"Sah!" riuh para saksi. Sorak bahagia memenuhi ruangan, tapi bagiku bagai palu godam menghantam telinga. Hatiku runtuh, hancur berkeping-keping.
Brian menunduk, tak menatapku lagi. Aku bertahan hingga acara usai. Saat giliran memberi selamat, Brian menghilang. Yang ada hanya mempelai wanita, Tuti. Ia menatapku ramah. "Lusa datanglah ke rumah, Mbak. Ada banyak hal yang ingin saya sampaikan," katanya.
Aku tersenyum hambar. Dalam perjalanan pulang, aku hanya diam. Dada sesak, mata panas. Namun aku tetap kembali ke kantor dengan wajah dipaksa biasa.
Hari Minggu, Oddy menjemputku. Kami pergi ke rumah Brian dan Tuti. Rumah sederhana itu sepi, Brian tak ada. Kami disambut ramah Tuti. Sambil menunggu, ia tiba-tiba masuk kamar lalu kembali membawa sebuah buku bersampul mika.
"Mbak Lis, ini saya temukan. Tolong dibaca," katanya sambil menyerahkan buku itu.
Tanganku bergetar saat membuka. Di antara catatan usaha, kutemukan sebuah halaman:
My last and loose memories ...
Teruntuk Lis ... bidadari yang kusanjung dalam setiap hembusan napasku ...
Maafkan aku, Lis. Aku menikahi gadis pilihan keluarga. Bukan karena tak mencintaimu, tapi aku takut tak bisa membahagiakanmu. Aku pengecut. Aku tak berani melawan. Kenangan kita---taman mawar yang kita rawat bersama---terpaksa kurelakan layu.
Aku tahu kau juga mencintaiku, Lis. Sorot matamu tak pernah bisa berbohong. Malam terakhir di indekosmu, sebenarnya ingin kuajak kau menikah lari. Tapi aku tahu kau takkan mau melawan keluarga. Jadi kuurungkan. Aku mencintaimu, tapi maafkan aku ... maafkan ketidakberdayaanku. Doaku, semoga kau bahagia bersama lelaki yang mampu menumbuhkan taman mawar di hatimu.
With fully love, Brian.
Air mataku tumpah. Oddy membiarkan aku menangis sepuasnya. Hatiku menjerit---mengapa ia tak pernah mengucapkannya langsung? Andai ia berani, mungkin aku akan menyanggupi. Namun semua sudah terlambat.