Setiap mahasiswa tentu akrab dengan tugas kuliah. Namun, ketika tugas itu dirangkai dengan pesan yang kuat sekaligus bahan bacaan yang sarat makna, maka ia tak lagi sekadar kewajiban akademik, melainkan bekal kehidupan. Itulah yang saya rasakan sebagai mahasiswa jurnalistik ketika dosen memberikan rangkaian tugas menulis dan sebuah buku digital Pendidikan Pancasila.
Sebagai mahasiswa jurnalistik, saya percaya bahwa setiap tugas memiliki nilai berita. Begitu pula dengan daftar panjang amanah dari dosen kali ini. Ada resume PowerPoint yang harus dijadikan laporan jurnalistik, lalu dipublikasikan di portal media. Ada juga bahan presentasi yang harus bertransformasi menjadi video podcast dengan host dan narasumber lengkap.
Tidak berhenti di situ, kami pun diminta menyusun catatan mingguan: rangkuman per bab, direspons secara kritis per kalimat, lalu diunggah ke blog Kompasiana atau Ritizen Republika. Setidaknya enam belas kali catatan harus hadir sebagai jejak pemikiran. Semua itu berpuncak pada laporan UTS berbasis kerja kelompok, serta UAS berupa video podcast yang lahir dari proses panjang membaca, merangkum, dan berdiskusi.
Tugas-tugas ini memang terlihat padat, tetapi justru inilah yang membuat mahasiswa merasa benar-benar "hidup" sebagai calon jurnalis. Kami dituntut untuk tidak hanya menulis, tetapi juga membaca realitas, mengolah fakta, menyajikannya secara objektif, dan sekaligus meramu refleksi pribadi.
Lalu, hadir pula sebuah buku digital: Pendidikan Pancasila. Pada bagian pendahuluannya, buku ini mengingatkan bahwa pendidikan Pancasila di perguruan tinggi telah melewati perjalanan panjang, dengan pasang surut kebijakan dan interpretasi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 bahkan menegaskan pentingnya pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah wajib, sejajar dengan pendidikan agama, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Di sinilah saya melihat keterhubungan antara tugas dan bacaan. Dosen ingin menanamkan pesan bahwa tugas menulis tidak boleh hampa nilai. Sebagai calon jurnalis, kami bukan hanya pelapor fakta, tetapi juga agen yang menyuarakan ideologi bangsa---Pancasila.
Pancasila, sebagaimana ditulis dalam buku itu, bukan sekadar konsep normatif. Ia adalah ruh yang membentuk jati diri mahasiswa. Dengan Pancasila, mahasiswa diharapkan tidak hanya kritis, tetapi juga Pancasilais: jujur, disiplin, peduli, gotong royong, dan cinta damai.
Tugas kuliah sering dianggap formalitas, namun kali ini berbeda. Rangkaian tugas menulis, laporan jurnalistik, catatan mingguan, hingga podcast ternyata membentuk jalan panjang pembelajaran yang sarat makna. Buku ajar Pendidikan Pancasila yang menyertainya menjadi kompas yang menuntun arah, agar setiap tulisan tidak kehilangan pijakan ideologi bangsa.
Sebagai mahasiswa jurnalistik, saya merasa pesan dosen ini sederhana tapi dalam: menulislah dengan ilmu, rekamlah fakta dengan jujur, dan jadilah jurnalis yang Pancasilais.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI