Sejak memasuki awal tahun 2025, kondisi kami serumah tidak baik-baik saja. Saat itu, radang tenggorokan sedang melanda kebanyakan orang. Batuk, pilek, kepala pusing, menjadi gejala yang dialami hampir semua anggota keluarga. Bahkan, salah satu keponakan yang baru saja kami rayakan baptisnya, harus bermalam di rumah sakit. Agak lain memang.
Pergantian tahun, menjadi waktu yang dinanti sebagian besar keluarga, apalagi yang masih bisa berkumpul di kampung halaman. Saat itu, kami juga sudah berkumpul semua, lengkap. Tapi menjelang malam pergantian tahun, ada yang merayakan di rumah sakit.
Kesehatan fisik memang bisa terganggu karena kondisi-kondisi yang tidak terelakkan. Keluarga adik saya, membawa keponakan dari perjalanan jauh, Jakarta menuju Silangit, lalu singgah ke Toba, dan kemudian perjalanan ke Dairi. Kelelahan. Hal itu paling menjadi faktor menyebabkan radang tenggorokan yang cukup akut, terutama untuk keponakan saya.
Keluarga yang lain, juga mungkin ketularan. Entah karena virus atau bakteri. Namun, dugaan penyebab lain adalah ketika melakukan acara adat sehabis baptisan, kebanyakan bapak-bapak yang ikut tanpa basa-basi, merokok. Baik sesaat tiba di rumah, sebelum memulai makan bersama, dan tentu sehabis makan yang berlanjut dengan acara adat sederhana.
Tetua adat yang duduk di sebelah saya, sehabis makan, spontan mencolek saya. "Sudah disediakan rokok?"
Seolah terkejut, saya mencoba tenang. Lalu memanggil ipar yang bertugas sebagai tim pengadaan segala keperluan acara. Dengan berbisik, "Katanya harus ada rokok, lae."
Agak sungkan untuk menolak. Kami serumah tidak ada yang merokok. Tapi demi menghargai orangtua yang sudah hadir dan juga memenuhi permintaannya, kami menyediakan rokok sebagai bagian dari adat. Ya pastilah, kepulan asap rokok hari itu mempengaruhi kami semua. Dan, kami hanya bisa mencoba untuk mengatasi gangguan fisik tersebut: meminum ramuan tradisional, beli obat, makan secukupnya, dan istirahat yang cukup.
Perayaan tahun baru berlalu, kami masih belum fit sepenuhnya. Namun, keterbatasan waktu membuat kami harus kembali ke tempat masing-masing. Ada perasaan sepi, karena kebersamaan harus diakhiri.
Setelah kebersamaan, saatnya kembali kepada kesibukan masing-masing. Gangguan fisik masih terus menghantui masing-masing kami. Ada yang kemudian merasakan gejala tambahan, dari sekedar pusing, lalu mulai meriang. Begitu berganti-ganti.
Untuk memastikan kondisi, karena batuk yang berkepanjangan, saya sendiri berinisiatif mengunjungi dokter spesialis. Dan benar saja, hasil pemeriksaan menunjukkan di tenggorokan saya terlihat radang di beberapa titik, memerah. Itu yang kemudian membuat batuk berkepanjangan. Selesai pemeriksaan, dokter memberikan resep obat. Itu yang kemudian kami sharing di grup keluarga. Dan kakak, adik, serta keponakan juga sepertinya diminta minum obat yang kurang lebih sama.
Seminggu berlalu, ternyata belum semua juga benar-benar pulih. Batuk yang saya rasakan, sepertinya tidak berkurang, meski sudah mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Bahkan, sebagai orang yang jarang minum obat, antibotik pun saya rela konsumsi. Setelah dapat tekanan dari orangtua, kakak dan istri. Hasilnya nihil.