Saya pikir, Â introspeksi seperti ini menghadirkan karya-karya yang lebih otentik. Bukan sekedar tempelan ide atau kritik sosial, tapi sesuatu yang muncul dari kedalaman pengalaman pribadi. Ini membuat karya tersebut memiliki resonansi yang lebih kuat terhadap penonton, karena jujur itu menular.
"Banyak karya saya tentang catatan harian saya... " akuinya pada saya. Dan ia juga menunjukkan kepada saya, karyanya yang lain yang juga berthema introspeksi diri. Ternyata memang genuine dan konsisten.
Lukisan seperti "Keras Kepalaku" Â menantang pikiran dan perasaan kita. Â Memantik pertanyaan, "Apakah aku juga seperti ini?" Dan di sanalah letak kekuatan sebuah seni introspektif. Ia tidak memaksa kita menghakimi siapa pun. Ia justru mengajak kita untuk sejenak menunduk, merenung, dan mungkin, mengakui, bahwa kadang, kepala kita juga batu. Wk wk wk.
Gaya ekspresif Sigit yang padat simbol, penuh tekstur, dan kontras warna yang tajam memperkuat pesan-pesan batin yang ia sampaikan. Tidak menggurui. Tidak menceramahi. Tapi seperti sahabat lama yang duduk di samping kita, pelan-pelan berbisik, Â "Aku pun salah. Tapi aku sedang belajar."
"Keras Kepalaku" Â adalah undangan untuk kita semua agar berhenti sejenak dari menyinyiri dunia luar, dan mulai bercermin.
Dan jujur saja, menurut saya karya seperti ini adalah angin segar dalam dunia seni rupa, karena keberanian untuk mengakui kesalahan diri, lalu menjadikannya karya, adalah langkah pertama menuju kematangan. Baik sebagai seniman, maupun sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI