Mohon tunggu...
Nikmatul Istikhomah
Nikmatul Istikhomah Mohon Tunggu... -

Asli Trenggalek, kordinator APPEl (Aktivis Perempuan Peduli Lingkungan), RDCD Penataran MIC MITI, FIM 11, IYIL FSLDKN, ORBIT, Santika Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Nasionalisme NKRI pada Siswa di Pegunungan Tengah Papua

6 Agustus 2015   18:44 Diperbarui: 6 Agustus 2015   18:49 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mutu pendidikan bangsa Indonesia belum mencapai posisi yang baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal sektor ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk membangun bangsa. Akibat rendahnya mutu pendidikan sekarang, sumber daya manusia yang ada kurang memiliki daya saing pada tingkat dunia. Tentunya jika masalah ini tidak dicarikan solusi secepatnya, akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor-sektor lainnya. Demokrasi pendidikan, keterbukaan, desentralisasi, otonomisasi, dan sebagainya dalam menyelenggarakan pendidikan secara resmi dan normatif sudah disosialisasikan secara meluas. Namun kelihatannya, lagi-lagi demokrasi tidak berlaku dalam masyarakat yang budaya akademiknya masih rendah dan sumber daya manusianya belum berpendidikan tinggi. Selain itu dalam kenyataannya sistem pendidikan masih highly centralized dan diskriminatif.

Pemerintah dengan sangat kuat melaksanakan satu sistem pendidikan nasional lengkap dengan penyelenggaraan sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi sebagai unit pelaksanaannya. Semua yang diselenggarakan masyarakat harus mengikutinya sebagai subsistem dari satu sistem pendidikan nasional. Ibarat dalam sistem keluarga di rumah tangga, anak adalah subsistem dalam keluarga. Namun jika anak tidak berkesempatan hidup dengan jati dirinya sebagai suatu sistem tersendiri, anak tidak akan pernah mampu memberikan kontribusi yang bermakna bagi keluarganya. Justru kemandirian anak dan sukses kehidupannya di luar keluarga ibubapaknya, mereka makin berdaya mengharumkan sistem keluarganya. Sampai saat ini ada banyak polemik yang terjadi dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Mulai dari masalah ujian nasional yang sampai saat ini masih menjadi delik, tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi masyarakat miskin, pendidikan hanyalah suatu mimpi. Banyak mahasiswa yang diharapkan menjadi calon intelektual muda, terpaksa cuti kuliah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Lain lagi bagi siswa SMP dan SMA yang putus sekolah, masalahnya akan lebih rumit. Belum lagi terjadinya kemerosotan moral siswa yang semakin hari semakin memprihatinkan seperti tawuran, menghina guru, bolos, memakai narkoba, dan melakukan tindakan amoral lainnya.

Propinsi Papua dan Papua Barat merupakan bagian paling timur dari Indonesia. Populasi masyarakat adat di wilayah ini secara etnis cukup berbeda dari wilayah lain di Indonesia, dan mencakup lebih dari 300 kelompok etno-bahasa yang berbeda. Pada tahun-tahun belakangan ini mulai tumbuh perasaan identitas “pan- Papua” sebagai respon terhadap proses dekolonisasi, kehadiran pasukan militer Indonesia, dan sejarah transmigrasi rakyat non-Papua dari wilayah Indonesia lainnya. Selain itu, kedatangan missionaris luar negeri mengancam sebagian besar populasi masyarakat adat yang mulai berpaling dari praktek-praktek animisme tradisional dan berpindah ke agama Kristen.

Sebagian rakyat Papua di Indonesia mengklaim bahwa mereka merupakan korban dari ketidakadilan historis, di mana kemerdekaan yang pernah dijanjikan kepada mereka oleh penjajah Belanda telah dirampas. Sementara bagian lain dari Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1949 setelah terjadinya perang kemerdekaan, Belanda tetap mempertahankan kendali di Papua sampai dengan tahun 1960-an. Pada akhir-akhir tahun pemerintahan Belanda, pejabat kolonial di wilayah tersebut telah mempersiapkan Papua untuk memperoleh kemerdekaannya dengan mendorong rasa nasionalisme rakyat Papua dan dengan mengijinkan pembentukan partai politik dan jabang bayi institusi negara.

Akan tetapi, alih-alih menyerahkan kendali atas wilayah tersebut kepada rakyat Papua, pada tahun 1962 Belanda justru menyetujui penyerahan kewenangan atas wilayah Papua kepada sebuah badan bernama United Nations Temporary Executive Authority, untuk kemudian diserahkan kepada Indonesia dalam kurun waktu satu tahun, dengan syarat bahwa pada akhir 1969 akan diadakan sebuah “Penentuan Pendapat Rakyat” untuk menentukan status masa depan Papua. Setiap orang dewasa di Papua akan berhak untuk ambil bagian dalam tindakan penentuan nasib sendiri ini.

Daripada menciptakan sebuah proses yang memberikan hak pilih secara universal, pihak berwenang Indonesia memutuskan untuk melakukan referendum melalui majelis “perwakilan”. Dengan persetujuan dari Belanda dan PBB, Penentuan Pendapat Rakyat dilakukan oleh pemerintah Indonesia in pada bulan April 1969, dengan bantuan PBB. Majelis memilih hanya 1.026 orang rakyat Papua untuk ikut ambil bagian. Mayoritas dari 1.022 orang yang benar-benar ambil bagian merupakan mereka yang dipilih oleh pihak berwenang Indonesia dan kemudian memilih atas nama keseluruhan populasi melalui delapan dewan wilayah. Menurut salah satu sejarawan, militer Indonesia menggunakan intimidasi dan pemaksaan terhadap para delegasi. Hasilnya berupa suara bulat yang mendukung berlanjutnya integrasi dengan Indonesia. Indonesia selalu mengatakan bahwa, sebagai bekas wilayah Belanda, New Guinea Barat (nama yang kemudian digunakan) merupakan bagian yang sah dari Indonesia. Indonesia lebih jauh lagi berargumentasi bahwa tingkat pendidikan di wilayah tersebut sebegitu rendah sehingga prinsip “satu orang, satu suara” tidak dapat diterapkan.

Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang yang merupakan wilayah Pegunungan Tengah Papua tidak terlepas dari sejarah diatas. Nasionalisme dan cinta tanah air pada NKRI di daerah tersebut belum terbentuk secara penuh dan utuh. Di lain pihak Kondisi pendidikan di daerah tersebut jauh tertinggal daripada wilayah lain di Indonesia. Pendidikan Geografi dinilai sebagai sarana penting menumbuhkan jiwa nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Namun kenyataanya, peran Pendidikan Geografi belum berfungsi secara optimal.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dengan adanya pembelajaran Geografi diharapkan menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan nasionalisme NKRI. Hal inilah yang membuat penulis ingin mengkaji Tantangan Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Nasionalisme NKRI pada Siswa di Pegunungan Tengah Papua

Tujuan

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji tantangan dalam bidang pendidikan khususnya pelajaran Geografi di Pegunungan Tengah sekaligus memaparkan solusi guna menumbuhkan jiwa nasionalisme.

Metode

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun