Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 31 judul, antologi berbagai genre 201 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu sang Jawara

21 September 2025   10:00 Diperbarui: 21 September 2025   10:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepatu sang Jawara

Sebuah kisah sederhana dari desa, tentang anak yang nyaris kehilangan langkahnya hanya karena sepasang sepatu usang. Namun, di balik rahasia kecil yang tersimpan rapat, tumbuhlah keberanian dan semangat juara.

Matahari siang itu menetes di sela jendela kaca, menebarkan serpihan cahaya ke papan tulis yang masih basah oleh kapur. Udara kelas sedikit pengap, namun begitu Bu Yanti berdiri di depan, suasana berubah tegang. Matanya tajam, suaranya tegas, seperti genderang yang memanggil pasukan.

"Surani, maju ke depan," katanya, seolah bukan sekadar panggilan, melainkan titah.

Surani bangkit pelan, pundaknya agak merunduk. Ia biasa menjadi ketua kelas yang lincah, namun kali ini langkahnya seperti tertahan batu di dalam dada.

"Mulai besok, kamu jadi Komandan Peleton. Awal Juli nanti ada lomba baris-berbaris. Persiapkan peletonmu agar mantap," suara Bu Yanti mengalun, membawa semangat sekaligus tekanan.

Kelas hening. Angin dari jendela memeluk halaman. Tapi kata-kata Surani justru pecah di udara:

"Oh, ... tii-tidak bisa, Bu..."

Kagetlah semua. Menolak? Surani? Anak cerdas yang selalu cepat tanggap? Tapi wajahnya pucat, suaranya gemetar. Ia menunduk, menelan kata yang tak mampu ia telan.

Sejak itu, sorot matanya kosong. Angka-angka matematika tak lagi memantul di kepalanya, melainkan larut ke dalam bayangan hitam yang disebut sepatu.


Ayahnya seorang buruh bangunan di Surabaya. Pulangnya tidak menentu: sebulan sekali, kadang dua bulan. Nafkah datang seperti angin musim: ada dan tiada. Ibunya, perempuan tangguh di pasar, menjual sayur dengan tangan letih. Mereka hidup dari sisa-sisa rezeki, dari rajutan kesabaran.

Sepatu Surani --- ah, sepatu itu. Solnya tipis, benangnya terurai, ujungnya menganga seperti mulut yang kehausan. Ia tahu, bila dipakai berbaris, suara tapaknya bukan hentakan gagah, melainkan desah kelelahan. Ia malu, namun juga tak kuasa meminta. Ada rasa hormat yang menahannya: jangan menambah beban ibunda, jangan mengeluh, cukup diam.

Celengan ayam tanah liat yang berdiri di sudut kamar sebenarnya memanggil-manggil. Tubuhnya gendut, perutnya penuh koin hasil jualan koran setiap pagi. Tapi celengan itu bukan untuk sepatu; itu mimpi lain: sepeda kayuh yang bisa membawa Surani jauh, melintasi pematang tanpa perlu dorong-dorong rantai copot.

Maka ia memilih menanggung malu, menolak tugas, menundukkan kepala di hadapan gurunya.

Sore itu, ia pulang tanpa sepeda---rantainya putus, sepeda dititipkan di bengkel Pak Karim yang murah hati. Ia berjalan bersama teman-temannya di pematang sawah. Hijau menghampar, padi mengangguk-angguk. Angin sore seperti menyapu resah, tapi hatinya masih sesak.

Harsono singgah di rolak, mengambil bubu berisi ikan wader yang menggelepar. Hidup kecil itu menjadi hadiah bagi perut lapar.

"Sur, kenapa nolak jadi Danton?" tanya Budiman penasaran.

Surani terdiam sejenak, lalu lirih, "Gimana aku bisa tegap kalau sepatuku sudah aus?"

Semua tertegun. Begitulah, ternyata bukan suara atau keberanian yang kurang, melainkan alas kaki.

Mawar menatap Surani, matanya teduh. Dalam hatinya ia menyalakan niat kecil: mengajak teman-teman putri menyisihkan uang jajan, sedikit demi sedikit, lewat bisik-bisik yang berantai. Diam-diam mereka akan menolong, tanpa membuat Surani merasa rendah.

Di sisi lain, Harsono juga menyimpan rahasia. Ia menatap sepatu Surani, lalu menunduk menimbang sesuatu: sepatu baru pemberian pamannya, yang dua tahun tersimpan di almari karena kebesaran. Malam nanti, ia akan berbicara pada ayahnya.

Dan malam itu tiba. Bulan tergantung setengah di langit, cahayanya lembut seperti cahaya lampu minyak. Ayah dan anak itu berjalan mengendap, membawa kotak berisi sepatu. Di atasnya selembar kertas bertuliskan:
Selamat berlatih dan berlomba. Semoga menjadi juara.
Tanpa nama. Tanpa tanda. Hanya doa.

Mereka meletakkannya di depan pintu rumah Surani, lalu pergi dalam diam. Langkah mereka menyingkir, tapi doa mereka tertinggal di sana.

Pagi menjelang, ayam jago berkokok, pasar desa sudah berdenyut. Ibu Surani membuka pintu, kaget melihat bungkusan. "Surani! Cepat kemari!"

Anak itu berlari, membuka kotak. Sepasang sepatu baru tergeletak, bersinar meski sederhana. Air matanya tumpah; ia memeluk ibunya, bersujud di lantai tanah, berdoa dalam bisikan penuh rasa syukur.

Sepatu itu bukan sekadar benda. Ia adalah tangan yang mengangkat, rahasia yang menyelamatkan harga diri, sayap yang menumbuhkan keberanian.

Latihan dimulai. Lapangan sekolah bergema oleh komando Surani. "Luruskan! Tegap jalan!" suaranya kini lantang, bukan lagi ragu. Di belakangnya, peleton mengikuti dengan hentakan yang seirama.

Tak ada yang tahu bahwa setiap hentakan itu berdiri di atas rahasia: sepatu pemberian Harsono, tabungan bisik Mawar, kerja senyap Bu Yanti yang menggalang dana untuk seragam. Semua bergerak di balik layar, demi satu hal: agar langkah-langkah itu terdengar gagah.

Seragam akhirnya datang seminggu sebelum lomba. Atasan biru muda, bawahan biru dongker, krah ala angkatan laut. Warnanya bersatu, seperti hati mereka yang kompak. Anak-anak mencobanya dengan mata berbinar. "Kita seperti prajurit!" seru salah satu. Bau kain baru menguar, semangat pun tumbuh.

Hari lomba tiba. Lapangan dekat Pasar Kliwon penuh sesak: pedagang, orang tua, anak-anak kecil berlarian. Matahari menyinari seragam biru yang berbaris gagah.

Surani berdiri di depan, sepatu barunya memukul tanah, menghasilkan dentum percaya diri. Ia bukan lagi anak yang malu-malu, melainkan pemimpin kecil yang memikul nama sekolah.

Sorak penonton bergemuruh. Barisan mereka melintas, tegap, teratur, langkah serentak bagai satu tubuh besar yang bergerak bersama.

Dan ketika pengumuman itu tiba, suara pembawa acara menggema:

"Juara pertama lomba baris-berbaris tingkat SD --- SD Negeri Kauman 2, dengan komandan peleton: Ananda Surani!"

Lapangan meledak oleh sorak. Anak-anak berloncatan, guru-guru tersenyum, orang tua berpelukan. Surani mengangkat piala tinggi-tinggi, wajahnya bercahaya.

Namun ia tak pernah tahu, ada rahasia yang melingkupinya: sepatu dari Harsono, tabungan bisik dari Mawar, doa dari Bu Yanti, kerja senyap dari para orang tua. Rahasia itu tetap diam, hanya bergetar dalam hati masing-masing.

Piala itu kini terletak di meja sekolah, berkilau di bawah sinar matahari sore. Tapi sesungguhnya, yang paling berkilau adalah hati anak-anak yang belajar bahwa kebaikan bisa menjelma dalam banyak bentuk: sepatu yang diberikan diam-diam, uang jajan yang disisihkan, kain yang dijahit bersama, doa yang diselipkan di tengah malam.

Dan Surani, anak dengan sepatu baru itu, telah melangkah bukan hanya ke arena lomba, melainkan ke sebuah pelajaran besar: bahwa rahasia kebaikan dapat menjadikan seorang anak kecil gagah berdiri sebagai juara.

*** 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun