Mohon tunggu...
Ninin Rahayu Sari
Ninin Rahayu Sari Mohon Tunggu... https://nininmenulis.com

Former Journalist at Home Living Magazine n Tabloid Bintang Home - Architecture Graduate - Yoga Enthusiast - Blogger at www.nininmenulis.com - Coffee Addict - Morning Person

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saat Suami Tersandung Skandal dan Punya Anak, Haruskah Istri Senyum di Kamera?

16 April 2025   09:04 Diperbarui: 16 April 2025   09:04 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Canva/kredit foto

Akhir-akhir ini, timeline media sosial aku terasa seperti sinetron Indosiar, drama rumah tangga, air mata, pengkhianatan, dan bayi yang tiba-tiba muncul dari hubungan terlarang. Semua orang jadi komentator dadakan, semua akun gosip mendadak berubah jadi forum konsultasi rumah tangga. Dan tentu, nama Ridwan Kamil pun tak luput dari pusaran ini, entah benar, entah hanya kabar burung, tapi yang pasti kita semua ikut nyesek.

Tapi aku tidak akan membahas apakah kabar itu benar atau tidak. Itu urusan mereka, bukan urusan aku, dan tentu saja bukan urusan netizen yang merasa punya hak suara lebih dari hakim pengadilan. Aku hanya ingin mengajak para perempuan, terutama istri-istri yang mungkin tiba-tiba terjebak dalam skenario mirip sinetron tadi, untuk duduk sebentar, menarik napas, dan merenung sambil minum es teh manis (karena hidup sudah pahit, ya kan?).

Mari kita bayangkan skenario ini, Anda seorang perempuan yang sudah menikah belasan tahun. Menjalani hidup rumah tangga dengan segala naik-turunnya. Anda membesarkan anak-anak, mendampingi suami dalam kariernya, mungkin ikut membantu ekonomi keluarga. Lalu, tiba-tiba, datang kabar dari langit tapi bukan wahyu, melainkan isu perselingkuhan suami. Dan bukan sembarang selingkuh, tapi selingkuh yang sudah upgrade ke level 'bonus anak'.

Di titik ini, banyak perempuan akan bingung, harus marah dulu atau pingsan dulu? Harus bertanya, "Kenapa kamu tega?" atau langsung pesan tiket ke Bali untuk kontemplasi hidup sambil pakai sunglasses di pantai?

Aku tidak akan pura-pura bijak dan bilang, "Maafkanlah, semua orang bisa khilaf." Karena, jujur saja, tidak semua orang berhak dimaafkan begitu saja. Dan tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan kata maaf. Terutama kalau lukanya dalam, dan meninggalkan jejak berupa anak manusia yang akan terus mengingatkan bahwa suami Anda pernah melanggar janji suci.

Tapi aku juga tidak akan berkata, "Ceraikan saja, hidupmu pasti lebih bahagia tanpanya." Karena kenyataan tidak semudah mencoret nama mantan dari grup WA keluarga. Ada anak yang harus dibesarkan. Ada rumah yang mungkin cicilannya belum lunas. Ada kenangan yang tak bisa hilang hanya karena tanda tangan di atas kertas.

Pilihan untuk bertahan atau pergi bukan seperti memilih menu makan siang. Ini keputusan hidup yang rumit, penuh lapisan emosi, logika, dan terkadang faktor sosial yang bikin kepala makin pening.

Paling menjengkelkan dari semuanya kenyataan bahwa, dalam banyak kasus seperti ini, perempuan sering kali jadi korban dua kali. Pertama, karena dikhianati. Kedua, karena harus menanggung malu dan pertanyaan sinis dari masyarakat.

"Kenapa kamu diam saja?"
"Kok nggak cerai?"
"Kamu kurang apa sih sampai suamimu selingkuh?"

Ah, pertanyaan-pertanyaan ini rasanya pantas dimasukkan ke museum pertanyaan paling menyebalkan sepanjang masa. Seolah-olah istri adalah dalang dari kesalahan suami. Seolah-olah menjaga suami tetap setia adalah pekerjaan 24 jam yang kalau gagal, maka istri lah yang salah urus.

Padahal, mari kita jujur sejenak, tidak ada perempuan yang bisa mengontrol hati dan kelakuan pasangannya. Bahkan asisten pribadi suami pun belum tentu tahu isi chat-nya, apalagi istrinya yang sibuk mengurus anak, mengatur dapur, bahkan ada yang masih mengurus pekerjaan.

Bertahan bukan tanda lemah. Dan meninggalkan bukan tanda benci. Kadang, perempuan bertahan karena ia percaya bahwa setiap orang berhak diberi kesempatan kedua. Kadang, perempuan memilih pergi karena ia sadar bahwa dirinya terlalu berharga untuk terus diperlakukan seperti pilihan kedua.

Sayangnya, masyarakat kita belum siap mendukung dua-duanya. Untuk yang memaafkan dianggap "kemakan bujuk rayu". Yang meninggalkan dianggap "tidak sabar dan tidak mau berjuang". Padahal, dua-duanya butuh kekuatan besar. Memaafkan butuh hati seluas samudera. Tapi meninggalkan butuh keberanian sebesar gunung.

Dan mari kita bahas topik yang sedikit lebih pelik yakni soal anak dari hubungan perselingkuhan.

Jujur saja, ini bagian yang sangat rumit. Tidak semua orang bisa langsung 'open heart' kepada anak tersebut. Dan itu wajar. Rasa marah dan sakit hati bisa membuat seseorang sulit bersikap adil, bahkan pada makhluk tak berdosa sekalipun.

Tapi waktu berjalan. Dan seiring dengan berjalannya waktu, banyak perempuan memilih cara pandang yang lebih dewasa. Anak itu bukan pelakunya. Ia juga korban. Ia tidak memilih untuk lahir dari cinta terlarang. Maka tidak adil jika ia jadi sasaran kebencian.

Namun tentu, tidak semua orang bisa sampai ke titik itu. Dan itu tidak apa-apa. Semua orang punya proses sendiri untuk sembuh. Terpenting adalah tidak mewariskan luka itu jadi dendam berkepanjangan.

Dalam kasus publik seperti Ridwan Kamil dan Atalia, sang istri dipuji banyak orang karena tetap tenang, elegan, dan tidak meledak-ledak di depan kamera. Tapi aku ingin bilang, kita tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Dan kita tidak berhak menuntut setiap perempuan untuk punya ketegaran seperti itu. Beberapa perempuan butuh menangis seminggu penuh, beberapa perlu liburan sendirian, beberapa mungkin ingin memecahkan piring dulu sebelum berpikir jernih. Dan semua itu valid.

Media sosial sering kali membuat kita merasa harus jadi versi terbaik dari diri kita bahkan saat dunia kita runtuh. Tapi sejujurnya, kalau hati sedang hancur, kadang kita hanya ingin makan es krim di tempat tidur dan nonton drama Korea yang tokohnya setia sampai akhir. Itu bukan pelarian. Itu hanya bentuk bertahan hidup.

Satu yang perlu kita sadar, tidak semua perempuan ingin terus mengurusi luka yang ditorehkan orang lain. Ada yang memilih memaafkan, ada yang memilih pergi, ada yang memilih mendampingi dengan syarat dan batasan baru. Dan semua pilihan itu layak dihargai.

Jadi kalau suatu hari kamu bangun dan membaca berita bahwa suamimu, entah publik figur atau bukan ketahuan telah berselingkuh dan punya anak, kamu tidak wajib tersenyum. Tapi kamu juga tidak wajib langsung murka. Kamu hanya wajib jujur pada dirimu sendiri. Apa yang kamu rasakan? Apa yang kamu butuhkan? Dan siapa yang benar-benar peduli padamu, bukan hanya pada dramanya?

Karena pada akhirnya, hidup ini bukan sinetron. Tidak ada skenario yang sudah ditulis rapi. Tidak ada sutradara yang bisa mengatur emosi kita. Tapi kamu, perempuan, bisa memilih naskahmu sendiri. Dan kamu boleh menulis ulang akhir ceritamu kapan pun kamu mau.

Dan kalaupun kamu mau lempar sepatu dulu sebelum berdamai, ya, itu pun tak masalah. Asal jangan kena orang lain. Sepatu mahal, loh!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun