Si Semar Bodronoyo
Sriatim hanyalah bocah kecil di sebuah desa pinggir sungai, tubuhnya bongsor, langkahnya pelan, dan matanya sering menunduk. Ia tidak pernah benar-benar fasih membaca. Kata guru, ia mengidap disleksia. Karena itu, ia hanya bertahan dua tahun di sekolah dasar. Saat teman-temannya melanjutkan ke kelas tiga, Sriatim justru berhenti.
Ibunya, seorang janda yang sabar, sehari-hari berjualan jamu gendong. Melihat anaknya tak bisa mengikuti pelajaran, ia menarik Sriatim ikut berdagang.
"Atim, ayo, bantu Ibu ya. Kau bisa bawakan botol jamu kecil atau menawari pembeli," kata ibunya suatu pagi.
Sriatim menurut, meski hatinya sering perih. Ia tahu, ibunya tidak punya pilihan lain.
Kelahiran Aneh yang Jadi Julukan
Beberapa tahun kemudian, ibunya menikah lagi. Dari pernikahan itu lahirlah seorang bayi lelaki yang segera membuat heboh seluruh kampung. Bentuk batok kepalanya aneh---dahinya menonjol, wajahnya bulat seperti topeng wayang Semar.
"Lho, mirip Semar, tho? Ha-ha-ha!" celetuk tetangga-tetangga.
Julukan itu melekat. Nama aslinya lama-lama tenggelam. Semua orang memanggilnya Semar.
Sriatim diam-diam cemburu. Ia, yang lahir lebih dulu, nyaris tak dianggap. Semua perhatian tetangga mengarah pada adiknya yang unik itu.
Panggung Rakyat, Jiwa Desa
Kebetulan, di kampung mereka berdiri sebuah perkumpulan kesenian yang masyhur: Siswo Budoyo. Grup ini memadukan wayang orang dan ketoprak, melanglang dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah, dan setiap kali pentas, ribuan penonton datang.