Sore hari, panggung terbuka mereka dipenuhi bocah yang belajar tari secara gratis. Gamelan mengalun, suara sinden melantun, dan aroma kacang rebus bercampur dengan tanah basah selepas hujan.
Di sanalah, Pak Siswo---pendiri perkumpulan---melihat bayi Semar. Ia tertawa terkekeh.
"Ha, cocok tenan! Kowe tak paringi jeneng panggung: Bodronoyo. Semar Bodronoyo!"
Sejak itu, bocah cilik dengan kepala aneh itu jadi maskot. Saat baru berusia dua tahun, ia sudah didandani busana punokawan, naik ke panggung. Penonton terpingkal-pingkal setiap ia berlari-lari menirukan gaya Semar.
"Lho, Semar cilik iki, nggemeske pol!" sorak penonton.
Jo Rono, Jo Gelo, Jo Isin, dan Hadiah Penonton
Malam-malam pertunjukan selalu riuh. Lampu petromaks seadanya, kadang padam diganti obor. Penonton duduk lesehan di tanah, sebagian berdiri di pinggir jalan. Saat lakon serius menguras air mata, tiba-tiba muncul banyolan Jo Rono dan Jo Gelo.
"Wooo, Jo Rono, rokokmu ketinggalan!" teriak seorang penonton.
Seketika sebungkus rokok dilempar ke panggung. Disusul sepotong roti.
Jo Gelo meraih roti itu, berpura-pura bingung. "Iki roti opo bantal, rek?" katanya, membuat penonton terpingkal.
Di belakang panggung, Bodronoyo berebut potongan roti bersama anak-anak pemain lain.