Ketika usia Bodronoyo menginjak enam tahun, pamornya memuncak. Ia bahkan diangkat anak oleh keluarga Pak Siswo agar lebih dekat dengan dunia seni.
Sriatim makin merasa sendirian. Kadang ia melihat adiknya bergelimang perhatian di panggung, sementara dirinya hanya duduk di tepi panggung, menjual kacang dan rokok.
"Semar, kacangmu piro?" tanya penonton.
"Sepuluh perak, tapi kalau beli dua bungkus tak kasih kerupuk bonus!" jawab Semar, membuat orang-orang terkekeh.
Sriatim ingin ikut bersuara, tapi selalu kalah pesona.
Pentas yang Mengubah Segalanya
Suatu malam, lakon Pergiwo Pergiwati dimainkan. Penonton membanjir, suasana haru bercampur tawa. Di balik layar, Sriatim menahan air mata. Ia merasa tak pernah jadi bagian cerita.
Namun tiba-tiba, salah satu pemain kecil sakit mendadak. Pak Siswo panik. "Siapa yang bisa ganti? Cepat!"
Tanpa sadar, Sriatim maju. "Aku, Pak..."
Meski canggung, ia naik panggung, memerankan figuran sederhana. Lampu menyorot wajahnya yang pucat, tetapi saat ia melangkah, penonton bersorak mendukung.
Malam itu, untuk pertama kali, Sriatim merasakan sorak yang biasanya hanya milik adiknya.