Oddy memelukku. "Lis, nasi sudah jadi bubur. Tambahkanlah bahan, jadi bubur manado yang enak," candanya. Aku tersenyum pahit.Â
"Ikhlaskan, lepaskan Brian. Biarkan ia terbang. Suatu saat kau juga akan terbang indah dengan jodohmu," ucapnya lembut.
Di sela tangisku, terdengar lagu dari radio tetangga: Lepaskanlah ikatanmu dengan aku, biar kamu senang... Lirik itu seperti tamparan.
Tak lama, Tuti menghampiri. Dengan mata berkaca, ia berkata, "Maafkan saya, Mbak. Pernikahan ini demi keluarga. Ibu sakit, utang menumpuk. Saya tak punya pilihan." Tangannya menggenggamku erat. Aku menarik napas panjang.
"Selamat berbahagia, Mbak. Mulai detik ini, aku akan pergi. Anggap saja aku merpati patah sayap yang memilih terbang menjauh," kataku mantap meski bergetar.
Senja mewarnai langit jingga. Burung-burung pulang ke sarang. Aku pun belajar melepas. Membiarkan Brian terbang, membiarkan hatiku kembali pulih bersama takdir Tuhan. Seminggu kemudian, aku mengajukan resign dan pindah ke kota pamanku. Hidup baru, lembaran baru. Pada Oddy kukirim pesan: susul aku nanti, agar persahabatan tetap terjaga.
Aku belajar mengikhlaskan apa yang tak kumiliki. Hidup adalah belajar, terutama belajar mengelola hati.
Di kota baru, aku lebih tenang. Oddy sering menghubungi via video call. "Kamu hebat, Lis!" katanya. Namun ia belum bisa menyusul karena pekerjaannya menumpuk. Waktu bergulir, setahun berlalu. Aku sudah mandiri dengan apartemen sendiri. Meski jodoh belum kutemukan, aku bahagia. Karena hati gembira adalah obat.
Lalu suatu hari, Oddy berbisik lewat telepon, "Lis, bagaimana kalau kita jadi sahabat sekaligus saudara ipar? Pacarku Pras itu punya kembaran, Pram. Dia single. Bagaimana kalau kujodohkan denganmu?"
Aku terkekeh. "Apa dia mau?"
"Tenang saja. Pokoknya datang saat pertunanganku, ya. Sekalian kamu juga tunangan!" serunya riang.