kemampuan mendengarkan, dapat dimulai dengan mendengarkan cerita keseharian dari orang-orang di sekitar kita. Salam!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI