Si Sayap Patah
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Hidup sejatinya adalah proses belajar. Setiap fase---dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga tua---merupakan rangkaian pembelajaran tanpa henti. Tuhan menghadirkan tahap demi tahap itu dengan cara yang unik. Bukankah kita mengenal istilah life long education yang bahkan bisa dibalik menjadi long life education?
Aku dan Oddy sama-sama belum memiliki pasangan. Dua sahabat sejati yang masih jomblo! Karena itu, jika salah satu mendapat undangan pesta ulang tahun atau pernikahan, kami selalu saling mengajak agar tak pergi sendirian. Apalagi kalau acara makan bersama, kami pasti saling mengingatkan. Kalau teman Oddy menikah, ia pasti mengajakku, begitu juga sebaliknya.
Kata orang, kami mirip saudara kembar: wajah dan postur tubuh serupa, padahal tak ada pertalian darah. Untungnya, kami bisa saling meminjam pakaian. Jadi kalau ada acara mendadak, kami siap tampil senada.
Suatu Jumat pagi, setelah senam di kantor sekitar pukul 09.00 WIB, ponselku bergetar. Pesan dari Oddy: segera datang ke kantornya, katanya penting. Wanodya---nama lengkapnya---lebih suka dipanggil Oddy. Ia sahabatku sejak SMP. Kami melanjutkan SMA bersama, lalu kuliah di kampus sama meski beda jurusan. Setelah lulus, kami bekerja di kota yang sama, meski berbeda instansi. Sesama perantau, persahabatan kami makin erat.
Tak heran kalau ia tahu semua tentangku. Bahkan ada satu sahabat lain: Brian, pria luar Jawa yang sudah lama menetap di Jawa. Sementara aku dan Oddy, dua gadis Jawa yang tumbuh dengan tatakrama halus. Ayahku sudah dua tahun lalu berpulang karena diabetes, sementara ibuku hidup menjanda. Oddy sendiri tinggal bersama ayahnya.
Tanpa pikir panjang, aku meminta izin pada atasan dengan alasan urusan keluarga mendesak. Karena jarang izin, permintaan itu disetujui. Aku segera meluncur ke kantor Oddy. Setelah kutemui, ia sudah berdandan cantik dan meminta aku mengarah ke Gedung Kartini di Jalan Kawi. Aku tak tahu untuk apa. Sebelum turun dari mobil, ia menyerahkan gaun pesta.
"Ganti baju dulu, Lis. Dan poleskan lipstik ini biar nggak pucat," katanya. Sorot matanya begitu serius, membuat jantungku berdegup tak karuan.
Tepat pukul 09.50 kami tiba. Janur kuning melengkung di depan gerbang. Hatiku tercekat. Ada pesta pernikahan. Oddy membawaku berganti kostum di kamar kecil, lalu menggiringku masuk ke deretan kursi VVIP. Dari sana, jelas terlihat sepasang pengantin di depan penghulu. Saat kutatap, darahku serasa berhenti mengalir. Pengantin pria itu---Brian.
Brian, sahabatku yang lama menghilang, yang nomornya tak pernah aktif, yang diam-diam kusimpan dalam rinduku.
Penghulu menuntun ijab kabul. Namun Brian hanya terdiam, tangannya gemetar menggenggam tangan penghulu. Satu kali, dua kali, tiga kali---ia tak mampu bersuara. Suasana tegang. "Kalau masih tidak terucap, akad bisa gagal," kata penghulu. Aku terpaku.Â
Pandangan Brian tiba-tiba menikam mataku. Ada telaga biru bening di sorotnya---dalam, teduh, dan seakan berbicara. Ia seolah meminta izinku. Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan, jempolku teracung. Brian pun akhirnya mengucap lirih, suaranya bergetar.
"Sah!" riuh para saksi. Sorak bahagia memenuhi ruangan, tapi bagiku bagai palu godam menghantam telinga. Hatiku runtuh, hancur berkeping-keping.
Brian menunduk, tak menatapku lagi. Aku bertahan hingga acara usai. Saat giliran memberi selamat, Brian menghilang. Yang ada hanya mempelai wanita, Tuti. Ia menatapku ramah. "Lusa datanglah ke rumah, Mbak. Ada banyak hal yang ingin saya sampaikan," katanya.
Aku tersenyum hambar. Dalam perjalanan pulang, aku hanya diam. Dada sesak, mata panas. Namun aku tetap kembali ke kantor dengan wajah dipaksa biasa.
Hari Minggu, Oddy menjemputku. Kami pergi ke rumah Brian dan Tuti. Rumah sederhana itu sepi, Brian tak ada. Kami disambut ramah Tuti. Sambil menunggu, ia tiba-tiba masuk kamar lalu kembali membawa sebuah buku bersampul mika.
"Mbak Lis, ini saya temukan. Tolong dibaca," katanya sambil menyerahkan buku itu.
Tanganku bergetar saat membuka. Di antara catatan usaha, kutemukan sebuah halaman:
My last and loose memories ...
Teruntuk Lis ... bidadari yang kusanjung dalam setiap hembusan napasku ...
Maafkan aku, Lis. Aku menikahi gadis pilihan keluarga. Bukan karena tak mencintaimu, tapi aku takut tak bisa membahagiakanmu. Aku pengecut. Aku tak berani melawan. Kenangan kita---taman mawar yang kita rawat bersama---terpaksa kurelakan layu.
Aku tahu kau juga mencintaiku, Lis. Sorot matamu tak pernah bisa berbohong. Malam terakhir di indekosmu, sebenarnya ingin kuajak kau menikah lari. Tapi aku tahu kau takkan mau melawan keluarga. Jadi kuurungkan. Aku mencintaimu, tapi maafkan aku ... maafkan ketidakberdayaanku. Doaku, semoga kau bahagia bersama lelaki yang mampu menumbuhkan taman mawar di hatimu.
With fully love, Brian.
Air mataku tumpah. Oddy membiarkan aku menangis sepuasnya. Hatiku menjerit---mengapa ia tak pernah mengucapkannya langsung? Andai ia berani, mungkin aku akan menyanggupi. Namun semua sudah terlambat.
Oddy memelukku. "Lis, nasi sudah jadi bubur. Tambahkanlah bahan, jadi bubur manado yang enak," candanya. Aku tersenyum pahit.Â
"Ikhlaskan, lepaskan Brian. Biarkan ia terbang. Suatu saat kau juga akan terbang indah dengan jodohmu," ucapnya lembut.
Di sela tangisku, terdengar lagu dari radio tetangga: Lepaskanlah ikatanmu dengan aku, biar kamu senang... Lirik itu seperti tamparan.
Tak lama, Tuti menghampiri. Dengan mata berkaca, ia berkata, "Maafkan saya, Mbak. Pernikahan ini demi keluarga. Ibu sakit, utang menumpuk. Saya tak punya pilihan." Tangannya menggenggamku erat. Aku menarik napas panjang.
"Selamat berbahagia, Mbak. Mulai detik ini, aku akan pergi. Anggap saja aku merpati patah sayap yang memilih terbang menjauh," kataku mantap meski bergetar.
Senja mewarnai langit jingga. Burung-burung pulang ke sarang. Aku pun belajar melepas. Membiarkan Brian terbang, membiarkan hatiku kembali pulih bersama takdir Tuhan. Seminggu kemudian, aku mengajukan resign dan pindah ke kota pamanku. Hidup baru, lembaran baru. Pada Oddy kukirim pesan: susul aku nanti, agar persahabatan tetap terjaga.
Aku belajar mengikhlaskan apa yang tak kumiliki. Hidup adalah belajar, terutama belajar mengelola hati.
Di kota baru, aku lebih tenang. Oddy sering menghubungi via video call. "Kamu hebat, Lis!" katanya. Namun ia belum bisa menyusul karena pekerjaannya menumpuk. Waktu bergulir, setahun berlalu. Aku sudah mandiri dengan apartemen sendiri. Meski jodoh belum kutemukan, aku bahagia. Karena hati gembira adalah obat.
Lalu suatu hari, Oddy berbisik lewat telepon, "Lis, bagaimana kalau kita jadi sahabat sekaligus saudara ipar? Pacarku Pras itu punya kembaran, Pram. Dia single. Bagaimana kalau kujodohkan denganmu?"
Aku terkekeh. "Apa dia mau?"
"Tenang saja. Pokoknya datang saat pertunanganku, ya. Sekalian kamu juga tunangan!" serunya riang.
Aku terdiam, tapi akhirnya mengangguk. Dan benar---hari itu bukan hanya pertunangan Oddy, tapi juga awal pertunanganku. Mungkin inilah definisi sahabat sejati: tetap bersama, dalam tawa dan luka. Aku bersyukur, akhirnya Tuhan mengizinkan aku menemukan cahaya baru.
***Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI