Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ear For Other Ear : Telinga Sosial bagi Sesama Manusia

16 Agustus 2018   19:18 Diperbarui: 5 November 2018   17:06 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari, seorang teman membeli pecel lele di warung makan lesehan yang berada tidak jauh dari kosnya, penjualnya adalah seorang ibu setengah baya, suaminya telah lama meninggal dunia. Teman saya rutin membeli makan disana karena memang beberapa kos di area Jalan Kaliurang tidak serta merta strategis mau menyediakan fasilitas dan lingkungan sosial yang melegakan, harga sewa kos biasanya berbanding lurus dengan fasilitas di sekitarnya. Pecel lele, adalah jenis lesehan yang awam sekali dijual khususnya di area Yogyakarta.

Setiap kali beli di lesehan pecel lele ini, teman saya mengingat betul bahwa ibu ini senantiasa bercerita tentang apa saja, hampir seluruh cerita yang dia alami tentang kehidupan sehari-hari. Maka puncaknya, sebagai bentuk empati lalu teman saya ini mengupload foto ibu penjual pecel lele ini melalui story whatsapp sembari mendoakan ibu tersebut selaiknya ibu sendiri. Lalu saya tertarik untuk menceritakan ulang dengan peristiwa yang juga saya amati sehari-hari.

Saya dan teman saya membuat percakapan melalui whatsapp untuk mengulas pengalamannya saat mendengarkan cerita dari seseorang asing yang relatif baru dia kenal. Menurut tuturan teman saya, si Ibu penjual pecel lele merasa tidak sungkan untuk menceritakan pengalamannya tentang keluarga seputar kondisi anak, jumlah tabungan, asuransi, cerita pembeli lainnya yang mampir ke kedainya, ataupun eksplorasi jenis masakan baru yang sedang dia coba. Teman saya ini, belakangan saya kenali sebagai orang yang sangat luwes dan terlatih dalam mendengarkan lawan bicara, entah dia mendapatkan keterampilan hebat ini dari mana. Namun, saya dapat mengerti bahwa Ibu penjual pecel lele memilih untuk “percaya” mengeluarkan uneg-uneg perihal pengalaman hidupnya.

Sebaliknya, dalam pandagan teman saya ini justru merasa heran, kenapa semua cerita itu dituturkan kepadanya—seseorang anak laki-laki yang baru dikenalnya bahkan dia cenderung bersikap biasa saja setiap kali makan di lesehan tersebut. Lalu dia sempat mempertanyakan balik kepada saya apakah kira-kira kejadian ini hanya berlaku kepada dia sebagai pembeli rutin, ataukah ini juga berlaku bagi pembeli yang lainnya.

"Kira-kira, kemana ya keluarganya, kenapa dia cuma menceritakan kepada saya Kak?" Tanya teman saya dalam pesan singkat. Saya tidak langsung membalasnya, tetapi mengingat sedikit pengalaman personal yang mirip dengan kejadian demikian.

"Keluarganya, ya ada. Tetapi tidak kan tidak semua orang “ada” dan bersedia mendengarkan cerita orang lain, “ada” dalam konteks era serba cepat ini yang perlu ditinjau ulang. Kadang ada orang yang “ada” tetapi pasif dalam mendengarkan, lalu “ada” juga yang keberadaan yang berbentuk kata kerja aktif. Artinya orang tersebut bersedia mendengarkan semua cerita lawan bicara. Kadang platform dalam handphone bukan menjadi kendala, tetapi kebersediaan orang untuk “ada” dalam cerita itu yang membuat seseorang serta-merta untuk bercerita. Yang menggerakkan kepercayaan itu ya kadang-kadang sesuatu yang didorong dari hati, “ya percaya aja”. Padahal semua orang ingin didengarkan. Tidak, saya ralat. Semua orang butuh didengarkan di era serba cepat ini". Pesan ini menggantung di dalam batin saya sendiri, tidak pernah saya kirimkan sebagai balasan kepada teman.

Cerita ini sekaligus menjadi pengingat yang menyindir saya yang saat ini masih memiliki ibu berusia paruh baya dan setiap hari berkutat dengan aktivitas usaha kuliner. Di satu sisi saya kadang terdistraksi dan merasa egois, bertumbuh sendiri, sementara saya lupa bahwa ada ibu, seorang perempuan lainnya yang juga membutuhkan ruang bertumbuh di dalam dirinya. Salah satunya kebutuhan untuk didengarkan, beruntung ada adik-adik yang berada dekat dengan ibu. Yang kemudian menggantikan peran saya sebagai anak sulung untuk menjaga ibu. Berdasarkan salah satu artikel yang pernah baca, mengingatkan saya bahwa menjelang usia tua manusia memang membutuhkan lebih banyak ruang untuk berbagi dan terkait kebutuhan untuk didengarkan. Hal ini lebih karena pengalamannya yang telah didapatkan selama ini, memanggil seseorang untuk dapat berbagi dengan manusia lainnya. Tetapi bukan berarti orang di usia senja tidak ingin mendengarkan orang-orang muda, ini lebih karena kinerja biologis dan psikis di dalam diri seseorang.

Berbagi cerita itu tidak mudah, seseorang butuh seseorang dengan karakteristik tertentu untuk dapat menjadi "telinga" dan "kotak rahasia" atas cerita-ceritanya yang beragam. Iya, krisis ini sampai pada kenyataan bahwa seseorang hanya membutuhkan "sekadar telinga" tidak terlalu butuh direspon atas suatu cerita, atau ditambahi berbagai cerita lain dari lawan bicara. Kemampuan mendengarkan juga sesuatu yang mahal di era post-truth seperti saat ini, semua orang mengasah diri untuk bersuara dan ekpresif namun lupa mengasah kemampuan mendengarkan, termasuk juga kemampuan mendengarkan diri sendiri.

Meskipun terkesan egois, tetapi realitanya begitu. Dalam konteks yang dialami teman saya tadi, saya meyakini bahwa teman saya memang menjadi orang yang terpilih untuk dapat mendengar semua cerita yang disampaikan oleh ibu penjual pecel lele. Teman saya itu baik sekali, memang seringkali menjadi "telinga" bagi teman-teman lain yang membutuhkan sekedar pundak.

Saya ingin sedikit memahami ibu penjual pecel lele, dalam tulisan ini saya ingin menamainya sebagai Ibu Baik. Sebagai perempuan yang berdagang kuliner umumnya secara fisik dan psikis rentan mengalami kelelahan. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, seorang ibu pedagang menghadapi pekerjaan lebih keras dengan jam kerja lebih dari delapan jam setiap hari, pekerjaanya pun tidak mudah karena dilakukan di satu tempat yang cenderung monoton, nyaris tanpa hiburan. Yang dilakukan ibu-ibu ketika berkumpul sering dilabeli sebagai kegiatan “ngerumpi” yang seringkali dianggap tidak bermanfaat. Namun lebih jauh dari itu, ibu-ibu yang berkumpul dan berbicara sebenarnya adalah ruang untuk berbagi, silaturahmi, saling mengecek kondisi masing-masing. Aktivitas ini lebih banyak dilabelkan dengan sesuatu yang negatif dibanding dilihat sebagai ruang solidaritas bagi ibu-ibu.

Aktivitas domestik yang dilekatkan bagi seorang ibu membuat seorang perempuan yang sudah menikah menjalankan peran ganda dalam rumah tangga. Ketika bekerja di warung, perempuan yang bekerja sebagai pedagang yang melakukan pekerjaanya secara manual biasanya bersikap aktif menunggu dan melayani pembelinya datang ke warung. "Bila sudah upreg di warung, biasanya tidak bisa menyambi kegiatan yang lain. Hanya fokus dengan aktifitas jualan". Itu yang pernah disampaikan ibu dalam suatu waktu, ketika saya menyadari bahwa di siang hari beliau tidak bisa membalas pesan whatsapp, segenting apapun isi pesannya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun