Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demo Upah Buruh: Mimpi Buruh dalam Ekonomi Kapitalisme

30 Oktober 2015   12:36 Diperbarui: 30 Oktober 2015   12:36 1565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Demo buruh di Jakarta I Dok Pribadi"][/caption]

Demonstrasi atau unjuk rasa berlangsung di Jakarta. Berbagai elemen buruh menolak sistem pengupahan buruh berdasar paket ekonomi jilid IV. Pemerintah atau majikan menyebut sistem formula upah baru (PP No 70) membuat kepastian kenaikan upah. Sementara buruh menyebut formula baru berdasarkan UMP tahun berjalan dikali kenaikan 5% plus besaran inflasi dinilai tidak ada kenaikan upah. Itu karena karena keluar dari kaidah dasar kebutuhan hidup layak (KHL). Mari kita tengok sejarah perburuhan yang terjerumus ke dalam ekonomi kapitalisme dengan hati gembira ria senang sentosa suka-cita bahagia pesta-pora suka-suka selamanya senantiasa.

Dulu, upah buruh adalah tuntutan pembebasan dari perbudakan. Kata ‘payday’ adalah sejarah panjang tentang perburuhan (baca: perbudakan). “Pay” yang berasal dari kata ‘pacere’ bersinonim dengan ‘pacify’ yang bermakna ‘meredam, membuat melempem dan pasif’. Ini terkait dengan sejarah perbudakan yang panjang. Upah sebagai alat untuk meredam gejolak budak (buruh). Awalnya, budak atau buruh tak mendapatkan apa-apa selain makan.

Perkembangan tuntutan budak meminta perumahan (lalu muncul asrama buat budak atau buruh). Lalu buruh (budak) menyadari pentingnya mereka dan menuntut majikan tak hanya memberi makan dan tempat tinggal. Buruh ingin mengatur kehidupan mereka sendiri bebas dari hidup di lingkungan para tuan tanah dan majikan borjuis. Maka upah yang sesuai dengan kebutuhan (pangan, sandang, papan) pun dipenuhi oleh majikan. Upah digunakan sebagai alat untuk ‘pacere’: pay day!

Perkembangan revolusi industri menciptakan mass production. Industri besar mengubah buruh menjadi bagian dari mesin industri. Buruh adalah bagian dari mesin produksi. Ongkos buruh menjadi elemen biaya barang. Buruh disamakan dengan cost – bukan individu kemanusiaan yang bebas – dalam ekonomi kapitalis. Buruh menjadi faktor produksi suatu barang. Akibatnya, di seluruh dunia timbul kelas buruh dan kelas menengah yang stagnan kesejahteraannya dalam konsep yang masih persis sama: hanya memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan secara elementer. (Pendidikan dan kesehatan dasar ditanggung oleh pemerintah atau negara.) Maka ditetapkan upah buruh hanya sebagai upaya untuk ‘pacere’ buruh.

Fakta menunjukkan bahwa sejak tahun 1900-an, jauh setelah revolusi industri, para buruh di Eropa dan Amerika mengalami perkembangan dari perbudakan menjadi ‘pekerja’. Namun, yang terjadi adalah para buruh di Eropa dan Amerika Utara – yang diikuti oleh industrialisasi kapitalisme di seluruh dunia – menjadi kelompok marjinal yang ‘hanya bisa makan, tinggal dan sedikit rekreasi’.

Data buruh di ekonomi kapitalis modern menunjukkan 40% warga buruh Amerika dan Eropa tidak pernah meninggalkan kota tempat tinggal mereka. Lebih dari 40 persen hanya meninggalkan kotanya sekali setiap 4 tahun. Hanya 4% masyarakat buruh di Eropa dan Amerika Utara – yang mengedepankan ekonomi kapitalis yang berlibur ke luar negeri sekali dalam beberapa tahun. Upah buruh hanya cukup memenuhi kebutuhan bulanan yang mepet akibat kehidupan bergaya konsumtif yang didukung oleh negara.

Di Indonesia pun demikian. Upah buruh hanya cukup untuk (1) bayar kontrakan, (2) makan, (3) bayar kredit konsumtif rutin seperti beli televisi, hape, dan motor. Akibat angsuran kredit yang menyedot melebihi 50% penghasilan. Maka tak heran kehidupan buruh menjadi budak modern akibat (1) terjebak dalam alam konsumerisme, (2) rezim kapitalisme yang dianut dalam sistem ekonomi yang tak lain adalah (3) menjadikan buruh sebagai budak di zaman modern – dengan ‘pacere’ alias ‘peredam’ bagi buruh berupa UMP (Upah Minumum Provinsi/Kota).

Bagi para buruh harus disadarkan, yang harus disadari buruh adalah (1) sejarah perburuhan adalah sejarah perbudakan yang sekarang terjebak dalam, (2) ekonomi kapitalis dan industri, (2) yang menetapkan buruh sebagai faktor produksi, (3) buruh dianggap sebagai bagian dari production costs, dan (4) upah selamanya hanya akan memenuhi 1% dari mimpi kelayakan hidup borjuis pengusaha kapitalis kelas menengah.

UMP atau PP No 70 tentang pengupahan sama saja. Bahkan buruh pun menetapkan UMP sebagai angka pengupahan, bukan dasar minimum membayar upah. Kalau pun lebih dari UMP besarannya antara Rp 1,000 (seribu rupiah) sampai Rp 10,000 (sepuluh ribu rupiah). Yang penting di atas upah normatif UMP. Itu kejahatan majikan. Buruh pun juga suka malas kerja.

Jadi sama-sama jahat dalam ekonomi kapitalis. Jadi, skema dan formula kenaikan upah berdasarkan KHM (kebutuhan hidup minimum) dan KHL (kebutuhan hidup layak), serta formula UMP tahun berjalan X 5% plus besaran inflasi, tak ada bedanya dengan sistem yang lama: sama-sama hanya memenuhi kebutuhan dasar dan tetap konsep buruh sebagai budak modern dalam alam ekonomi kapitalis. (Kalau mau ekonomi bener: ya koperasi harus digalakkan – bukan koperasi rentenir mencekik buruh.)

Salam bahagia ala saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun