Mohon tunggu...
Deni Purnomo
Deni Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Abal-abal

Seorang pekerja yang berusaha menjadi mahasiswa disalah satu Universitas swasta di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Hantu: Perpustakaan

5 September 2019   12:37 Diperbarui: 5 September 2019   12:49 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Hantu, bukan berarti banyak hantu yang menampakkan diri layaknya di pasar malam atau tempat-tempat yang memiliki banyak wahana, tetapi tidak menutup kemungkinan seperti itu. Untuk yang percaya.

Namun, Rumah Hantu biasa orang-orang menyebutnya, adalah sebuah rumah kosong tanpa penghuni. Baik ditinggalkan karena sang pemilik pindah, atau mereka yang terlantarkan karena tidak kunjung laku dijual.

Tentu rumah tersebut tak luput dari sarang laba-laba, daun-daun kering yang menumpuk, juga rumput yang memanjang. Kurang lebih seperti rumah yang dipakai sebagai latar tempat di film IT pertama, film yang bercerita tentang seorang badut pembunuh yang tanpa belas kasihan. Menyeramkan, berdebu, dan tidak layak huni.

Lalu, apa hubungannya dengan perpustakaan? Ah, kalian pasti tahu akan hal itu. Sama-sama sepi dan sunyi.

Kok bisa? Ya bisa, mungkin itu disebabkan oleh kedudukan bangsa kita--Indonesia--yang menempati peringkat literasi membaca yang rendah. Seperti yang penulis kutip dari laman Kominfo, bahwa riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Dari jumlah penduduk yang mencapai kurang lebih 264 juta. Unesco (Laman Kominfo) mengatakan, "Hanya 1% dari 1000 orang yang memiliki minat membaca tinggi." Memprihatinkan, memang.

Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan kenapa perpustakaan sepinya hampir menyerupai Rumah Hantu. Bagi masyarakat +62, kata netizen, hal tersebut bukanlah kondisi yang aneh, bahkan bisa disebut lumrah, yaitu sebuah kata yang bermakna biasa; lazim. (KBBI V).

Meskipun sudah menjadi hal lumrah. Kita sebagai generasi penerus perlu memperhatikan kodisi tersebut. Mencari solusi bagaimana agar minat literasi membaca meningkat, sehingga tidak ada lagi generasi Hoax atau generasi Instan yang menjangkit generasi baru yang akan datang.

Mulailah dari diri kita sendiri dengan mengubah mindset anggapan bahwa hal tersebut adalah hal yang lumrah. Lengkapi dengan metode-metode yang dapat mendukung, seperti memberikan teladan, mempraktekkan, dan mulailah bercerita. Bagi orang tua dan pendidik, berikan hukuman juga bagi mereka yang menentang. Tentunya hukuman yang mendidik, yang bukan melulu tentang fisik.

"Buku adalah jendela dunia."

Slogan itu bukan apa-apa jika hanya dibaca tanpa melakukannya (membaca). Maka dari saya, kamu, dia, dan merekalah slogan itu akan hidup dan menjadi suatu hal yang nyata.


Salam literasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun