"Kenapa dengan namaku?" tanya Amora rada heran. "Tapi sudahlah. Gak perlu dijawab juga gapapa." ucapnya.
"Ok. Masuklah. Sepuluh menit ya? Terus aku boleh panggil apa dong? Am, Mora, atau mungkim lengkapnya... Amora?"
"Terserah saja." sahutnya.
Lalu ada teriakan dari salah satu sahabatnya. Amora paham apa maksud panggilan itu. "Ya, kalian saja." timpalnya.
Ia tak ikut masuk. Fritz dan Amora pun terlibat percakapan yang akhirnya membawa mereka ke suasana akrab.
Tanpa terasa sepuluh menit telah terlewati. Bahkan mereka sama-sama lupa akan komitmen bahwa aturannya, pengunjung harus segera keluar dari area itu.
Akhirnya, pagar besi pun berderit namun oleh tangan penjaga lain. Bunyi itu menyadarkan keduanya. Amora pun segera pamit dengan hati yang tertinggal dan rasa yang menggantung persi di pucuk tugu yang menjulang.
Fritz, cowok tampan berwibawa itu hanya bisa menyengir sembari menatap punggung Amora tanpa melepas pandang dari pesona perempuan yang baru saja dikenalnya. Â Â
"Kapan kita bisa ketemu lagi, ya?" tanya Fritz seolah berkata untuk dirinya. Amora mendengar itu.
"Semoga saja masih diberi waktu..." jawab Amora sambil membalikkan tubuh. Ia lalu mengayunkan langkahnya sambil menatap tugu tegar itu.
"Itu laguuu...!" teriak Fritz.