Hari sudah semakin gelap. Azan magrib selesai dilantunkan di masjid agak jauh yang suaranya menggema. Sambil menggerutu sepanjang jalan Mbak Ndari beranjak ke rumah Cik Lan meminta dupa. Jarak antara rumah dengan rumah Cik Lan sekitar beberapa ratusan meter saja, tetapi berada di selatan makam. Jadi, Mbak Ndari harus melewati Makam Ngujil yang cukup luas itu. sepi. Tidak ada seorang pun lewat. Kendaraan yang bisa hilir mudik pun tidak ada sama sekali yang melintas. Kelelawar berkelebatan ke sana kemari mengitari langit makam yang sunyi itu.
Belum sampai mengetuk pintu dan uluk salam, seorang wanita mengenakan long dress  putih dan menggenggam beberapa batang dupa mendekati serta menyerahkan dupa itu kepada Mbak Ndari.
Dupa atau yang terkenal dengan sebutan hio itu harum di tangannya, tetapi sensasi aroma itu membuat bulu kuduk Mbak Ndari berdiri. Dupa tersebut sering digunakan untuk sembahyangan bagi etnis Tionghoa pemeluk Konghucu. Sementara, adat Jawa biasa mempergunakan kemenyan dibakar dengan arang. Namun, memang aromanya lebih menyengat dan bagi sebagian orang bau kemenyan sangat tidak nyaman karena terlalu nyegrak menyengat. Konon hanya para dukun yang memanfaatkan kemenyan ini sebagai sarana pelengkap selain beberapa jenis bunga seperti mawar, cempaka, kenanga, kantil, sedap malam, dan lain-lain untuk memanggil arwah gentayangan.Â
Orang ber-long dress putih itu pergi dengan sangat cepat sehingga Mbak Ndari tidak sempat mengucapkan terima kasih. Mbak Ndari pun bergegas pulang. Sementara, bau kemenyan dan dupa lain, yang sedang dibakar oleh masyarakat sekitar makam semerbak merebak di sekitar tempat itu. Kepala Mbak Ndari sedikit pusing menghirup aroma menyengat tersebut.
Sesampai di rumah segera diserahkannya segenggam dupa itu kepada Bude. Tetiba Bude terbelalak melihatnya.
"Kenapa, Bude?" selidik Mbak Ndari penasaran.
"Ini ... sudah tidak diproduksi lagi! Kaudapat dari mana?"
Bulu kuduk Mbak Ndari pun langsung berdiri spontan. Ia teringat wanita dengan long dress putih tadi. Ia ceritakan kepada Bude dan Bude pun semakin membelalakkan netranya.
"Haaahh ... Cik Lan itu sudah tua, kan? Lalu kenapa memakai long dress? Bukankah dia biasa berkain kebaya? Cik Lan pun hanya tinggal dengan Koh Tek Wan, suaminya yang kena stroke itu! Mereka tidak punya anak!"
"Hah, lalu ... siapa wanita itu? Pantesan sangat cepat ...," gumamnya.
"Ini  malam Jumat legi!" Bude melotot sambil berbisik di telinga Mbak Ndari cukup kencang.