Mohon tunggu...
Ninik Karalo
Ninik Karalo Mohon Tunggu... Guru - Pendidik berhati mulia

Fashion Designer, penikmat pantai, penjelajah aksara-aksara diksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Impas, Ma!

7 Juli 2020   23:03 Diperbarui: 8 Juli 2020   20:19 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah berlantai dua, dari luar nampak lengang. Tak ada tanda-tanda keramaian di sana. Undangan merah muda baru saja dikelurkan dari tas. Kurang yakin, dibacanya lagi undangan itu. Nama? Tak peduli! Alamatnya? Tak ada kekeliruan. Namun tetap saja keraguan mengganjal. Apa aku salah? Semoga saja tidak!

Tiba-tiba dari jendela yang sedikit terkuak, seseorang mengintip sambil melambai-lambaikan tangannya. Momo berusaha mengenalinya. Ohh, itu dia! Nyonya rumah, Bu Sunny. Dengan kode menggerakkan telunjuknya, ia diberi isyarat melewati pintu belakang.

Ternyata di dalam, di lantai dua sudah ada tamu yang berkumpul. Tak banyak. Hanya keluarga dekat dan beberapa kerabat. Momo duduk terdiam saja, menanti detik-detik selanjutnya.

Lampu pijar di teras, dinyalakan. Cahayanya menembus ruang tamu di lantai dua itu. Di sans, beberpa meter jarakny, duduk seorang perempuan muda nan cantik dengan cemberut.

Jika ditebak terpaut jauh beberapa tahun di bawah usia Momo. Ia memandang kosong ke arah tetamu yang datang. Momo duduk di samping seorang ibu yang katanya masih saudara dekat dari ibu rumah di sini.

Iseng seseorang menanyakan penyebab si cantik itu cemberut. Spontan ibu lain menjawab. "Bagaiman tidak cemberut? Calon suaminya bukan ayah si jabang bayi yang dikandungnya. Dan lagi, entah datang entah tidak, calonnya juga sudah punya cinta mati. Katanya sih, ini kawin paksa." jelas si ibu.

"Hah? Hari gini masih ada Siti Nurbaya?" Momo menyela. Lalu berdiam.

Si ibu senyam-senyum. Momo menanggapi senyum itu. "Yah, kalau dia jadi aku, aku akan tetap pada pendirianku. Aku akan tegak berdiri seperti Alif. aku selalu ingin menjadi yang pertama seperti Alif. Sekarang ia hanya seperti cebol merindukan bulan, bulannya tak datang, cebolnya gigit jari... hehe..." Tawa Momo hampir melompat keluar dari bibirnya. Ia pun membekap mulutnya sembari menahan tawa.

Pikiran Momo mulai berlayar. Matanya sejak tadi seperti penari Bali, larak-lirik ke sana kemari. Tak terlihat satu pun teman-teman sekantornya. Ini tak masuk akal jika terjadi ketidakhadiran mereka. Sejak Ia berada di dala ruang itu, tak ada satu pun rekan sekantornya muncul. Hingga ibu rumah menyongsongnya tak jua mereka datang. Lalu ibu rumah tak nampak lagi. Sempat menyalaminya, dan akhirnya menghilang dalam kesibukan acara putri semata wayangnya. Sahabat-sahabatnya tak jua muncul.

Deru suara gas mobil terdengar. Menit selanjutnya, beberapa tamu yang hadir memandang ke arah pintu. Momo pun ikut-ikutan memandang, Satu persatu memasuki ruang. Beberapa  lelaki berkopiah serta ibu-ibu bergaun elegan nampak beriringan menuju ruang yang sama.

Tiba-tiba ada pemandangan yang kurang sedap di matanya. Tiga orang berjalan berjejer. Yang di tengah itu? Itukah calon suaminya? Oh Tuhan, ampunilah hambamu ini! Apa aku tak salah? Dikucek-kuceknya matanya. Penglihatannya memang rabun, tapi kali ini tak salah. Itu Andra? Divadiandra kekasihnya? Moga-moga saja bukan. Kali-kali hanya memenuhi undangan. Atau... siapa tahu kembarannya, bathinnya. Ia masih berharap anggapannya keliru. Tapi semakin dipandanginya semakin ia yakin bahwa itu pasti Andra. Ya, Divadiandra.  

Kepala Momo tiba-tiba berdenyut. Matanya terasa berkaca-kaca. Degup jantungnya tak bisa diajak damai. Sudah dicoba untuk menarik napas dalam-dalam agar tenang, namun tetap saja gemuruhnya bagai ombak badai yang sedang mengamuk. Semakin lelaki itu mendekat melewati tempat ia berdiri, semakin yakin ia, itu Daviandra. Pandangan lelaki itu lurus.

Momo memohon doa semoga ia melirik ke arahnya. Seribu satu harapan hinggap di dalam nalar perempuan itu. Ketiganya terus melangkah hingga ke tempat duduk wanita cantik nan imut itu. Daviandra mengambil tempat di sebelahnya. Belum berakhir kesibukannya menghandle kekisruhan dalam pikirannya, seorang bapak yang tengah berjalan di samping Bu Sunny, mereka begandengan mesra. mereka pun duduk mengapit kedua mempelai.

Rasanya suasana itu mengubah raut Momo. Ia pucat total. "Yeaah, itu kan, Papa. Oh my God. Dia Papaku. Tapi ini tak mungkin!" kata hatinya.Keyakinannya mmemerosokkan tubuhnya jauh ke dalam kekisruhan yang paling dalam. Mengapa tidak? Ibu rumah yang sekaligus bos kantor yang selama ini dipujanya, disayanginya seperti menyayangi ibunya sendiri, ternyata menyimpan borok yang mematikan.

Hatinya hancur berkeping-keping. "Jadi, apa yang diceritakan Tante Risna selama ini, bahwa ayahnya punya perempuan simpanan, itu benar adanya? Pantas saja tak pulang-pulang. Rasanya aku tak sanggup menahan sesaknya dada ini. Ternyata kaulah madunya Mama. Kamu benar-benar hebat memainkan sandiwara ini. Berkedok senyum menawan ternyata dalamnya duri. Kau benar-benar menusukku dari belakang. Rintih Momo.

Si raja kunang-kunang kini menggelayut di pelupuk matanya. Terasa berat. akhirnya ia tak tahu apa-apa lagi.

**

Momo mulai bergerak. "Bu, kamu tega melakukan ini padaku." Suara Momo antara tidur dan jaga. Seorang perempuan paruh baya mengelus-elus rambut Momo. Ia membuka matanya perlahan. Ia mulai sadar. Sentuhan sang mama menyadarkannya. Sulit mata itu terbuka.

Samar dipandanginya mereka satu demi satu. Kebencian merong-rong jiwa yang meringis perih. Lama baru Momo mengenali sang mama."Aku di mana, Ma?"

Ia sempat bertanya di mana Andra dengan berbisik ke telinga mamanya. Dari sang mama pula ia mengetahui di mana Andra berada. Ia juga menanyakan bagaiman sang mama bisa sampai ke tempat ini. Ternyata Mama dijemput sopir Papa.

Momo tahu kehadiran orang rumah di ruang itu hanya sekadar basa-basi belaka. Ia pun mengajak sang mama untuk segera meninggalkan tempat itu.

Dibuangnya selimut yang masih melekat di tubuhnya. Tak terasa air matanya telah membasahi kedua pipinya. Ia tak mampu menahan desakan air yang sudah menggumpal di pelupuk matanya, seperti tak mampunya ia mempertahankan hubungannya dengan Divadiandra atau pun hubungan lelaki paruh baya itu dengan sang mama tersayang.

Pupus sudah impiannya bersama Divadiandra, seperti pupusnya hasrat mama merangkai kembali, merajut masa-masa indah bersama ayahnya. Ingin ia segera terbang jauh ke luar angkasa bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Ingin rasanya ia mati saja. Ia kini berada di ujung hati yang hampir lumpuh.

Dalam hatinya ia berbisik. "Maafkan aku, Ma! Aku tak bisa mempersatukan Kalian." Momo bangkit dari pembaringan yang beralaskan bad cover bermotif batik berwarna jingga. Tertata rapi, seperti Bu Sunny menata rapi rahasia perselingkuhannya dengan sang ayah. Terdengar suara parau lelaki itu memohon maaf ke arah Momo. 

Namun dengan wajah ditekuk dan senyum kecut, ia membuang muka. Momo tak ingin menatap wajah lelaki yang dianggapnya bejat. Hatinya sungguh membenci yang amat sangat.

Langit-langit kamar nampak seperti awan berkabut tebal menggelantung di sana. Ada tetes embun perlahan membias, melelehkan kebencian dalam sukma yang penuh bercak-bercak amarah. 

Kemarahan yang lama terpendam dalam diam. Tergores jarum prahara yang sangat tajam menancap keras ke dasar ulu hati. Teramat sakit. Momo hanya mampu menatap sang mama. 

Miris rasanya. "Kita benar-benar impas, Ma!" Setelah itu, ia berlari keluar dari ruang itu. Pecahlah sudah tangis yang sedari tadi ditahannya. Air matanya menyatu bersama derasnya hujan. 

Kebahagiaan anak tergantung bagaimana seorang ayah tidak melukai hati ibunya.

***

NK/07/07/20

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun