Ada banyak karya seni yang pernah saya lihat, yang tajam menyindir dan mengkritik, terutama pada tokoh publik, sistem sosial, atau fenomena politik. Jenis lukisan seperti ini semakin banyak. Tetapi, di pameran seni rupa kontemporer "Beyond Imagination" ada lukisan berjudul "Keras Kepalaku" karya Sigit Purnomo, pelukis yang berdomisili di Madura, Â hadir dengan kejutan. Ia bukan sedang menyinyiri orang lain, tapi justru sedang menguliti dirinya sendiri.
Sekilas, lukisan ini tampak seperti karya satir yang biasa kita temui. Dua figur berseragam guru terlihat saling berargumen sengit. Kepala mereka bukan kepala manusia, melainkan batu besar berwarna gelap, yang terkesan keras, berat, dan penuh beban.
Lalu ada dua telinga yang melayang bebas tanpa pemiliknya, menambah kesan "Tak ada yang mau mendengar." Â
Latar kota yang gersang, penggunaan warna-warna kelam, dan komposisi yang terasa sesak membuat suasana lukisan ini begitu muram. Hanya sedikit warna cerah yang muncul, seperti harapan yang tersembunyi jauh di balik keangkuhan.
Awalnya, saya kira ini adalah "another lukisan nyinyir". Yakni sindiran keras pada orang lain yang keras kepala dan tak mau mendengar. Tapi saya keliru. Dan keliru saya bukan di permukaan, tapi di akar. Ternyata ini adalah lukisan tentang dirinya sendiri. Tentang si pelukis. Tentang kejujuran.
Ini baru saya sadari ketika melihat judulnya dan sedikit mengorek-ngorek pelukisnya.
Sangat sedikit orang yang berani melakukan introspeksi diri, apalagi mengakui kelemahannya di depan umum. Sigit Purnomo bukan hanya berani mengakui bahwa ia pernah atau masih keras kepala, ia bahkan mengabadikannya dalam sebuah karya seni yang bisa dilihat siapa pun. Ini semacam pengakuan publik yang puitis, dalam bentuk visual. Sebuah keberanian yang langka.
Introspeksi diri seperti ini adalah buah dari kedewasaan emosional. Ia tak sibuk menunjuk kesalahan ke luar, tapi justru melihat ke dalam. Dan dalam dunia seni rupa, menurut saya ini adalah napas yang menyegarkan. Karena seni introspektif seperti ini biasanya lebih dalam, lebih jujur, dan menyentuh hati penontonnya secara personal.
Orang yang mampu mengintrospeksi dirinya, biasanya mampu tumbuh lebih baik karena ia sadar akan kekurangannya. Tidak mudah menyalahkan, tapi juga tidak larut dalam rasa bersalah. Punya ruang untuk refleksi, yang memperkaya pikirannya dan karyanya.
Saya pikir, Â introspeksi seperti ini menghadirkan karya-karya yang lebih otentik. Bukan sekedar tempelan ide atau kritik sosial, tapi sesuatu yang muncul dari kedalaman pengalaman pribadi. Ini membuat karya tersebut memiliki resonansi yang lebih kuat terhadap penonton, karena jujur itu menular.
"Banyak karya saya tentang catatan harian saya... " akuinya pada saya. Dan ia juga menunjukkan kepada saya, karyanya yang lain yang juga berthema introspeksi diri. Ternyata memang genuine dan konsisten.
Lukisan seperti "Keras Kepalaku" Â menantang pikiran dan perasaan kita. Â Memantik pertanyaan, "Apakah aku juga seperti ini?" Dan di sanalah letak kekuatan sebuah seni introspektif. Ia tidak memaksa kita menghakimi siapa pun. Ia justru mengajak kita untuk sejenak menunduk, merenung, dan mungkin, mengakui, bahwa kadang, kepala kita juga batu. Wk wk wk.
Gaya ekspresif Sigit yang padat simbol, penuh tekstur, dan kontras warna yang tajam memperkuat pesan-pesan batin yang ia sampaikan. Tidak menggurui. Tidak menceramahi. Tapi seperti sahabat lama yang duduk di samping kita, pelan-pelan berbisik, Â "Aku pun salah. Tapi aku sedang belajar."
"Keras Kepalaku" Â adalah undangan untuk kita semua agar berhenti sejenak dari menyinyiri dunia luar, dan mulai bercermin.
Dan jujur saja, menurut saya karya seperti ini adalah angin segar dalam dunia seni rupa, karena keberanian untuk mengakui kesalahan diri, lalu menjadikannya karya, adalah langkah pertama menuju kematangan. Baik sebagai seniman, maupun sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI