"Benar," sahutku. "Operasi kepala itu rawan. Bisa kena saraf penglihatan atau yang lain. Perawatan pun panjang dan mahal."
Kami sama-sama terdiam sejenak, sebelum aku menutup pembicaraan, "Ya sudah, kita harus jaga kesehatan. Rajin kontrol tensi, jangan disepelekan."
"Iya, Mbak! Sampeyan cocok. Anake dadi dokter, ibune promosi kesehatan!" katanya sambil terkekeh.
"Hahaha, itu juga pesan si bungsu!" ujarku, sebelum beranjak menuju TPS di depan rumah.
Malam berikutnya, bunyi kentongan kembali terdengar. Satu kali ... dua kali ... entah mengapa, kali ini terdengar lain. Ada gema lirih yang menyelinap ke dada --- seolah waktu sendiri tengah berkabung.
Di ruang tamu, termos kosong masih berdiri di sudut meja. Wangi kopi yang tak sempat diseduh semalam seolah masih menggantung di udara. Dalam cahaya redup, aku menatap layar ponsel: foto almarhumah itu masih terpajang di unggahan terakhirnya, senyum lembut di bawah payung hujan, dengan caption sederhana: "Hidup ini singkat, maka jangan lupa bahagia."
Aku menghela napas panjang.
Begitulah hidup --- seperti suara kentongan yang sayup di tengah malam: selalu berpindah dari satu jam ke jam berikutnya, sampai akhirnya berhenti.
Kematian, nyatanya, bukan datang dengan langkah besar, melainkan beringsut perlahan dalam kesunyian. Kadang lewat dering notifikasi, kadang lewat suara tiang besi di tepi sungai.
Dan ketika semua telah reda, hanya doa yang tinggal.
Doa untuk mereka yang telah pulang.
Doa untuk kita yang masih menunggu giliran.
"Selamat jalan, Dik. Semoga damai di pangkuan-Nya."
Di luar, kentongan kembali berbunyi.
Kali ini tiga kali.
Pelan. Jauh.
Dan aku menutup novel di pangkuan, sebelum akhirnya meneguk susu soya yang telah lama dingin.
***Â