"Heh, bagi aku, Le!" teriaknya sambil menyembulkan perut, menirukan gaya Semar. Semua tertawa geli.
Itulah suasana khas: panggung, penonton, dan pemain menyatu tanpa jarak.
Sampek Engtay dan Srikandi Edan
Siswo Budoyo sering mementaskan lakon besar. Saat Sampek Engtay dimainkan, penonton hanyut dalam romansa tragis. Tangis perempuan terdengar di banyak sudut. Tetapi begitu Jo Rono muncul, tawa pecah lagi.
Di lain malam, Srikandi Edan menggetarkan hati. Sosok Srikandi yang patah hati hingga berani menantang perang. Para pangrawit menabuh gamelan dengan keras, sinden melengking tinggi, dan Bodronoyo ikut merayap di panggung, menirukan gaya prajurit. Penonton bersorak---seolah Semar sendiri turun menghibur.
Sriatim: Luka yang Tersisa
Namun, di balik kegemilangan itu, Sriatim merasa makin terpinggir.
"Ibu, kenapa semua orang hanya sayang sama Semar?" tanyanya lirih suatu malam.
Ibunya terdiam, lalu mengusap kepala putrinya. "Bukan begitu, Tim. Kau tetap anakku yang kusayang. Hanya saja, adikmu itu membawa berkah bagi kita."
Sriatim menggigit bibir. Ia tahu benar: sejak Semar Bodronoyo hadir, keluarga mereka lebih mapan. Penjualan jamu meningkat, bahkan Pak Siswo memberi mereka nafkah tambahan. Tapi hatinya tetap perih.
Konflik di Balik Layar