Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ma, Semangatmu Mengalir dalam Sanubari

22 Desember 2022   23:02 Diperbarui: 22 Desember 2022   23:03 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dream.co.id

Oh ... makin redup. Makin layu. Namun tampak senyum di wajahnya. Oh, makin lemah, nadi dan nafasnya. Menatap wajahku, mendesahkan selamat tinggal ...

Tahun 1979, awan kelabu menggelayut di kediaman nenek, tempat selama ini kami tinggal. Mama, wanita hebat itu telah kembali kepangkuan Sang Khalik. Kepergian Mama saat usiaku sembilan tahun bukanlah kenyataan yang menyenangkan. Usiaku masih sangat belia saat itu dan harus kehilangan wanita yang sangat disayangi dan menyayangiku

Aku terpuruk dan tak tahu apa yang harus aku lakukan saat aku memandang jenazah mama dimasukan ke dalam liang lahat. Kakak sulungku menangis histeris saat itu, begitu pula kedua kakakku yang lain. Sementara aku terpaku sendu memandang mama yang berbalut kain kafan dibaringkan dalam tidur panjangnya.

Mama adalah seorang guru di salah satu SD di kota Udang. Memori tentang Mama masih sangat membekas di benakku meskipun beliau sudah pergi cukup lama. Kenangan masa kecil yang penuh kasih sayang dan kebahagiaan.

Sejak usia lima tahun aku sudah bersekolah di tempat Mama mengajar. Anak bawang, begitu istilah yang diberikan oleh teman-teman Mama.

Aku melihat Mama mengajar dengan sangat sabar. Tak pernah dia marah kepada murid-muridnya meskipun mereka melakukan hal-hal yang menjengkelkan. Senyumnya pun tak pernah lepas dari bibir tipisnya. Sikapnya itu menjadi panutan bagi guru-guru lain. Mama menjadi kesayangan para siswa dan guru di sekolah itu.

Betapa bahagianya aku saat hari ulang tahunku tiba. Mamaselalu merayakan di kelas tempatku belajar. Mama membelikan kue ulang tahun dan makanan yang akan dibagikan kepada anak-anak dan guru. Momen bahagia yang tak pernah kulupakan hingga saat ini.

Mama sangat menyayangi keempat anaknya yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Kesabarannya selalu hadir saat mendidik kami, sendiri, tanpa bantuan orang lain. Mama selalu mengajarkan kepada kami, khususnya kakak-kakakku yang sudah besar untuk selalu mandiri dan bekerja keras. Mama juga mendidik kami dengan nilai-nilai agama yang kuat.

Baca juga: Perjalanan Hati

Setiap malam, Mama selalu membimbing kami belajar khususnya ketiga kakakku. Cara menjelaskannya pun mudah dicerna. Aku paling sulit memahami konsep berhitung, tetapi Mama selalu memberikan penjelasan yang mudah kupahami.

Mama selalu mampu membagi waktu antara pekerjaan rumah tangga, dan pekerjaannya sebagai guru. Sedangkan Bapak, selalu sibuk dengan pekerjaannya di kesatuannya. Ya, Bapakku bekerja sebagai prajurit TNI AD. Beliau memiliki waktu yang sedikit dengan kami, tapi dia selalu menerapkan disiplin di rumah dengan ketat.

Kami hidup sangat bahagia saat itu. Namun, kebahagiaan itu berangsur-angsur lenyap. Wajah Mama yang ceria dan selalu senyum mulai pudar dan berganti dengan kerenyitan di dahi karena menahan sakit. Ya, Mama didiagnosa mengidap penyakit kanker payudara stadium tiga.

Saat itu aku belum mengerti apa penyakit kanker payudara itu. Aku hanya tahu, sejak Mama sakait, keceriaan yang ada di rumah ini perlahan-lahan sirna. Tak ada lagi suara Mama yang tertawa renyah saat menggoda kami. Tak ada lagi suara merdu saat mengajak kami bernyanyi.

Selama ini Mama menyembunyikan sakitnya. Dia selalu semangat mengajar anak-anak didiknya meski penyakit kanker itu menggerogoti tubuhnya pelan-pelan seolah dia enggan untuk meninggalkan mereka. Namun, penyakit itu memaksa Mama untuk sering mangkir dari tugas.

Penderitaan dan rasa sakitnya tak pernah diperlihatkan kepada teman-teman, murid-murid dan kami anak-anaknya. Dia selalu ingin tampak semangat dan bahagia di mata kami.

Perawatan kanker pada masa itu belum secanggih sekarang. Setiap dua minggu sekali Mama harus diperiksa di RS. Gatot Subroto Jakarta. Betapa pilunya hatiku itu saat melihat tubuh Mama semakin kurus. Aku masih terlalu kecil, tetapi aku tahu betapa menderitanya Mama saat itu apalagi saat melihat payudara Mama sudah dipotong dua-duanya. Tampak legam dan hitam karena proses penyinaran.

Ada satu pesan Mama yang disampaikan kepada kakak sulungku agar kakakku menggantikan peran Mama untuk menjaga kami, adik-adiknya. Dan tetaplah semangat untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi karena pendidikan adalah bekal utama dalam hidup. Pendidikan agama ataupun pendidikan umum harus kami dapatkan.

Akhirnya Mama pergi meninggalkan kami bersama kenangan indah dan pesan-pesan yang melekat dalam sanubari. Senyum lembutnya hadir dan menghiasi tidur panjangnya untuk menghadap Allah Swt.

Ya Allah, ampunilah segala dosa Mama. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah jalan masuknya, cucilah dia dengan air yang jernih dan sejuk, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahan seperti baju putih yang bersih dari kotoran, dan gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik, dari yang ditinggalkannya pula. Masukkanlah dia ke surga, dan lindungilah dari siksanya kubur serta fitnahnya, dan siksa api neraka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun