Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mulutmu Harimaumu

30 Maret 2024   13:56 Diperbarui: 30 Maret 2024   14:09 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokumen pribadi by Canva

Mentari sudah tampak meredup. Lembayung jingga menyelimuti cakrawala senja,membiaskan bayangan yang memesona mata. Pemandangan menakjubkan laksana lukisan para seniman yang menggoreskan kanvas dengan gradasi warna yang indah.

Aku menatap jalanan yang mulai tampak sepi. Pasti ini pertanda ada kemacetan yang maha dahsyat di satu titik sehingga lalu lintas sangat lengang. Rasa ragu mendera jiwa, antara ingin pulang dan rasa malas melintasi jalanan yang macet.

Dengan enggan aku menaiki angkutan kota yang berhenti tepat di depanku. Di dalam angkot ada dua orang penumpang. Mereka bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak santun dan rasanya telingaku tidak nyaman mendengarnya. Aku mengabaikan apa yang kudengar dengan bermain game TTS yang ada di handphoneku.

Baca juga: Bunglon

Tak lama kemudian ada tambahan dua orang penumpang, satu seorang perempuan dan satu laki-laki. Kemudian angkot berjalan kembali dengan menyisakan percakapan sopir dan temannya dengan kata-kata kasar.

Baru berjalan satu kilo meter, angkot mulai tersendat. Benar saja, antrean kendaraan tampak di depan. Tanpa pikir panjang sopir angkot membantingkan kemudi ke arah kanan untuk mendahului mobil-mobil yang sedang mengantre dengan kecepatan tinggi.


Angkot melaju kencang tanpa memedulikan nyinyiran sopir-sopir kendaraan yang setia mengikuti aturan. Rasa cemas menghantuiku. Namun, aku tetap santai dan mengubur rasa takut dalam hatiku seraya berkomat-kamit membaca doa keselamatan.

Baca juga: Renjana Lara

Diam-diam aku merekam tingkah sopir dan temannya itu. Aku berhati-hati agar tak diketahui oleh mereka. Aku juga memandang kedua penumpang lainnya terlihat cemas.

Tiba-tiba sebuah mobil kontainer menghadang angkot dari arah yang berlawanan.

"Hai ... maneh ka sisi!" teriak sopir angkot sambil melotot ke arah sopir kontainer dengan serentetan ucapan kasar lainnya.

Jantungku berdegup kencang pertanda takut dan kesal pada kelakuan kedua orang itu. Seharusnya mobil angkot yang mengalah dan mengambil ke kanan. Aku melihat sopir truk kontainer tetap santai menanggapinya dan setia menunggu mobil angkot menyisi ke kanan.

Sementara kemacetan masih terus berlangsung dan mengular panjang, ditambah dengan sikap sopir yang membiarkan mobilnya berada di jalur yang diperuntukan untuk kendaraan berlawanan.

Suasana jalanan semakin kacau. Beberapa sopir lain menyuruh angkot mengambil jalan ke bahu jalan, tetapi malah dibentak-bentak. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dan berganti dengan kendaraan lain.

"Punten, akang yang salah menggunakan jalan mobil lain," ujarku mengingatkan si sopir dan temannya seraya berlalu.

"Apa sih ibu ini ikut-ikutan. Awas ada perempuan gila! " teriak sopir dan temannya keras sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Serentetan kata-kata kotor keluar dari mulut mereka dan membuat telinga panas. Beberapa orang memandangiku.

"Awas ... aya awewe gelo!" teriak si sopir seraya menunjuk-nunjuk aku.

Serta merta darahku mendidih. Aku ingin mendekati mereka. Aku tak takut jika mereka akan bersikap kasar karena aku yakin ban hitam karateku akan mampu mengatasinya.

"Ah ... biar sajalah. Kalau aku ladeni pasti akan semakin menjadi." Akhirnya aku memilih sabar dan masuk ke salah satu restoran yang dekat dengan kemacetan. Aku duduk sambil memilih menu take away buat anak-anak.

"Hai ... perempuan gila!" teriak sopir itu lagi dan menunjuk ke arahku .

Aku sigap dan merekam kejadian itu. Aku ingin memberikan pelajaran kepadakedua anak muda yang taktahu sopan santun itu. Saat melihat aku merekam mereka, teman sopir itu turun dan mendekatiku. Dia berusaha mengambil handphone di tanganku.

"Eits ... !" Aku berkelit ke kiri. Rupanya anak muda itu lebih gila di luar dugaanku.

"Awas, Bu!" teriak petugas keamanan. Dia berusaha menghalangi laki-laki itu. Namun, laki-laki itu mendorong dengan keras sehingga petugas itu terjerembab.

"Wah, laki-laki ini tak bisa dibiarkan," gerutuku seraya menyimpan tas ransel dan handphoneku.

Kemudian aku memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangannya. Aku menekuk lutut dan melakukan posisi jongkok rendah seraya menjaga keseimbangan tubuh dan menjaga batang tubuh tetap tegak lalu berdiri lagi dan menggerakan kaki hingga ke posisi yang benar-benar tepat.

Pemuda gila itu menyerangku asal-asalan. Dia berusaha memukul wajah dan merebut hijab yang aku kenakan. Aku kembali berkelit dan melayangkan tendangan ke arah kaki sehingga pemuda itu terjatuh. Dia meringis kesakitan.

"Awewe gelo, sia!" teriaknya sambil memegang lutut yang kesakitan."Bro, tulungan atuh!"

Pemuda itu melihat ke arah mobil angkot dan meminta bantuan kepada kawannya. Beberapa orang menonton kejadian itu, tetapi tak satu pun yang berani melerai. Ada beberapa yang sengaja membuat video. Aku melihat pemuda yang keluar dari mobil sambil membawa sebilah besi.

"Masya allah, dia membawa besi. Karunya si Ibu.Bantuin atuh!" Seorang ibu berteriak dari kerumunan. Namun, tak seorang pun yang berani maju karena pemuda yang kalap itu memutar-mutar besi dengan cepat.

Aku menghela napas panjang saat melihat pemuda nekad itu mengarahkan besi ke arahku. Aku harus berhati-hati menghadapinya. Aku belum pernah berhadapan dengan orang nekad dalam sebuah pertarungan yang sesungguhnya apalagi dengan pertarungan bersenjata yang akan berdarah-darah. Bisakah aku melakukannya?

Aku melihat bayangan kemarahan di mata pemuda itu. Orang yang dilanda kemarahan pasti akan melakukan sesuatu tanpa perhitungan. "Ini adalah saat yang berbahaya, pastinya dia akan menghantamkan besi itu dengan membabibuta," pikirku.

Aku tetap memasang kuda-kuda dan berjaga-jaga untuk menyerang balas. Pemuda itu memutar-mutar besi dengan cepat dan menyerangku. Aku mundur untuk menghindari serangan.

"Awaaaas!" teriakan orang-orang yang melihat. Ada beberapa orang yang berniat membantu, tetapi mereka belum berani bertindak.

"Berhenti! Anda kami tangkap!" Tiba- tiba dua orang polisi menodongkan senjata ke arah pemuda itu,"Silakan buang besi itu atau kami tembak!"

Melihat ada dua orang polisi, pemuda itu melemparkan besi yang dipegangnya. Kemudian dia dan temannya ditangkap.

"Saya minta maaf jika perkataan saya membuat kalian marah. Saya mengingatkan bahwa Tindakan kalian itu salah," ujarku seraya memandang mereka yang masih menyimpan amarah.

Setelah polisi menanyakan kronologi kejadian, mereka pergi dengan membawa kedua pemuda itu.

Baca cerpen-cerpen karya Nina Sulistiati yang lain:

https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378/65f925fcde948f3acc4afe72/renjana-lara

https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378/66019760de948f151179b3e2/bunglon

https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378/65dc38bd147093137e2b3005/arti-sebuah-keikhlasan

https://www.kompasiana.com/ninasulistiati0378/65cef697de948f20087b9fa2/cerpen-mbatin

https://draft.blogger.com/blog/posts/5510088296832799063

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun