"Almarhum suamiku dulu juga begitu," ujar Mbak Siti, tetangga yang ikut membantu. "Dokter bilang, kalau dioperasi, peluangnya hanya lima puluh lima puluh. Kalaupun selamat, bisa terjadi penurunan fungsi otak. Jadi, aku menolak operasi. Bukan cuma karena biaya, tapi juga karena banyak pertimbangan lain."
Rumah barat memang sudah dihibahkan untuk si bungsu yang kini tugas belajar di Amerika, sementara dijaga oleh pamong masa kecilnya. Aku dan suami tinggal di rumah timur, milik si sulung, berjarak sekitar enam kilometer.
"Oh, begitu ya, Mbak Siti?" sahutku.
"Iya, Mbak Nik. Lihat saja, tetangga sekitar banyak yang begitu! Selain suamiku, ada juga istri Mail --- yang stres itu, waktu hamil besar, meninggal karena hipertensi. Lalu Erna, anak sulung Bu Diran, sempat dioperasi kepala, tapi tetap pergi juga. Terbaru, Pak Margo, juga karena pembuluh darah pecah. Sudah dioperasi, tetap enggak selamat! Makanya, kalau ditawari operasi kepala, aku menolak. Ngeri! Mau operasi atau tidak, kalau waktunya berpulang, ya berpulang. Sama saja. Operasi enggak menjamin apa pun," tuturnya panjang.
"Iya juga. Kepala dibongkar belum tentu berhasil, malah keluar biaya besar," timpalku pelan. "Makanya harus rajin cek tensi, jangan disepelekan."
"Betul! Apalagi Erna itu kan diabetes. Penglihatannya sudah lama terganggu. Katanya ingin operasi biar sembuh, eh malah berpulang.Â
Coba kalau enggak operasi, mungkin masih hidup meski tak bisa melihat." Mbak Siti menyeka sudut matanya dengan lengan kanan.
"Aku jadi ingat saudara temanku," ujarku lirih. "Operasi di Singapura, habis jual rumah dua miliar. Tiga tahun dirawat, tapi tetap duduk di kursi roda, tak bisa bicara."
"Tapi pasti bukan hipertensi, kan?" tanyanya.
"Bukan. Kakak temanku itu etnis Tionghoa, lumayan kaya sebelumnya. Tumor di dahi, jadi batok kepalanya dibuka. Operasi berhasil. Di luar negeri sih!"
"Nah, kalau hipertensi beda cerita! Kata dokter, peluangnya kecil. Orang kaya masih bisa berobat ke luar negeri, tapi kalau kita?" ia tersenyum getir.