Mohon tunggu...
Ninik Karalo
Ninik Karalo Mohon Tunggu... Guru - Pendidik berhati mulia

Fashion Designer, penikmat pantai, penjelajah aksara-aksara diksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Amora

3 Agustus 2020   17:46 Diperbarui: 3 Agustus 2020   17:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.genpi.co/gaya-hidup

Amora
Teman-teman memanggilnya Am, Amor, kadang  juga Mora. Lengkapnya Amora. Mereka juga menyapanya si Mayang terurai, sebab rambutnya ikal bak mayang terurai. Ya, benar. Amora yang berkulit sawo matang, tinggi semampai, memiliki bola mata bulat, itu menurut mereka. Benar tidaknya, terserah. Toh, merekalah yang menilai. Bukan dirinya. Serius!

Itu kalimat pamungkas saat teman-temannya menyangkali semua tentang hal itu.  

Amora berjalan menuju ruang di sebuah gedung di lantai bawah tanah. Ia seperti orang linglung. Ada beberapa pintu yang harus dipilihnya. Tujuan utamanya ke lantai tujuh. Ia sempat larak-lirik untuk memilah-milah. Tatapannya mengarah ke belakang tubuhnya. Seseorang tengah memperhatikannya.

Amora mulai merasa gugup, namun sedikit pun tak diperlihatkannya.

Perempuan itu masih berdiri. Seseorang itu mulai mendekatinya. Wajahnya samar sebab tertutup topi yang warnanya juga samar. Dikenakannya agak miring. Nampak garang. Jantung Amora terus saja bergegas naik turun tanpa jeda.

Merasa ada yang menghampiri, Amora segera bergerak. Degup jantung semakin menggelegar. Namun sayang, dengan gesitnya orang yang tak dikenal itu mengayunkan langkahnya menujunya. Lelaki itu menggamit lengan perempuan itu.

"Eiittsss.... siapa Kamu?" tanya Amora di sela gugupnya.

Dengan gigihnya ia berusaha melepaskan genggaman lelaki itu. Ketakutannya semakin merajalela.

Gema suaranya terdengar bervibra, memenuhi tuang luas itu. Ruang yang benar-benar hanya mereka berdua di sana.

Dengan ngos-ngosan, Amora berusaha melepaskan lengan yang tengah tergenggam eratnya. Ia tak mampu mengeluarkan suara lagi. Terkatup oleh rasa takutnya yang membara.

Logikanya tertutup kekalutan yang menimpa pikirannya. Di bawah remang lampu yang menggantung di ruang itu, untuk kesekian kalinya Amora berusaha berteriak tapi suaranya tersedak. Berhenti di tenggokan. Gejolak rasa takut seolah meremas-remas sekujur tubuhnya, mencekik leher. Ia nyaris menyerah. Ia hampir saja roboh.

Tiba-tiba suara lelaki itu lepas menggema di seantero ruang basement. Ia menyebut nama perempuan yang ada dalam genggamannya. Ia juga langsung memeluk tubuh Amora yang hampir lunglai, namun oleh Amora ditepisnya lengan lelaki itu.

Sempat terpikir olehnya ini pasti orang yang sengaja iseng dan menguntitnya pada setiap kegiatannya, hingga dengan mudahnya mengetahui namanya.Amora? darimana ia tahu namaku? batinnya.  

Ditambah lagi, di tengah pergulatan sengit barusan, lelaki itu malah menjelaskan dirinya sangatlah mengenali Amora. Lelaki itu memintanya untuk menatapnya agar Amora segera mengetahui siapa dirinya.

Amora pun menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu. Betapa terperangahnya Amora setelah mengetahui siapa dia. Amora berseru dengan suara lantang menyebut nama lelaki itu disertai sebutan 'Pak'.

Bagai rembulan jatuh di pangkuan, tanpa sungkan ataupun risih sedikitpun, Amora langsung menyerbu dan memeluk erat sambil memukul-mukul bahu lelaki itu. Degup jantungnya yang membara semakin bergejolak parah.

"Teruslan memelukku. Setelah tahu siapa dirimu, aku ingin pelukan ini takkan lepas. Ada air mata kegirangan menetes di bahu lelaki itu. Air mata bahagia campur aduk. Ia benar-benar menumpahkan seluruh rasa di bahu lelaki itu. Rasa marah dan bahagia menyatu.  
 
Saat Amora hendak melonggarkan pelukan, lelaki itu lantas berbisik persis di telinganya. "Kutahu namamu lewat angin, ia mebisikku..." canda lelaki itu.

Amora merasa terbang. Gemuruh di dadanya tambah berdetak ketika matanya berjibaku dengan mata sangar itu.

Wauuwww.. benaknya berteriak. Rasanya mata elang ini seperti menikam tajam ke relung sukmaku. Lihat! Mata itu seolah hendak menerkam diriku. Oauww, jangan sampai ia mencuri jantungku. Apalagi membawanya pergi. Bisa mati terkapar aku. Berkata pula pikirannya.

"Bapak jahat!" rengeknya. Ada gelitik di hatinya. Meski nafasnya masih mengendus satu-satu.

"Waduuh... jangan panggil aku 'Pak' ya, Mora!" kata si bapak sambil menyengir. "Tapi tadi... sudah memeluk... apa masih jahat? Baru kenal kok sudah memeluk. Apa tak takut sama orang baru? Baru kenal sudah memeluk..." ujarnya senyum- senyum saja.

Sementara Amora sendiri bingung sebab kini dua getaran menguncup manjadi satu. Entah getaran mana yang lebih unggul bergemuruh. Ya, benar. Lelaki itu baru dikenalnya semalam. Beberapa jam lalu saat ia dan teman-temannya hendak memasuki area Tugu.**

Pukul 10.05, berdiri seorang lelaki gagah berbaju bawahan loreng dengan kaos oblong hijau cerah. Begitu manly di mata Amora. Sangat maskulin.  

"Pak, masuk ya?" tanya Amora kepada lelaki itu.

"Nggak bisa, Bu! Dah tutup!" kata si 'Pak' dengan sikap tegas namun ramah.
 
"Hah? Emang aku kelihatan tua, ya? Dah kaya ibu-ibu ya, Pak?" tanya Amora lagi.

"Oh... maaf, Non, masih Nona, ya? Kalau gitu sama dong. Jangan panggil aku, Pak!" ucapnya.

"Hmm.. " gumam Amora.

Senyumnya pun mengembang. Bibirnya membentuk garis lekuk. Amora berupaya santun, manis dengan wajah tirusnya. Ia menatap dada kiri lelaki gagah itu. Ada nama tertera di sana bertuliskan 'Fritz'. Sangat singkat. Nama yang macho seperti orangnya. Hatinya tertawan.

"Panggil aku Fritz." katanya sedikit berbisik.

"Terus, gimana dong? Tetap dengan aturan awal? Gak bisa ada kelonggaran,Pak?" tanya Amora membujuk.

"Waduuhh, boleh gak, nyebutnya gak pake Pak, Bu... eh, Non... siapa namanya?"

"Amora. Sekali lagi, A-m-o-r-a. Amora! Jelas?" eja Amora. Lengkap.

"Hah? Amora? Benar Amora?" tanya Fritz. Ia agak terperangah ketika nama itu disebut.

"Kenapa dengan namaku?" tanya Amora rada heran. "Tapi sudahlah. Gak perlu dijawab juga gapapa." ucapnya.

"Ok. Masuklah. Sepuluh menit ya? Terus aku boleh panggil apa dong? Am, Mora, atau mungkim lengkapnya... Amora?"

"Terserah saja." sahutnya.

Lalu ada teriakan dari salah satu sahabatnya. Amora paham apa maksud panggilan itu. "Ya, kalian saja." timpalnya.

Ia tak ikut masuk. Fritz dan Amora pun terlibat percakapan yang akhirnya membawa mereka ke suasana akrab.

Tanpa terasa sepuluh menit telah terlewati. Bahkan mereka sama-sama lupa akan komitmen bahwa aturannya, pengunjung harus segera keluar dari area itu.

Akhirnya, pagar besi pun berderit namun oleh tangan penjaga lain. Bunyi itu menyadarkan keduanya. Amora pun segera pamit dengan hati yang tertinggal dan rasa yang menggantung persi di pucuk tugu yang menjulang.

Fritz, cowok tampan berwibawa itu hanya bisa menyengir sembari menatap punggung Amora tanpa melepas pandang dari pesona perempuan yang baru saja dikenalnya.    

"Kapan kita bisa ketemu lagi, ya?" tanya Fritz seolah berkata untuk dirinya. Amora mendengar itu.

"Semoga saja masih diberi waktu..." jawab Amora sambil membalikkan tubuh. Ia lalu mengayunkan langkahnya sambil menatap tugu tegar itu.

"Itu laguuu...!" teriak Fritz.

"Ya, itu lagu." jawab Amora datar. Hatinya tergelitik walau sedikit gamang.**

Fritz menggamit lengan Amora. Amora terkejut. Ia sadar, yang barusan itu flash back tentang peristiwa yang telah membawa mereka ke suasana detik ini. **

Ia mengangkat kaki kananya meninggalkan tempat itu. Fritz mengikutinya dari belakang. Ia terus mendekatkan tubuhnya lalu lengan kekarnya melingkar pundak Amora. rasa nyaman pun menyelimuti dirinya, walau rasa sungkan terkadang menggelayut risih.*

Suatu saat Fritz tak disangka mereka masih diberi waktu.

Amora duduk di beton pinggiran kanal menghadap keluar jalan ke arah timur,  dekat jembatan kanal itu. Matanya menatap ke arah gedung-gedung tua berderet memamerkan keunikannya. Mata Amora beralih ke dalam kelamnya. air. Ada bayangan dirinya di sana.

Lelaki itu tiba-tiba menghamprinya lalu mendekapnya dari belakang. Amora ingin melepas dekapan itu, namun diurungkannya. Seketika ia merasa ada rasa nyaman menyambangi sekujur tubuhnya.  

Perempuan yang memiliki bola mata indah itu seketika berbinar. Matanya hablur mendapat perlakuan itu. Ia merasa tubuhnya terangkat jauh melambung tinggi. Setidaknya ada sedikit rasa terkesima dengan sentuhan itu, walau dalam benaknya ia khawatir terjerat cinta sekilas. Sukmanya kini menggelantung. Perasaannya berhamburan.

Kekhawatiran merayap ke dalam pikirannya. Ketakutannya tentang kata orang, "Jangan-jangan itu hanyalah kata-kata dari lelaki yang tengah bergetah bibirnya. Lelaki yang pandai memikat hati perempuan." Namun Amora tak mampu mengelak dari semua itu.

"Hmmm... cinta datang tak kenal waktu. Walau terkadang secepatnya pula pergi. Aku tak bisa memastikan apa yang datang itu cinta sekilas ataukah cinta sejatiku kelak?" kata Amora. Fritz sudah duduk di dekatnya.

"Aku sungguh tersesat masuk ke dalam terowongan hatimu, Mora." ungkap Fritz.  

"Oh ya?" ujar Amora.

"Suatu saat kau pergi, aku harus bagaimana, Ra? Aku tak bisa menahanmu!" ungkap lelaki itu lagi.

"Jangan berhenti merindukanku." ujar Amora datar.  

"Aku tak bisa merubah hatimu. Pergilah!" ucap Fritz resah.

"Cinta takkan pernah berubah jika kau gunakan kesetiaanmu." kata Amora sendu.

Temaram semakin memesona langit Kota Tua. Semakin lama dinikmati semakin suasana itu melarut dan melumat habis rasa yang baru saja tumbuh di relung hati keduanya.**

DI ruang tiga kali empat tanpa AC, lelaki itu menyulut rokok mentholnya. Bayangan perempuan yang pernah menyapanya dengan sapaan 'Pak' melintas di pelupuk matanya.

"Apa kau masih mengingatku, Mora?" batinnya.

Terngiang dalam sukma lelaki yang sempat bertemu perempuan yang disapanya 'Bu' yang membuatnya menyesak. Duduk termangu di bawah remang lampu lima watt, ia terjebak dalam hayal.

Suara kepakan ekor cecak di atas kaca jendela terdengar bagai ketukan tuts piano. Terdengar melara syahdu. Ia terbuai oleh kemasan sepenggal kisah yang hingga kini masih bermain dalam pikirannya.

Tiba-tiba gawainya bedering. Diliriknya. Bersamaan dengan bunyi benda cerdas itu, suara seseorang memanggil-manggil. Dua pilihan yang sama penting. Tapi ia harus memilih salah satunya. Mengangkat telepon atau menuju ke arah suara panggilan itu.

"Paa... ke sini sekarang! Amor mau belajar niih...!"

Fritz bingung. Mana yang harus ia pilih. Lelaki itu terdesak oleh suara dari ruang sebelah yang terus memanggilnya tiada henti.  

"Iyaa... Papa segera ke sana, Amora! Sabar ya Nak, ya?" serunya dari tempat ia duduk.

Dering gawai tak ingin diam. Dimatikannya.

"Maaf, Mora! Aku terpaksa mematikannya. Aku lebih memilih Amoraku. Puteri semata wayangku yang kini sedang menungguku untuk belajar Daring. Aku harus membantunya. Ini PJJ. Bagi anak-anak itu rumit! Aku tak ingin menambah rumit." batin lelaki itu memuai.  

Begitulah akhirnya ia menentukan pilihannya. Amora, perempuan yang pernah ditemuinya tanpa sengaja jauh sebelum pandemi menggerogoti bumi,  atau  Amora puteri tersayangnya. Dia sudah menentukan pilihan yang tepat. ***  

NK/03/08/2020

#SangiheBanuaku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun