Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - suka nulis dan ngedit tulisan

mencoba mengekspresikan diri lewat tulisan receh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seikat Dupa

18 April 2024   06:02 Diperbarui: 18 April 2024   06:39 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seikat Dupa 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

Sejak jam tiga sore Bude sudah wanti-wanti kepada Mbak Ndari, keponakan yang tinggal bersamanya, agar tidak lupa menyiapkan uba rampe seperti biasa.

Saat itu Bude masih berusaha melengkapi gelas yang dipegangnya dengan bunga tiga warna. Ke dalamnya diisikan air sumur setengah gelas. Sekuntum  kenanga berwarna hijau sudah dimasukkan ke dalamnya. Ditambahkan pula kuncup sekuntum mawar putih kecil yang diambilnya dari depan rumah Mbah Jo tetangga sebelah. Masih tinggal satu warna lagi yang belum didapatnya. Merah.

Maka Bude meminta Mbah Ndari mencarikan bunga berwarna merah ke rumah-rumah tetangga. Sementara, Bude mengharap kedatangan tamu yang sejak siang ditunggunya. Sampai sesore ini belum juga muncul.


            "De, ini dapat kembang sepatu merah. Mau?" tanya Mbak Ndari memecah kesunyian sore itu. Dipegangnya sekuntum bunga sepatu merah. Rupanya dari jenis bunga berenda.

            "Kenapa ndhak kauminta mawar merah di rumah Bu Diman aja?" sergah Bude.

            "Ndhak ada lagi bunganya!"

            "Yo weslah.  Rapopo. Gowo mrene!"

Bergegas Mbak Ndari menyerahkan sekuntum bunga sepatu berenda yang dipetiknya dari pagar halaman tetangga.

Setiap Kamis malam, Bude selalu menyiapkan segelas air dengan bunga tiga warna dan kopi pahit di atas meja kecil yang berada di depan dapur. Tradisi  itu dilakukannya turun temurun sejak beliau masih anak-anak tanpa absen. Ketika Mbak Ndari iseng bertanya untuk apa, Bude hanya menjawab sekenanya.

"Pokoknya setiap Kamis sore harus sudah tersedia seperti ini. Ini kebiasaan sejak zaman Mbah Buyut. Ndhak usah protes!"

Mbak Ndari cuma mengangguk.

"Ndhak usah banyak tanya?" canda Mbak Ndari berusaha mencairkan suasana. Bude menjawab dengan anggukan kepala juga. 

"Segelas air sumur dengan bunga tiga warna dan secangkir kopi pahit. Apalagi sekarang Kamis kliwon. Besok Jumat legi. Wajib nyadran ke makam leluhur!"

Agak sorean tiga wanita sebagai tamu spesialnya datang. Bude pun sibuk dengan tamu yang menggelar dagangan sambil bernegoisasi di ruang tamu. Beberapa potong kain panjang dan sekitar tiga lusin piring makan digelar di meja tamu. Bude memang sering didatangi pedagang karena bisnisnya jual beli barang lelang dari pegadaian.

Menjelang magrib, tamunya pulang. Bude bergegas menyempatkan ke makam yang tidak jauh dari rumah. Agak kesorean memang gegara tamu yang tidak segera pulang dan beliau tentu tidak bisa mengusirnya. Bude membeli tiga bungkus bunga tabur dan dua ikat sedap malam. 

"Tambah kembang boreh dua ribu!"  Sambil meletakkan uang di atas dagangan. Mbah Minah, satu-satunya pedagang bunga yang masih bertahan dan stay tepat di depan pintu gerbang makam itu. Bude segera pulang. Uba rampe untuk nyadran keesokan harinya beserta sajen dipersiapkan dengan rapi.

"Ndhuk. Tolong mintakan dupo ratus di rumah Cik Lan!"  perintahnya kepada Mbak Ndari tergopoh-gopoh.

"Hadhaaahh... kenapa ndhak tadi-tadinya!" protes Mbak Ndari arah dari dapur.

"Aku lupa kalau habis!" serunya.

Hari sudah semakin gelap. Azan magrib selesai dilantunkan di masjid agak jauh yang suaranya menggema. Sambil menggerutu sepanjang jalan Mbak Ndari beranjak ke rumah Cik Lan meminta dupa. Jarak antara rumah dengan rumah Cik Lan sekitar beberapa ratusan meter saja, tetapi berada di selatan makam. Jadi, Mbak Ndari harus melewati Makam Ngujil yang cukup luas itu. sepi. Tidak ada seorang pun lewat. Kendaraan yang bisa hilir mudik pun tidak ada sama sekali yang melintas. Kelelawar berkelebatan ke sana kemari mengitari langit makam yang sunyi itu.

Belum sampai mengetuk pintu dan uluk salam, seorang wanita mengenakan long dress  putih dan menggenggam beberapa batang dupa mendekati serta menyerahkan dupa itu kepada Mbak Ndari.

Dupa atau yang terkenal dengan sebutan hio itu harum di tangannya, tetapi sensasi aroma itu membuat bulu kuduk Mbak Ndari berdiri. Dupa tersebut sering digunakan untuk sembahyangan bagi etnis Tionghoa pemeluk Konghucu. Sementara, adat Jawa biasa mempergunakan kemenyan dibakar dengan arang. Namun, memang aromanya lebih menyengat dan bagi sebagian orang bau kemenyan sangat tidak nyaman karena terlalu nyegrak menyengat. Konon hanya para dukun yang memanfaatkan kemenyan ini sebagai sarana pelengkap selain beberapa jenis bunga seperti mawar, cempaka, kenanga, kantil, sedap malam, dan lain-lain untuk memanggil arwah gentayangan. 

Orang ber-long dress putih itu pergi dengan sangat cepat sehingga Mbak Ndari tidak sempat mengucapkan terima kasih. Mbak Ndari pun bergegas pulang. Sementara, bau kemenyan dan dupa lain, yang sedang dibakar oleh masyarakat sekitar makam semerbak merebak di sekitar tempat itu. Kepala Mbak Ndari sedikit pusing menghirup aroma menyengat tersebut.

Sesampai di rumah segera diserahkannya segenggam dupa itu kepada Bude. Tetiba Bude terbelalak melihatnya.

"Kenapa, Bude?" selidik Mbak Ndari penasaran.

"Ini ... sudah tidak diproduksi lagi! Kaudapat dari mana?"

Bulu kuduk Mbak Ndari pun langsung berdiri spontan. Ia teringat wanita dengan long dress putih tadi. Ia ceritakan kepada Bude dan Bude pun semakin membelalakkan netranya.

"Haaahh ... Cik Lan itu sudah tua, kan? Lalu kenapa memakai long dress? Bukankah dia biasa berkain kebaya? Cik Lan pun hanya tinggal dengan Koh Tek Wan, suaminya yang kena stroke itu! Mereka tidak punya anak!"

"Hah, lalu ... siapa wanita itu? Pantesan sangat cepat ...," gumamnya.

"Ini  malam Jumat legi!" Bude melotot sambil berbisik di telinga Mbak Ndari cukup kencang.

"Ya ... Allah ...," Mbak Ndari gemetar tak dapat menahan kemih.

 

Note

Wanti-wanti : berpesan agar dilaksanakan

Uba rampe: printhilan keperluan

Nyadran: pergi ke makam untuk tabur bunga dan berdoa

Kembang boreh: nama ramuan bebungaan buat tabor bunga ke pusara

"Yo weslah.  Rapopo. Gowo mrene!" : Ya sudhlah tak mengapa, bawa ke sini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun