Mohon tunggu...
Nikmatul Istikhomah
Nikmatul Istikhomah Mohon Tunggu... -

Asli Trenggalek, kordinator APPEl (Aktivis Perempuan Peduli Lingkungan), RDCD Penataran MIC MITI, FIM 11, IYIL FSLDKN, ORBIT, Santika Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Nasionalisme NKRI pada Siswa di Pegunungan Tengah Papua

6 Agustus 2015   18:44 Diperbarui: 6 Agustus 2015   18:49 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Nasionalisme NKRI

pada Siswa di Pegunungan Tengah Papua

(studi kasus pendidikan di Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang)

Mohammad Haris Muzakki, S.Pd, Nikmatul Istikhomah,S.Pd *)

*) Guru PPG Pasca SM3T Universitas Negeri Malang

E-mail: harzygeo@gmail.com, nikmatul.istikhomah@gmail.com

Abstrak : Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang di Pegunungan Tengah Papua berbatasan langsung dengan Papua New Guinea. Kondisi pendidikan di daerah tersebut jauh tertinggal daripada wilayah lain di Indonesia. Salah satu masalah besar yaitu kurangnya wawasan kebangsaan tentang Indonesia yang berkaitan dengan konflik separatis berkepanjangan di Papua. Pendidikan Geografi dinilai sebagai sarana penting menumbuhkan jiwa nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Namun kenyataanya, peran Pendidikan Geografi belum berfungsi secara optimal. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji tantangan dalam bidang pendidikan khususnya pelajaran Geografi di Pegunungan Tengah sekaligus memaparkan solusi guna menumbuhkan jiwa nasionalisme. Dalam kajian ini digunakan metode penelitian diskriptif dan kepustakaan (library research). Data diperoleh dari observasi, wawancara, dan studi literatur. Dari hasil kajian, disimpulkan bahwa tantangan pendidikan geografi meliputi fisik dan sosial. Tantangan Fisik terdiri dari morfologi kasar, penyebaran suku yang tidak merata, isolasi wilayah dan rendahnya aksesibilitas. Tantangan sosial meliputi kurangnya profesionalisme pendidik, persepsi masyarakat yang negatif, konflik sosial, pengetahuan warga rendah dan paham kesukuan yang tinggi. Beberapa solusi yang kami tawarkan yaitu memasukkan karakter nasionalisme pada pembelajaran geografi, peningkatan profesionalisme guru, pembukaan aksesibilitas daerah pedalaman, pemerataan tenaga pendidik, dan pendidikan berbasis pendekatan sosiokultural.

Kata kunci: pendidikan Geografi, Wawasan Kebangsaan, Nasionalisme NKRI

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia saat ini dikhawatirkan mengalami kemunduran dalam semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang merupakan bagian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia dulu dikenal dengan bangsa yang ramah, rukun karena merasa senasib dan memiliki kesamaan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Namun kini lebih dikenal sebagai bangsa yang mudah dan tersinggung, sehingga setiap hari media massa menyuguhkan berita kerusuhan dan kriminal dimana-mana. dengan demikian untuk menanamkan pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat terhadap rasa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila dan konstitusi Negara Kesatuan republik Indonesia yaitu melalui dunia pendidikan.

Pendidikan dituntut mampu menciptakan peserta didik agar memiliki jiwa nasionalisme dan cinta tanah air yang kuat. Hal tersebut sangat urgen bagi masa depan bangsa dan negara apabila peserta didik tidak memiliki jiwa nasionalisme tersebut, dipastikan krisis disintregasi dan krisis multidimensional yang hingga kini berkecamuk akan sampai ke sendi sendi kehidupan bangsa dan negara. Selain itu pendidikan merupakan wadah untuk menuntut ilmu pengetahuna serta tempat menyiapkan dan melatih generasi calon pemimpin bangsa.

Mutu pendidikan bangsa Indonesia belum mencapai posisi yang baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal sektor ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk membangun bangsa. Akibat rendahnya mutu pendidikan sekarang, sumber daya manusia yang ada kurang memiliki daya saing pada tingkat dunia. Tentunya jika masalah ini tidak dicarikan solusi secepatnya, akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor-sektor lainnya. Demokrasi pendidikan, keterbukaan, desentralisasi, otonomisasi, dan sebagainya dalam menyelenggarakan pendidikan secara resmi dan normatif sudah disosialisasikan secara meluas. Namun kelihatannya, lagi-lagi demokrasi tidak berlaku dalam masyarakat yang budaya akademiknya masih rendah dan sumber daya manusianya belum berpendidikan tinggi. Selain itu dalam kenyataannya sistem pendidikan masih highly centralized dan diskriminatif.

Pemerintah dengan sangat kuat melaksanakan satu sistem pendidikan nasional lengkap dengan penyelenggaraan sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi sebagai unit pelaksanaannya. Semua yang diselenggarakan masyarakat harus mengikutinya sebagai subsistem dari satu sistem pendidikan nasional. Ibarat dalam sistem keluarga di rumah tangga, anak adalah subsistem dalam keluarga. Namun jika anak tidak berkesempatan hidup dengan jati dirinya sebagai suatu sistem tersendiri, anak tidak akan pernah mampu memberikan kontribusi yang bermakna bagi keluarganya. Justru kemandirian anak dan sukses kehidupannya di luar keluarga ibubapaknya, mereka makin berdaya mengharumkan sistem keluarganya. Sampai saat ini ada banyak polemik yang terjadi dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Mulai dari masalah ujian nasional yang sampai saat ini masih menjadi delik, tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi masyarakat miskin, pendidikan hanyalah suatu mimpi. Banyak mahasiswa yang diharapkan menjadi calon intelektual muda, terpaksa cuti kuliah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Lain lagi bagi siswa SMP dan SMA yang putus sekolah, masalahnya akan lebih rumit. Belum lagi terjadinya kemerosotan moral siswa yang semakin hari semakin memprihatinkan seperti tawuran, menghina guru, bolos, memakai narkoba, dan melakukan tindakan amoral lainnya.

Propinsi Papua dan Papua Barat merupakan bagian paling timur dari Indonesia. Populasi masyarakat adat di wilayah ini secara etnis cukup berbeda dari wilayah lain di Indonesia, dan mencakup lebih dari 300 kelompok etno-bahasa yang berbeda. Pada tahun-tahun belakangan ini mulai tumbuh perasaan identitas “pan- Papua” sebagai respon terhadap proses dekolonisasi, kehadiran pasukan militer Indonesia, dan sejarah transmigrasi rakyat non-Papua dari wilayah Indonesia lainnya. Selain itu, kedatangan missionaris luar negeri mengancam sebagian besar populasi masyarakat adat yang mulai berpaling dari praktek-praktek animisme tradisional dan berpindah ke agama Kristen.

Sebagian rakyat Papua di Indonesia mengklaim bahwa mereka merupakan korban dari ketidakadilan historis, di mana kemerdekaan yang pernah dijanjikan kepada mereka oleh penjajah Belanda telah dirampas. Sementara bagian lain dari Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1949 setelah terjadinya perang kemerdekaan, Belanda tetap mempertahankan kendali di Papua sampai dengan tahun 1960-an. Pada akhir-akhir tahun pemerintahan Belanda, pejabat kolonial di wilayah tersebut telah mempersiapkan Papua untuk memperoleh kemerdekaannya dengan mendorong rasa nasionalisme rakyat Papua dan dengan mengijinkan pembentukan partai politik dan jabang bayi institusi negara.

Akan tetapi, alih-alih menyerahkan kendali atas wilayah tersebut kepada rakyat Papua, pada tahun 1962 Belanda justru menyetujui penyerahan kewenangan atas wilayah Papua kepada sebuah badan bernama United Nations Temporary Executive Authority, untuk kemudian diserahkan kepada Indonesia dalam kurun waktu satu tahun, dengan syarat bahwa pada akhir 1969 akan diadakan sebuah “Penentuan Pendapat Rakyat” untuk menentukan status masa depan Papua. Setiap orang dewasa di Papua akan berhak untuk ambil bagian dalam tindakan penentuan nasib sendiri ini.

Daripada menciptakan sebuah proses yang memberikan hak pilih secara universal, pihak berwenang Indonesia memutuskan untuk melakukan referendum melalui majelis “perwakilan”. Dengan persetujuan dari Belanda dan PBB, Penentuan Pendapat Rakyat dilakukan oleh pemerintah Indonesia in pada bulan April 1969, dengan bantuan PBB. Majelis memilih hanya 1.026 orang rakyat Papua untuk ikut ambil bagian. Mayoritas dari 1.022 orang yang benar-benar ambil bagian merupakan mereka yang dipilih oleh pihak berwenang Indonesia dan kemudian memilih atas nama keseluruhan populasi melalui delapan dewan wilayah. Menurut salah satu sejarawan, militer Indonesia menggunakan intimidasi dan pemaksaan terhadap para delegasi. Hasilnya berupa suara bulat yang mendukung berlanjutnya integrasi dengan Indonesia. Indonesia selalu mengatakan bahwa, sebagai bekas wilayah Belanda, New Guinea Barat (nama yang kemudian digunakan) merupakan bagian yang sah dari Indonesia. Indonesia lebih jauh lagi berargumentasi bahwa tingkat pendidikan di wilayah tersebut sebegitu rendah sehingga prinsip “satu orang, satu suara” tidak dapat diterapkan.

Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang yang merupakan wilayah Pegunungan Tengah Papua tidak terlepas dari sejarah diatas. Nasionalisme dan cinta tanah air pada NKRI di daerah tersebut belum terbentuk secara penuh dan utuh. Di lain pihak Kondisi pendidikan di daerah tersebut jauh tertinggal daripada wilayah lain di Indonesia. Pendidikan Geografi dinilai sebagai sarana penting menumbuhkan jiwa nasionalisme dan rasa cinta tanah air. Namun kenyataanya, peran Pendidikan Geografi belum berfungsi secara optimal.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dengan adanya pembelajaran Geografi diharapkan menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan nasionalisme NKRI. Hal inilah yang membuat penulis ingin mengkaji Tantangan Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Nasionalisme NKRI pada Siswa di Pegunungan Tengah Papua

Tujuan

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji tantangan dalam bidang pendidikan khususnya pelajaran Geografi di Pegunungan Tengah sekaligus memaparkan solusi guna menumbuhkan jiwa nasionalisme.

Metode

Dalam kajian ini digunakan metode penelitian diskriptif dan kepustakaan (library research). Data diperoleh dari observasi, wawancara, dan studi literatur. Metode penelitian deskriptif yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya. Kutha (2010:53) dalam Gindarsyah (2010:30) menjelaskan, metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata - mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. “Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.”(Nazir,1988: 111). Studi Kepustakaan yaitu mengadakan penelitian dengan cara mempelajari dan membaca literatur-literatur yang ada hubungannya dengan permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Alasan penulis menggunakan metode ini adalah karena pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Selain itu, metode ini dianggap cukup tepat untuk melakukan pendekatan terhadap masalah yang akan diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang

Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten di provinsi Papua, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wamena yang terletak di Lembah Baliem. Lembah Baliem lebih terkenal sehingga banyak orang menyebut Lembah Baliem identik dengan Jayawijaya atau Wamena. Dalam literatur asing Lembah Baliem juga sering disebut sebagai Lembah Agung yang merupakan sebuah lembah aluvial yang terbentang pada areal ketinggian 1500-2000 m di atas permukaan laut.

Temperatur udara bervariasi antara 14,5 derajat Celcius sampai dengan 24,5 derajat Celcius. Dalam setahun rata-rata curah hujan adalah 1.900 mm dan dalam sebulan terdapat kurang lebih 16 hari hujan. Musim kemarau dan musim penghujan sulit dibedakan. Berdasarkan data, bulan Maret adalah bulan dengan curah hujan terbesar, sedangkan curah hujan terendah ditemukan pada bulan Juli. Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena puncak-puncak salju abadinya, antara lain: Puncak Trikora (4.750 m), Puncak Mandala (4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). Lereng pegunungan yang terjal dan lembah sungai yang sempit dan curam menjadi ciri khas pegunungan ini.

Selain itu, kabupaten Jayawijaya merupakan kawasan Pegunungan Tengah di Provinsi Papua. Secara geografis, wilayah Kabupaten Jayawijaya terletak diantara 1380 30`  - 1390 40` Bujur Timur dan 30 45` - 40  20` Lintang Utara dan memiliki luas wilayah 8.496 km2.

Kabupaten Pegunungan Bintang, adalah salah satu kabupaten yang terletak di jalur Pegunungan tengah Papua deretan Pegunungan Sirkum Pasifik Propinsi Papua. Kabupaten ini merupakan kabupaten relatif baru yang merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Wilayah ini terletak di selatan Pegunungan Mandala. Kabupaten dengan panorama alam mempesona yang masih asli, penuh dengan keindahan eksotik khas hutan belantara. Pegunungan yang menjulang tinggi dan hamparan hutan yang luas menghiasi alam di Pegunungan Bintang. 90% wilayahnya berupa gunung dan merupakan bagian dari deretan pegunungan Puncak Mandala. Kaya akan sumber daya, dengan keragaman kesenian tradisional dan memiliki legenda yang menarik.

Kabupaten Pegunungan Bintang adalah salah satu Kabupaten dan langsung berbatasan dengan Negara Papua Nugini. Secara geografis Kabupatn Pegunungan Bintang terletak diantara 140005 - 1410 BT dan 3004-5020 LS dengan luas wilayah 15.683 km2. Kabupaten Pegunungan Bintang terdapat 34 Distrik (Kecamatan) dan 277 Desa/Kampung. Kabupaten Pegunungan Bintang merupakan salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya yang resmi memecahkan diri sejak tahun 2010. Ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang bernama Oksibil.Sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boven Digul. Topografi daerahnya sebagian besar berupa pegunungan.

Tantangan Pendidikan Geografi

Rendahnya rasa nasionalisme NKRI pada siswa di Pegunungan Tengah Papua secara umum disebabkan oleh tidak adanya pendidikan tentang wawasan kebangsaan NKRI. Pendidikan Geografi sendiri mengalami banyak tantangan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme, baik dari kualitas dan kuantitas guru maupun sistem pembelajarannya yang meliputi fisik dan sosial. Tantangan fisik terdiri dari morfologi kasar yaitu sebagian besar merupakan pegunungan tinggi, penyebaran suku yang tidak merata, isolasi wilayah dan rendahnya aksesibilitas. Tantangan sosial meliputi kurangnya profesionalisme pendidik, persepsi masyarakat yang negatif, konflik sosial, pengetahuan warga rendah dan paham kesukuan yang tinggi. Berikut penjelasan mengenai tantangan tersebut:

  1. Tantangan Fisik

Adalah tantangan yang secara fisik berkaitan dengan adanya keterbatasan fisik alamiah, seperti karakter alam yang merupakan bawaan dari wilayah, dimana keterbatasan ini dapat bersifat mutlak (limitasi), atapun dapat pula sebatas menghambat.

Daerah pendidikan di Papua sebagian besar berada pada garis terluar dan terpelosok. Wajar kalau pendi­dikan disana lebih cenderung ter­integrasi dengan kebudayaan adat setempat. Untuk itu, motode pembelajaran yang ada di Papua harus menitiberatkan pada konsep alam yang tersedia. Pendi­dikan harus diseleng­garakan dan disesuai­kan dengan konteks­tual parsial yang ada disana. Tidak boleh serta merta mengikuti atau menerapkan kurikulum pendidikan yang ada saat ini, apalagi mengaplikasikan kurikulum 2013. Fakta ini sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan teoritis yang selama ini kita pahami bersama. Kurikulum yang mena­sional. Padahal, realitanya pemerintah terkesan “memaksa­kan” kuri­kulum baru tanpa terlebih dahulu mengevaluasi kualitas atau keunikan yang dimiliki setiap daerah yang ada di belahan bumi Indonesia. Seba­gai guru, tentu saja saya sangat mendu­kung setiap program dan kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah. Tapi, bijak­sana­nya perlu kematangan konsep, sistem dan kesesuaian program sebelum semua­nya itu digulir­kan secara nasional.

  1. Tantangan Sosial

Mengacu pada persoalan guru (tenaga pen­didik) yang tidak merata di seluruh wilayah Papua. Fakta me­nunjukkan bahwa 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Sedang­kan secara nasional, 34 persen sekolah Indonesia masih kekura­ngan guru (Munif Chatib, dalam bukunya Gurunya Manusia, Hal XIV). Ini secara langsung menunjuk­kan bahwa ketersediaan guru-guru di daerah pedalaman sangatlah mepri­hatin­kan. Di Papua Pegunungan Tengah, misal­nya banyak sekolah-sekolah yang akhirnya “gulung tikar” akibat pasokan guru yang tidak ada. Padahal, ujung tombak pendidi­kan seharusnya berada di pundak para guru. Pertanyaan yang muncul lantas apa yang akan kita harapkan dalam pendidikan di daerah terpencil seperti Papua bila guru-gurunya saja tidak ter­sedia. Ringkasnya, mungkin­kah kita meraih pendidikan yang bermutu dan merata bila tenaga pendidik tidak terdistribusi dengan baik.

Majunya pendidikan dapat dilihat dari kehadiran guru-guru serta kualitasnya dalam melakukan kegiatan belajar menga­jar di dalam kelas. Kualitas pendidikan tidak lagi terpatok pada hebatnya sebuah kurikulum, tetapi bagaimana melahirkan guru-guru yang cakap, kreatif dan unggul. Logikanya, tidaklah mungkin seorang guru yang kurang kompeten mampu menerap­kan kurikulum yang bagus. Tetapi seba­liknya, sesulit apapun kurikulumnya, kalau guru-guru kita sudah cakap dan kompeten maka penerapannya bisa terealisasi dengan baik. Intinya, guru yang mesti dibekali terlebih dahulu.

Stigma negatif yang masih berkembang dalam persepsi masyarakat kita saat ini bahwa Papua sering diidentik­kan sebagai daerah konflik, primitif dan rawan dari berbagai penyakit. Dengan berbagai alasan ini tentu saja banyak orang yang akhirnya mengurungkan niat untuk mengabdi atau sekedar berkunjung. Stereo­tipe ini tampaknya sudah menjalar dan mengakar kuat dalam persepsi banyak orang. Tentu mengubah image ini tidak segam­pang membalikkan tangan. Semua pihak harus bersinergi, termasuk media, masyarakat dan pemerintah. Kalaupun kebenaran stigma ini ada, tapi bukan berarti kita menjadi “alergi” bahkan berberat hati untuk membangun pendidikan di Papua.

Peran Pendidikan Geografi dalam Menumbuhkan Rasa Nasionalisme NKRI

Maryani mengatakan ”..pengenalan berbagai informasi tempat tinggal umat manusia baik secara global ataupun nasional diperoleh melalui geografi. Cinta tanah air (nasionalisme), rasa persatuan dan kesatuan akan berkembang setelah siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai potensi dan masalah negaranya. ”Menurut pendapat tersebut bahwa pembelajaran geografi memberikan kontribusi yaitu pengetahuan dan pemahaman tentang potensi keadaan Indonesia baik secara nasional ataupun di dunia pada umumnya.

Pembelajaran dan pengajaran geografi berhubungan dengan kehidupan umat manusia dipermukaan bumi yang berupa kesatuan yang menyeluruh dengan kondisi alamnya. Seperti dikemukakan dalam lokakarya di Semarang (1988) bahwa “Geografi  adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks keruangan”. Pada konsep ini geosfer ditinjau dari sudut pandang keruangan dan kewilayahan yang menampakkan persamaan ataupun perbedaan yang tidak terlepas dari relasi keruangan dari unsur-unsur geografi yang membentuknya. Intrelasi dan integrasi keruangan gejala di permukaan bumi dari suatu wilayah ke wilayah lain selalu menunjukkan perbedaan. Hal ini dapat kita kaji sendiri bahwa ciri-ciri umum suatu wilayah dapat membedakan diri dari wilayah lainnya. Ciri umum yang merupakan hasil interelasi, interaksi dan integrasi unsur-unsur wilayah yang bersangkutan, merupakan obyek studi gegrafi yang komprehensif (Sumaatmadja, 1988: 33).

Dengan demikian ruang lingkup disiplin geografi memang sangat luas dan mendasar, seperti yang dikatakan Murphey (1966: 5), mencakup “aspek alamiah” dan “aspek insaniah”, yang kemudian aspek-aspek tersebut dituangkan dalam suatu ruang berdasarkan prinsip-prinsip penyebaran, dan kronologinya. Selanjutnya prinsip relasi ini diterapkan untuk menganalisa hubungan antara masyarakat manusia dengan alam lingkungannya, yang dapat mengungkapkan perbedaan arealnya serta persebaran dalam ruang. Akhirnya prinsip relasi, penyebaran, dan kronologinya pada kajian geografi ini dapat mengungkapkan karakteristik suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya. Dengan demikian terungkaplah adanya region-region yang berbeda antara region satu dengan lainnya. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa cakupan dan peranan geografi itu setidaknya memiliki empat hal, seperti yang dikemukakan dari hasil penelitian UNESCO (1965: 12-35), maupun Lounsbury (1975: 1-6), sebagai berikut:

  • Pertama, geografi sebagai suatu sintesis. Artinya pembahasan geografi itu pada hakikatnya dapat menjawab substansi pertanyaan-pertanyaan tentang; “what, where, when, why, dan how”. Proses studi semacam itu pada hakikatnya adalah suatu sintesis, karena yang menjadi pokok penelaahan mencakup: apanya yang akan ditelaah, di mana adanya, mengapa demikian, bilamana terjadinya, serta bagaimana melaksanakannya ?
  • Kedua, geografi sebagai suatu penelaahan gejala dan relasi keruangan. Dalam hal ini geografi berperan sebagai pisau analisis terhadap fenomena-fenomena baik alamiah maupun insaniah. Selain itu dalam geografi juga berperan sebagai suatu kajian yang menelaah tentang relasi, interaksi, bahkan interdependisinya satu aspek tertentu dengan lainnya .
  • Ketiga, geografi sebagai disiplin tataguna lahan. Di sini titik beratnya pada aspek pemanfaatan atau pendayagunaan ruang geografi yang harus makin ditingkatkan. Sebab, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat dewasa ini, menuntut peningkatan sarana yang menunjangnya baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Perluasan sarana tersebut, seperti tempat pemukiman, jalan raya, bangunan publik, tempat rekreasi, dan sebagainya, semuanya membutuhkan perencanaan yang lebih cermat dan matang.
  • Keempat, geografi sebagai bidang ilmu penelitian. Hal ini dimaksudkan agar dua hal bisa tercapai, yaitu: kesatu; meningkatkan pelaksanaan penelitian ilmiah demi disiplin geogafi itu sendiri yang dinamis sesuai dengan kebutuhan pengembangan ilmu yang makin pesat. Oleh karena itu dalam tataran ini perlu dikembangkan lebih jauh tentang struktur ilmu (menyangkut fakta, konsep, generalisasi, dan teori) dari ilmu yang bersangkutan. Kedua, meningkatkan penelitian praktis untuk kepentingan kehidupan dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia umumnya.

Ruang lingkup pembelajaran geografi menurut Sumaatmadja (1997: 13). Sebagai berikut:

  1. Alam lingkungan yang menjadi sumber daya bagi kehidupan manusia.
  2. Penyebaran umat manusia dengan variasi kehidupannya.
  3. Interaksi keruangan umat manusia yang memberikan variasi terhadap ciri khas tempat-tempat dipermukaan bumi.
  4. Kesatuan regional yang merupakan perpaduan mata darat, perairan dan udara diatasnya.

Dengan belajar geografi siswa diharapkan bisa mengenal kondisi dan potensi sumberdaya alam yang di wilayahnya dari hasil pembelajaran. Dengan demikian maka seharusnya mereka sudah mempunyai landasan konsep tentang keberagaman NKRI yang harus dipahami sebagai kekhasan dalam konteks keruangan sebagai wilayah suatu negara, yang mana didalamnya dihuni oleh penduduk yang pluralisti dan sumberdaya alam yang melimpah.

Karakteristik pembelajaran geografi yang interdisipliner dalam konteks keruangan dapat melatih pola berpikir kompleks dalam memandang keberagaman di dalam wilayah NKRI. Pandangan yang menyeluruh dalam pola piker setiap siswa akan memberikan dasar persepsi yang sama tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penanaman persepsi yang sama diharapkan dapat membawa bangsa menuju kesepahaman dalam mewujudkan cita-cita nasional. Suatu persepsi atau pandangan yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan bersama akan merugikan kesatuan, kebersamaan, dan keserasian bangsa yang bisa menimbulkan gejolak sosial yang merugikan bangsa secara keseluruhan sehingga dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.

Dengan demikian penanaman rasa nasionalisme NKRI tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran secara umum dan secara khusus karakteristik pembelajaran geografi mempunyai andil yang besar dalam membentuk persepsi yang sama dalam menanggapi NKRI dalam konteks keruangan yang didalamnya sarat keberagaman.

Solusi

Berdasarkan penjabaran yang telah dipaparkan pada pembahasan di atas, tulisan ini menawarkan beberapa solusi untuk menjawab tantangan Pendidikan Geografi di Pegunungan Tengah Papua sebagai berikut:

  1. Memasukkan karakter nasionalisme pada pembelajaran geografi

Geografi yang pada pembelajarannya menekankan pada konteks keruangan dan kewilayahan sangat terintegrasi dengan penanaman rasa Nasionalisme NKRI, sehingga dalam kegiatan belajar mengajar geografi harus dimasukkan nilai karakter tersebut. Nilai karakter nasionalisme harus diinternalisasikan dalam pembelajaran geografi di kelas. Proses internalisasi karakter nasionalisme NKRI bisa dimulai dengan cara menunjukkan wawasan nusantara melalui Peta. Hal itu harus dilakukan dikarenakan siswa tidak mengetahui bagian wilayah Indonesia. Mereka hanya mengetahui daerahnya sendiri yaitu Papua, mereka tidak mengetahui wilayah-wilayah lain yang ada di Indonesia. Oleh karena itu dengan memanfaatkan media peta atau atlas, siswa diharapkan dapat mengetahui wilayah NKRI. Selain mengetahui wilayah, mereka juga akan mengetahui keanekaragaman alam dan budaya Indonesia, sehingga siswa akan tahu bahwa Papua juga merupakan bagian dari wilayah NKRI. Selain itu, dalam pembelajaran geografi juga harus dikenalkan tentang potensi yang ada di wilayah pegunungan tengah supaya siswa lebih mengetahui potensi yang ada di wilayahnya sehingga diharapkan mereka dapat mengembangkan potensi yang ada. Dengan demikian mereka akan lebih mengenal wilayahnya yang kaya akan sumberdaya alam dan mengetahui bahwa Indonesia bukan hanya di Papua melainkan terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jadi intinya pembelajaran geografi disini memunculkan kekhasan dalam peenyampaian yang menyangkut di wilayah NKRI yang mampu dipahami sehingga dari materi tersebut diharapkan muncul sikap atau perilaku yang berlandaskan pemahaman terhadap perspektif keruangan dari wilayah NKRI.

Pengenalan Peta kepada murid SMA N Okbibab

Sumber : dokumen pribadi nikmatul istikhomah

  1. Peningkatan profesionalisme guru geografi

Profesionalisme guru geografi sangat dibutuhkan pada situasi saat ini di Papua. Kualitas guru geografi yang di pegunungan tengah sangat mengkhawatirkan, sebagian besar cara mengajar mereka sangat konvensional, yaitu siswa disuruh mencatat tanpa diberikan penjelasan. Padahal yang dibutuhkan para siswa pada saat ini yaitu pembelajaran bermakna. Dengan pembelajaran geografi yang bermakna dan kontekstual maka pemahaman siswa akan wawasan NKRI juga akan bertambah. Oleh karena itu, dengan meilhat kondisi guru geografi yang sangat rendah kualitasnya, maka dinas pendidikan setempat perlu mengadakan pelatihan-pelatihan kepada guru-guru geografi untuk meningkatkan profesionalisme guru.

  1. Pembukaan aksesibilitas daerah pedalaman

Kondisi topografi yang kasar, karena kedua daerah ini merupakan daerah pegunungan dengan aksesbilitas yang sangat sulit sehingga daerah ini dikategorikan sebagai daerah terpencil dan tertinggal. Hal tersebut menyebabkan daerah yang berada di pedalaman jarang dijumpai sekolah yang ada gurunya, bahkan ada sekolah yang sudah tidak digunakan karena tidak adanya guru. Oleh karena itu pembukaan sarana transportasi sangat diperlukan untuk menjangkau daerah-daerah pedalaman. Daerah pedalaman sangat perlu dikenalkan dan ditanamkan wawasan kebangsaan NKRI karena masyarakat pedalaman belum terlalu mengenal daerah luar, mereka hanya mengenal tanah kelahiran mereka yaitu Papua, jika mereka ditanya tentang kewarganegaraan pasti mereka akan menjawab kewarganegaraan Papua. Dengan terbukanya akses maka informasi juga akan mudah diterima oleh masyarakat dan guru-guru juga akan mudah untuk memberikan ilmu pengetahuan pada masyarakat sehingga mereka akan mendapatkan pendidikan yang layak seperti masyarakat Indonesia pada umumnya.

Bandara Abmisibil, Distrik Okbibab Kab. Pegunungan Bintang

Sumber : Dokumen Pribadi Nikmatul Istikhomah

  1. Pemerataan tenaga pendidik

Guru-guru yang ada di pegunungan tengah Papua masih sangat kurang dan hanya terpusat di kota saja. Banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga pendidik, terutama sekolah-sekolah di daerah pedalaman. Banyak juga guru yang mengajar tidak sesuai dengan keahliannya. Hal tersebut ditemukan juga pada guru yang mengajar mata pelajaran geografi bukan berasal dari lulusan pendidikan geografi. Dikarenakan guru tidak sesuai keahlian, akibatnya pembelajaran di kelas hanya mencatat dan mengacu pada buku teks saja, siswa tidak diberikan pemahaman yang lebih. Pemerataan guru sesuai bidang studi masing-masing sangat perlu dilakukan di Pegunungan Tengah Papua. Jika guru yang ada di wilayah tersebut kurang, maka pemerintah bisa mendatangkan guru dari luar Papua yang lebih berkompeten dibidangnya. Dengan demikian pendidikan di wilayah tersebut dapat lebih maju sehingga siswa bisa untuk diajak berpikir lebih maju dan tumbuh rasa nasionalisme terhadap NKRI.

  1. Pendidikan berbasis pendekatan sosiokultural.

Masyarakat Papua Pegunungan Tengah pada umumnya masih primitif dan memegang erat budaya dan adat istiadat leluhurnya. Mereka berpikir sangat primitif sehingga susah untuk diajak maju. Jika ada sesuatu hal yang sebenarnya ingin mengajak mereka ke arah perubahan yang lebih baik, mereka sangat sulit untuk menerimanya. Apalagi jika yang mengajak adalah orang luar Papua, mereka sangat menentangnya. Hal tersebut dikarenakan tingkat kesukuan yang masih tinggi. Mereka beranggapan bahwa mereka bukan bangsa Indonesia, melainkan bangsa Papua sendiri. Oleh karena itu perlu diterapkan pendidikan berbasis sosiokultural yaitu pendidikan yang berasaskan budaya setempat. Jadi dalam setiap pembelajaran harus disesuaikan juga dengan budaya setempat, tidak terlepas juga dalam pembelajaran geografi. Dengan memasukkan nilai-nilai budaya lokal maka siswa merasa mereka sedang tidak dijajah oleh Bangsa Indonesia. Mereka akan senang dan mengetahui bahwa budaya mereka adalah budaya yang sangat unik dank has yang ada di Indonesia. Dengan demikian mereka akan sadar bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia dan diharapkan timbul rasa cinta tanah air terhadap Indonesia.

Budaya lokal saat praktek Seni dan Budaya di SMAN Okbibab

Sumber : dokumen Pribadi Nikmatul istikhomah

PENUTUP

Dalam menumbuhkan rasa nasionalisme di Pegunungan Tengah Papua, khususnya di Kabupaten Jayawijaya dan Pegunungan Bintang, Pendidikan Geografi memiliki banyak tantangan baik berupa tantangan fisik maupun sosial. Pendidikan Geografi sangat berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme NKRI di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Pendidikan Geografi mempunyai kontribusi dalam memupuk rasa cinta tanah air atau nasionalisme karena dengan belajar geografi siswa dapat mengenal berbagai informasi tempat tinggal umat manusia baik secara global ataupun nasional di wilayah NKRI. Cinta tanah air (nasionalisme), rasa persatuan dan kesatuan akan berkembang setelah siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang keberagaman berbagai potensi dan sumberdaya alam yang ada di Indonesia.

Menurut pendapat tersebut bahwa pembelajaran geografi memberikan kontribusi yaitu pengetahuan dan pemahaman tentang potensi keadaan Indonesia. Untuk nilai-nilai nasionalisme itu akan tumbuh seiring dengan pembelajaran geografi itu dilaksanakan di setiap jenjang pendidikan. Oleh karena guru geografi yang profesional sangat diperlukan untuk memberikan pembelajaran yang bermakna yang bisa memasukkan nilai karakter nasionalisme dan memadukan pendekatan sosiokultural dalam pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Aritonang, Oktober Tua. 2012. Harapan Masyarakat Dan Tantangan Dalam Pendidikan. Lentera Pendidikan : Jakarta

Azra, Azyumardi. (2012). Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia : Tantangan Globalisasi. Senin 19 juni 2012 hal 1: http://www.setneg.go.id

Chatib, Munif. 2011, Gurunya Manusia : Menjadikan Semua Anak Spesial dan Semua Anak Juara (Mizan Best Seller), Khaifa : Jakarta

Maryani, Enok. (2009) Sosial Skills Geografi. Pengembangan Keterampilan Sosial Melalui Pembelajaran Geografi. Jurnal Seminar IGI Bandung Tidak diterbitkan

Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia :Jakarta

Sugandi Yulia, 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, Friedrich-Ebert-Stiftung : Jakarta

Sumaatmadja, Nursid (1988) Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan, Bandung: Alumni.

                           .(2007). Tersembunyi dari Dunia Luar Endemi Pelanggaran dan Impunitas di Dataran Tinggi Tengah Papua. Human Rights Watch : USA

                           .(1996). Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara

                           . (1988) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Dept Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun