Mohon tunggu...
Nila Saadah
Nila Saadah Mohon Tunggu... Guru

membaca, jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Membangun Fondasi Spiritual Anak Melalui Pendidikan Keberagamaan Usia Dini

16 Juni 2025   00:30 Diperbarui: 16 Juni 2025   00:30 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

  • Membangun Fondasi Spiritual Anak Melalui Pendidikan Keberagamaan Usia Dini

Pendidikan keberagamaan pada usia dini memegang peranan sangat penting dalam membentuk fondasi spiritual anak. Anak usia dini merupakan anak yang sedang berada pada fase emas (golden age) dalam perkembangan kognitif, afektif, sosial, dan spiritual. Masa kecil  merupakan waktu yang sangat tepat untuk menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan, termasuk nilai keberagamaan. Keberagamaan tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan anak dalam mengenal simbol atau ritual keagamaan saja, melainkan juga meliputi pembentukan karakter yang berlandaskan nilai ilahiah, seperti kejujuran, kesopanan, rasa syukur, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, pendidikan keberagamaan pada anak usia dini bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mutlak dalam membentuk fondasi spiritual yang kokoh.

Pembentukan fondasi spiritual untuk anak usia dini bukanlah tugas utama guru, melainkan justru tugas utama orang tua, yang mana orang tua selalu mendampingi tumbuh kembang anak sehari-hari setidaknya dari umur 0-5 tahun selalu berdampingan bersama orang tua,  dan dimasa-masa tersebut bisa dikatakan masa golden age bagi anak-anak. Selain orang tua, guru namun lingkungan dalam membentuk karakter yang baik juga sangat dibutuhkan, sehingga sangatlah disarankan orang tua memberikan contoh perilaku, perkataan yang baik, karena dimasa-masa tersebut anak-anak lebih mudah untuk menangkapnya dan juga ikut serta dalam mempraktekannya. Selain ajaran, perkataan lingkungan yang mendukung juga dapat membentuk perilaku baik terhadap  tumbuh kembang anak. Sesuai dengan kata-kata peribahasa  bahwasannya “ belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, belajar di waktu dewasa bagai melukis di atas air”. Makna dalam peribahasa tersebut amatlah dalam, jelas belajar diwaktu kecil bagaikan mengukir diatas batu, oleh sebab itu anak-anak lebih mudah untuk menangkap dan menghafalkannya sehingga dukungan penuh dari orang tua dan guru serta lingkungan sangatlah dibutuhkan.

Pendidikan Keberagamaan: Pilar Pembentukan Karakter Ilahiah

Menurut Susanto (2011), pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak, termasuk spiritualitasnya. Pendidikan agama harus menjadi bagian integral dari setiap aspek kehidupan anak, tidak sekadar disampaikan melalui hafalan doa atau surat pendek, tetapi dengan pendekatan yang menyentuh sisi emosional dan moral anak. Dalam konteks ini, pendekatan keteladanan memiliki posisi sentral. Guru dan orang tua menjadi figur utama yang akan digugu dan ditiru, sesuai pepatah Jawa “guru adalah digugu lan ditiru”.

Salah satu cara yang terbukti berhasil dalam menanamkan nilai-nilai agama dan etik adalah metode teladan. Anak-anak secara alami cenderung meniru orang dewasa di sekitar mereka, terutama para guru dan orang tua. Dengan menunjukkan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghafal ayat pendek dan doa harian, melaksanakan salat Dhuha, memperlihatkan kesopanan dalam ucapan dan tindakan, mengakui kesalahan dengan meminta maaf, serta menggunakan perkataan "meminta tolong" saat meminta bantuan, mengucapkan “terimakasih” saat sudah selesai dan mengucapkan salam saat berjumpa, pendidik dan orang tua dapat menanamkan nilai-nilai ini secara praktis dan berkesinambungan. Pembelajaran yang nyata dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari akan lebih berarti dan berkesan untuk anak.

Penelitian Fitriyah (2019) di TK Al-Muhsin menunjukkan bahwa nilai-nilai keberagamaan seperti hafalan doa harian, praktik shalat dhuha, berkata sopan, meminta maaf, serta mengucapkan salam dan tolong, lebih mudah ditanamkan melalui keteladanan langsung dari guru. Anak-anak belajar melalui pengulangan dan pengamatan terhadap perilaku orang dewasa. Ketika mereka menyaksikan gurunya shalat dhuha, mengucap salam, atau meminta maaf dengan tulus, nilai-nilai tersebut secara alami akan terinternalisasi dalam jiwa anak.

Selain pendekatan afektif, penting pula menyentuh sisi kognitif anak melalui metode pembelajaran yang menyenangkan. Dalam hal ini, metode Kibar menjadi salah satu inovasi dalam pembelajaran membaca huruf hijaiyah yang efektif. Penelitian Nanda Aulia dkk. (2023) menunjukkan bahwa metode Kibar mampu meningkatkan kemampuan membaca huruf hijaiyah anak usia dini secara signifikan, dengan tingkat korelasi sebesar 0,6 antara aktivitas belajar dan hasil yang dicapai.

Metode ini menekankan pada aspek visual dan audio-motorik, di mana anak tidak hanya membaca tetapi juga melafalkan, mengingat, dan menirukan guru secara aktif. Dengan durasi belajar yang relatif singkat (9–24 bulan), anak bisa mengenali huruf hijaiyah tanpa perlu mengeja satu per satu. Pembelajaran menjadi menyenangkan, efektif, dan bermakna.

Selain contoh yang baik, penerapan metode pengajaran yang terencana dan menarik juga sangat membantu pertumbuhan spiritual anak. Metode Kibar, contohnya, telah terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca huruf hijaiyah pada anak usia dini. Metode ini dibuat secara praktis dan efisien, sehingga pembelajaran Al-Qur'an menjadi lebih sederhana, lancar, dan fasih bagi anak. Semangat anak-anak yang besar dalam mengikuti pembelajaran Al-Qur'an dengan metode Kibar menunjukkan bahwa pendekatan yang menyenangkan dan mudah dimengerti sangat penting untuk mengoptimalkan kemajuan keberagamaanmereka.

Pendidikan nilai agama dan moral pada anak usia dini mencakup berbagai dimensi perkembangan yang komprehensif. Berdasarkan Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014, aspek nilai agama dan moral pada anak usia 4-5 tahun meliputi kemampuan mengenal agama yang dianut, meniru gerakan beribadah dengan baik dan benar, mengucapkan doa-doa harian, mengenal perilaku baik dan buruk, membiasakan diri berperilaku baik sehari-hari, serta mengucapkan dan membalas salam. Sementara itu, pada usia 5-6 tahun, fokusnya berkembang pada kemampuan mengerjakan ibadah, berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan, mengetahui hari besar agama, dan menghormati agama orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun