Mereka meletakkannya di depan pintu rumah Surani, lalu pergi dalam diam. Langkah mereka menyingkir, tapi doa mereka tertinggal di sana.
Pagi menjelang, ayam jago berkokok, pasar desa sudah berdenyut. Ibu Surani membuka pintu, kaget melihat bungkusan. "Surani! Cepat kemari!"
Anak itu berlari, membuka kotak. Sepasang sepatu baru tergeletak, bersinar meski sederhana. Air matanya tumpah; ia memeluk ibunya, bersujud di lantai tanah, berdoa dalam bisikan penuh rasa syukur.
Sepatu itu bukan sekadar benda. Ia adalah tangan yang mengangkat, rahasia yang menyelamatkan harga diri, sayap yang menumbuhkan keberanian.
Latihan dimulai. Lapangan sekolah bergema oleh komando Surani. "Luruskan! Tegap jalan!" suaranya kini lantang, bukan lagi ragu. Di belakangnya, peleton mengikuti dengan hentakan yang seirama.
Tak ada yang tahu bahwa setiap hentakan itu berdiri di atas rahasia: sepatu pemberian Harsono, tabungan bisik Mawar, kerja senyap Bu Yanti yang menggalang dana untuk seragam. Semua bergerak di balik layar, demi satu hal: agar langkah-langkah itu terdengar gagah.
Seragam akhirnya datang seminggu sebelum lomba. Atasan biru muda, bawahan biru dongker, krah ala angkatan laut. Warnanya bersatu, seperti hati mereka yang kompak. Anak-anak mencobanya dengan mata berbinar. "Kita seperti prajurit!" seru salah satu. Bau kain baru menguar, semangat pun tumbuh.
Hari lomba tiba. Lapangan dekat Pasar Kliwon penuh sesak: pedagang, orang tua, anak-anak kecil berlarian. Matahari menyinari seragam biru yang berbaris gagah.
Surani berdiri di depan, sepatu barunya memukul tanah, menghasilkan dentum percaya diri. Ia bukan lagi anak yang malu-malu, melainkan pemimpin kecil yang memikul nama sekolah.
Sorak penonton bergemuruh. Barisan mereka melintas, tegap, teratur, langkah serentak bagai satu tubuh besar yang bergerak bersama.
Dan ketika pengumuman itu tiba, suara pembawa acara menggema: