"Ya, itu lagu." jawab Amora datar. Hatinya tergelitik walau sedikit gamang.**
Fritz menggamit lengan Amora. Amora terkejut. Ia sadar, yang barusan itu flash back tentang peristiwa yang telah membawa mereka ke suasana detik ini. **
Ia mengangkat kaki kananya meninggalkan tempat itu. Fritz mengikutinya dari belakang. Ia terus mendekatkan tubuhnya lalu lengan kekarnya melingkar pundak Amora. rasa nyaman pun menyelimuti dirinya, walau rasa sungkan terkadang menggelayut risih.*
Suatu saat Fritz tak disangka mereka masih diberi waktu.
Amora duduk di beton pinggiran kanal menghadap keluar jalan ke arah timur, Â dekat jembatan kanal itu. Matanya menatap ke arah gedung-gedung tua berderet memamerkan keunikannya. Mata Amora beralih ke dalam kelamnya. air. Ada bayangan dirinya di sana.
Lelaki itu tiba-tiba menghamprinya lalu mendekapnya dari belakang. Amora ingin melepas dekapan itu, namun diurungkannya. Seketika ia merasa ada rasa nyaman menyambangi sekujur tubuhnya. Â
Perempuan yang memiliki bola mata indah itu seketika berbinar. Matanya hablur mendapat perlakuan itu. Ia merasa tubuhnya terangkat jauh melambung tinggi. Setidaknya ada sedikit rasa terkesima dengan sentuhan itu, walau dalam benaknya ia khawatir terjerat cinta sekilas. Sukmanya kini menggelantung. Perasaannya berhamburan.
Kekhawatiran merayap ke dalam pikirannya. Ketakutannya tentang kata orang, "Jangan-jangan itu hanyalah kata-kata dari lelaki yang tengah bergetah bibirnya. Lelaki yang pandai memikat hati perempuan." Namun Amora tak mampu mengelak dari semua itu.
"Hmmm... cinta datang tak kenal waktu. Walau terkadang secepatnya pula pergi. Aku tak bisa memastikan apa yang datang itu cinta sekilas ataukah cinta sejatiku kelak?" kata Amora. Fritz sudah duduk di dekatnya.
"Aku sungguh tersesat masuk ke dalam terowongan hatimu, Mora." ungkap Fritz. Â
"Oh ya?" ujar Amora.