Latar BelakangÂ
Pemerintahan pada masa Orde Baru, buruh seringkali sering dijadikan sebagai sasaran dan eksploitasi dalam upaya pemerintah mengembangkan perekonomian Indonesia. Upah minimum yang rendah, jam kerja yang panjang, dan kondisi kerja yang tidak aman merupakan hal yang umum dirasakan oleh buruh. Buruh yang berani melawan seringkali dihadapkan dengan intimidasi, pemecatan, dan bahkan kekerasan oleh pihak perusahaan.Â
Pada masa orde baru pemerintahan lebih memprioritaskan pembangunan dalam memperbaiki perekonomian di dalamnya meliputi industrialisasi dan dalam pelaksanaannya pemerintah membuka kesempatan investor asing untuk masuk ke Indonesia yang bertujuan untuk membantu industrialisasi tersebut, pemerintah melakukan penekanan upah terhadap buruh agar mereka tidak melakukan pemogokan akibat rendahnya upah hal tersebut dilakukan pemerintah untuk menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.Â
Masa rezim orde baru di Indonesia yang berlangsung pada tahun 1966 hingga 1998 banyak sekali kasus yang terjadi pada masa itu terutama pada pelanggaran hak asasi manusia yang mencerminkan karakter otoriter pemerintahan pada saat itu.Â
Salah satu kasus yang paling mencolok dan menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan pada masa orde baru yaitu kasus Marsinah. Peristiwa tersebut diawali dengan adanya pemogokan buruh di PT Catur Putra Surya yang terletak di Porong Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1993 yang menewaskan salah satu buruh wanita dari PT tersebut yaitu bernama Marsinah.Â
Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh Marsinah yang menuntut kenaikan gaji buruh yang harus sesuai dengan UMR atau upah minimum regional Jawa Timur pada saat itu akan tetapi pihak perusahaan tidak langsung mewujudkan apa yang diinginkan oleh buruh tersebut oleh karena itu mereka melakukan pemogokan kerja yang menjadi senjata ampuh dalam upaya memenuhi aspirasi mereka.Â
Pembunuhan Marsinah yang terjadi pada peristiwa tersebut tidak hanya menjadi sorotan nasional tetapi juga menjadi perhatian internasional sebagai potret kelam dari upaya rezim orde baru dalam meredam aksi buruh dan mempertahankan kekuasaan melalui tindakan represif. Marsinah merupakan seorang buruh pabrik yang bekerja di PT Catur Putra Surya Porong Sidoarjo yang juga merupakan aktivis pada masa Orde Baru.Â
Marsinah merupakan wanita kelahiran Nganjuk Jawa Timur pada 10 April 1969 pada usia 3 tahun Marsinah telah ditinggal oleh ibunya sehingga dia diasuh oleh neneknya yang tinggal bersama bibinya di Nganjuk juga. Marsinah menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Karangasem 189 kemudian dilanjutkan di SMPN 5 Nganjuk dan setelah lulus dilanjutkan di SMA Muhammadiyah Kota Nganjuk kemudian setelah Marsinah menginjak umur dewasa Marsinah mulai bekerja sebagai buruh di pabrik PT Catur Putra Surya Porong Sidoarjo.Â
Tragedi yang menimpa marsinah dilatarbelakangi oleh Marsinah dan teman-temannya dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh karena pada tahun yang sama pemerintah Jawa Timur mengeluarkan surat edaran gubernur yang berisi kenaikan gaji pokok buruh sebesar 20% berita tersebut diterima baik oleh para buruh namun tidak oleh pihak pengusaha karena dengan adanya hal tersebut para pengusaha harus menyiapkan pengeluaran yang lebih untuk gaji para buruh di sisi lain Marsinah dan teman-temannya sangat bersemangat dalam memperjuangkan hak-hak para pekerja buruh namun dampak dari kejadian tersebut yaitu dengan kematian Marsinah.Â
Oleh karena itu, pada penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab dari pemogokan buruh PT Catur Putra Surya kemudian proses dari pemogokan tersebut, pembunuhan Marsinah, investigasi serta dampak dari peristiwa tersebut.
Pembahasan
A. Peristiwa PemogokanÂ
Pada Oktober 1965, kepemimpinan Soeharto menghapus hak mogok buruh karena dianggap mengganggu dan menjadi parasit bagi pembangunan negara Indonesia. Akibatnya, posisi tawar buruh menjadi lemah dan berdampak pada upah yang sangat rendah bagi karyawan kelas terendah. Penghapusan hak mogok ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak.Â
Namun, selama masa pemerintahan Soeharto, sistem pengupahan jauh dari sejahtera, dengan upah minimum regional di bawah kebutuhan hidup sektoral. Selain itu, pengusaha yang melanggar aturan tidak dikenai sanksi yang efektif, sehingga buruh sering kali diperlakukan secara sewenang-wenang.Â
Pada masa Orde Baru, hukum perburuhan dibuat untuk menjaga kontrol dengan cara mengatur upah, guna mencegah politisasi dan monopoli perburuhan. Di Indonesia, pemerintah masih kuat mengintervensi urusan perburuhan, yang bertentangan dengan prinsip hubungan industrial Pancasila.
 Setiap masalah perburuhan seharusnya ditangani secara individual untuk menciptakan hubungan industrial yang adil. Namun, keterlibatan aparat keamanan dalam urusan perburuhan telah menjadi bagian dari sistem, bukan hanya tindakan perorangan. Hukum perburuhan di masa Orde Baru dirancang untuk mempertahankan kontrol melalui pemberian upah, guna mencegah politisasi dan monopoli perburuhan.Â
Di Indonesia, urusan perburuhan masih menerima intervensi politik yang kuat dari pemerintah, yang bertentangan dengan prinsip hubungan industrial Pancasila. Setiap gejolak perburuhan seharusnya ditinjau secara kasus per kasus untuk menciptakan hubungan industrial yang adil.Â
Namun, keterlibatan aparat keamanan dalam urusan perburuhan telah terstruktur dan terlembaga, bukan hanya sekadar tindakan individu. Para pengusaha atau majikan menganggap buruh tidak memiliki hak untuk mengajukan pemogokan kerja dan kenaikan upah, karena hal ini diyakini tidak akan mengurangi daya saing produk ekspor. Dalam situasi ini, buruh ditempatkan sebagai pekerja unggulan untuk produk komoditi ekspor.Â
Pemerintah, pada masa pemerintahan Soeharto, berpendapat bahwa pemogokan buruh hanya akan mengganggu kestabilan ekonomi dan berpotensi menjatuhkan kekuasaan yang sah melalui cara-cara di luar undang-undang. Oleh karena itu, pemerintah memberikan intervensi kuat dengan melibatkan militer dalam urusan perburuhan untuk mencegah pemogokan buruh.Â
Namun, hal ini justru menyebabkan buruh muak dan mulai berani memberontak dengan melakukan aksi mogok kerja, seperti yang terjadi pada buruh di pabrik arloji PT CPS di Porong, Sidoarjo. Surat Kepmen Tenaga Kerja No. 50/1992 menginstruksikan kenaikan upah minimum regional, namun PT CPS Porong Sidoarjo tidak menaikkan UMR-nya. Hal ini mendorong buruh untuk melakukan aksi pemogokan kerja dan menuntut PT CPS menaikkan upah sebesar 20% sesuai dengan keputusan Menteri Nomor 50/1992. PT CPS adalah perluasan dari perusahaan yang beroperasi di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, dengan izin resmi dari BKPM No. 47/II/PMDN/1991. PT CPS memproduksi arloji dan jam dinding, dan memperkerjakan 500 buruh dengan upah 1.700/hari, yang melanggar SK Mennaker No. 50/1992 yang menyebutkan besaran upah yang harus diberikan adalah 2.250/hari. Inilah yang menjadi latar belakang aksi mogok oleh buruh PT CPS.Â
Peristiwa ini dimulai pada Senin, 3 Mei 1993, saat buruh melakukan aksi mogok kerja secara bersama-sama. Jam 6 pagi sejumlah buruh bergerombol berjejer di sepanjang jalan menuju pabrik untuk mengajak buruh lain yang hendak masuk kerja ikut dalam aksi mogok. Sekitar jam 7 hingga 8 pagi para satpam pabrik mulai berkeliling untuk mencari tahu siapa buruh yang tidak masuk, para satpam menyusuri di sekitar desa Siring tempat para buruh tinggal. Pukul 09.00, Koramil 0816/14 Porong, muspika, kendepnaker, polres, dan DPC SPSI Sidoarjo mulai berdatangan ke pabrik PT CPS.Â
Menyikapi hal tersebut, manajer administrasi PT CPS meminta daftar nama buruh yang dianggap sebagai provokator dalam aksi mogok itu, yang kemudian Koramil memanggil beberapa buruh yang dianggap sebagai provokator. Berdasarkan daftar, terdapat 10 nama orang dan semuanya adalah lakilaki. pada pukul 12.00 petugas koramil mendatangi pondokan Yudo dan mendapatkan 18 orang buruh yang berkumpul disana, orang-orang tersebut tidak tercantum daftar kedalam daftar sebelumnya.Â
Hingga 18 orang tersebut dengan cepat langsung diringkus ke markas koramil. Mereka semua dipertemukan dengan Judi Astono yang sejak tadi sudah bersama aparat muspika porong, camat, staf kelurahan, petugas polwil dan koramil. Setelah pertemuan satu jam, Judi Astono kembali ke pabrik dan para buruh pulang. Yudo mendapat surat panggilan untuk bertemu Kapten Sugeng di Kodim 0816 Sidoarjo.. Surat dibuat dengan kop surat Koramil 0816/04 Porong dengan tanda tangan Danramil Kapten Kusaeri.Â
Tembusan ditujukan pada pimpinan PT CPS, Lurah Desa Siring, Ba Tuud Ramil 0816/04/Porong. Judi menceritakan pertemuannya dengan buruh dan aparat Muspika kepada Mutiari, Manajer Personalia. Dia juga memberitahu Mutiari tentang pertemuan besok antara perusahaan, wakil buruh, dan Muspika.Â
Pada pergantian shift pukul 14.30, buruh yang dibawa ke markas Koramil kembali bekerja. Judi menyuruh Hariyanto, kasir pabrik, untuk mengantar surat kepada Djoko Sujono, pegawai Kanwil Depnaker Sidoarjo tentang musyawarah besok. Situasi pabrik pada hari itu relatif lengang, hanya buruh tetap/bulanan yang masuk.Â
Malamnya, 15 buruh berkumpul untuk merumuskan 12 tuntutan untuk perusahaan. Pagi, 4 mei 1993, buruh PT CPS kembali mogok kerja dengan skala yang lebih besar dibansingkan dengan hari sebelumnya. Pukul 07.00 sudah berada dipabrik dan melancarkan aksi mogok mereka.
 Tepat pada pukul 10.00 perundingan dimulai di rungan Judi astono, yang ditemani mutiara dan karjono wongso (kepala bagian produksi) dari pihak pabrik, dengan 24 orang perwakilah buruh. 24 orang perwakilan tersebut terdiri dari 9 orang merupakn pengurus SPSI yang sudah ada dan 19 orang dipilih secara langsung oleh buruh, Marsinah termasuk yang berada dalam 19 orang tersebut. adir juga dalam pertemuan itu adalah Purnomo dan Abuchoir (pengurus DPC SPSI), Djoko Sujono dan Marsudi (pegawai Depnaker), aparat kantor Sospol Sidoarjo, Lurah Siring M. Gufron, Kapolsek Porong, danKapten Kusaeri. Dua belas tuntutan yang diajukan para buruh adalah:Â
 1. Kenaikan upah sesuai Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 50/1992 dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.250 per hari yang seharusnya sudah berlaku sejak 1 Maret 1992.Â
2. Perhitungan upah lembur sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 72/1984.Â
3. Penyesuaian upah minimumÂ
4. Jaminan kesehatan buruh sesuai dengan UU No. 1/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)Â
5. Penyertaan buruh dalam program rogram ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja)Â
6. Pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) sebesar satu bulan gaji sesuai dengan himbauan pemerintahÂ
7. Kenaikan uang makan dan uang transporÂ
8. Pembubaran Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI PT CPS karena tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga SPSIÂ
9. Pembayaran cuti hamil pada waktunyaÂ
10. Penyamaan upah buruh yang baru menyelesaikan masa pelatihan dengan upah buruh yang sudah bekerja selama satu tahunÂ
11. Hak-hak buruh yang sudah ada tidak boleh dicabut, hanya boleh ditambahÂ
12. Setelah pemogokan ini pengusaha dilarang mengadakan mutasi, intimidasi dan melakukan pemecatan terhadap buruh yang melakukan pemogokan hasil perundingan dituangkan dalam surat persetujuan bersama yang ditanda tangani oleh 24 orang perwakilan buruh.Â
Setelah perundungin tersebut seharusnya masalah telah selesai, namun masih menyisahkan Yudo yang pada hari yang sama menghadapi panggilan pasi intel kodim 0816 Sidoarjo.Dimana pada tanggal 4 Mei 1993 Yudo diintrogasi oleh serka TNI Karnadi dengan pakaian preman.
Yudo dibawa keruang data dan dimintai mengakui sebagai dalang aksi pemogokan, selain itu juga dimintai menjelaskan kegiatan pada hari sebelum aksi pemogokan pada 2 mei 1993. 4 mei 1993 pad sore harinya 13 orang buruh termasuk Marsinah mendapat panggilan menghadap kapteng sugeng perwira seksi (pasi) intel kodim 0816 Sidoarjo.Â
Menanggapi suarat panggilan tersebut Marsinah berinisiatif membuat tulisan tentang petunjuk untuk rekan-rekannya untuk menjawab introgasi di Kodim besok pagi. Rabu, 5 mei 1993 13 orang buruh PT CPS memenuhi panggilan dan datang ke markas kodim pukul 09.00. Setelah setengah jam menunggu mereka dibawa kerunag data menemui Serka Karnadi dan di PHK di kodim karena dianggap tidak lagi butuhkan lagi di pabrik. Setelah introgasi berlangsung mereka dimintai data diri mereka.Â
B. Pembunuhan dan InvestigasiÂ
Sebelumnya dunia menyorot Indonesia terhadap nasib buruh dinilai sangat buruk karena melanggar standar sebuah perburuhan yang diakui layak di dunia internasional. Kasus kematian Marsinah awalnya hanya menjadi berita kecil di surat kabar lokal, akan tetapi kemudian menjadi sorotan masyarakat luas hingga ke luar negeri. Sorotan dunia internasional terhadap kasus Marsinah berkaitan dengan pelanggaran HAM berat.
 Dengan adanya kasus Marsinah membuat organisasi perburuhan internasional (ILO) mengecam pemerintahan Indonesia. Federasi Buruh Amerika Serikat yang mengirimkan petisi kepada pemerintahnya berisi menuntut agar pemerintah AS mencabut Indonesia dari daftar negara yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk komoditi tertentudari Indonesia ke Amerika Serikat, atau disebut fasilitas Generalized System Preferences (GSP)(Iskandar, Forum Keadilan: Nomor 11, Tahun II,16 September 1993).Â
Oleh karenanya Tim United States Trade Representative (USTR), tim yang mengatur fasilitas GSP, pada 24 September 1993 datang ke Surabaya menyatakan keprihatinannya atas penanganan kasus Marsinah yang terlalu lama. Marsinah dikenal sebagai penyanyi dan selalu memperjuangkan nasib rekan-rekannya. Marsinah adalah aktivis di unit kerja PT CPS Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Â Marsinah juga merupakan salah satu dari 15 perwakilan karyawan yang bernegosiasi dengan perusahaan.Â
Ia terlibat dalam perundingan hingga 5 Mei 1993. Sore hari 5 Mei 1993, 13 pegawai dibawa ke Kodim Sidoarjo, yang diduga menghasut rekannya untuk protes. Mereka kemudian dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS setelah dituduh melakukan pertemuan rahasia dan mencegah pekerja lain melakukan pekerjaannya.Â
Adanya motif pembunuhan ini dikarenakan Marsinah menjadi seorang yang memimpin aksi demonstrasi untuk kenaikan upah di pabrik jam tangan tempat dirinya bekerja. Solidaritas untuk Marsinah terdengar di berbagai tempat, termasuk melalui sejumlah lagu dan pementasan teater "Satu Merah Panggung" yang menggambarkan pembunuhan Marsinah dalam teater keliling. Pementasan teater ini sempat dilarang untuk tampil. Marsinah dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan Orde Baru. Marsinah kemudian mendapat penghargaan hak asasi manusia, Yap Thiam Hien sesudah itu.
Saat itu, Marsinah dikabarkan mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang sebelumnya dia bawa ke sana. Namun, sekitar pukul 10 malam. pada 5 Mei 1993, Marsinah menghilang. Marsinah menghilang selama tiga hari tiga malam, teman-temannya mengira bahwa dia pulang ke nganjuk, tetapi setelah keluarga Marsinah dihubungi ternyata tidak ada kabar juga dari keluarganya, Kemudian juga berusaha mencari ke kodim untuk menanyakan keberadaannya ternyata hasilnya nihil. Keberadaan Marsinah tidak diketahui hingga jasadnya ditemukan di Nganjuk pada 9 Mei 1993 dalam keadaan mengenaskan. Berdasarkan hasil otopsi, diketahui Marsinah meninggal sehari sebelum jenazah ditemukan di hutan Jegong, 8 Mei 1993. Penyebab kematian Marsinah adalah penganiayaan berat.Â
Adanya banyak luka disekujur tubuhnya Selain itu, Marsinah juga diketahui pernah diperkosa. Dalam otopsi jenazah Marsinah oleh Haryono dan Prof. Dr. Haroen Atmorono menyimpulkan bahwa marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Kasus Marsinah ternyata menjadi momok pemerintah dan berbuntut panjang.Â
Aparat membentuk Tim Terpadu bakorstanasda yang berisikan Kapolda Jatim Bersama dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan penyidik / penyelidik Polda Jatim dan Den Intel Brawijaya. Kemudian delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan ilegal menyalahi hukum yang berlaku. Delapan orang PT CPS dianiaya dan dipaksa mengaku telah melakukan pembunuhan terhadap Marsinah. Pengadilan Negeri Sidoarjo menyatakan bahwasannya kesembilan tersangka bersalah dan Yudi santoso selaku pemilik PT CPS divonis 17 tahun penjara dan staff PT CPS lainnya yang berjumlah empat orang divonis 14 tahun penjara.Â
Namun selang beberapa waktu pada 3 Oktober 1993 Yudi santoso mengajukan banding bersama karyawannya ke pengadilan Tinggi Surabaya dan dinyatakan bebas tidak terbukti atas adanya tuduhan pembunuhan terhadap Marsinah.
Akan tetapi walaupun sudah dinyatakan bebas, kemudian ia ditangkap lagi di halaman Mapolda Jawa Timur dengan tuduhan yang sama. Akhirnya kesembilan tersangka menjalani proses peradilan. Â Dalam proses peradilan kesembilan tersangka tersebut banyak sekali terjadi kejanggalan-kejanggalan, diantaranya penolakan terhadap isi BAP oleh para tersangka.Â
Proses persidangan para tersangka yang penuh dengan kejanggalan-kejanggalan tidak membuat mereka terbebas dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan oleh hakim Pengadilan Tinggi Surabaya.Â
Delapan karyawan PT CPS juga mengajukan kasasi ke MA pada 3 mei 1995 Mahkamah Agung akhirnya mengumumkan dalam sidang terbuka untuk umum bahwasannya kesembilan terdakwa tidak terbukti melakukan pembunuhan secara berencana terhadap korban Marsinah.Â
Pembunuhan Marsinah menunjukkan bahwa ia menjadi martir dan simbol penindasan berlapis, termasuk eksploitasi tenaga kerja, kekerasan militer, pelanggaran HAM, dan kejahatan patriarki pada masa Orde Baru. Untuk menutupi pelaku sebenarnya, pemerintah Orde Baru mengadakan peradilan palsu.Â
Kematian Marsinah memiliki dampak yang luar biasa, selain mendapatkan kecaman baik dari dalam maupun luar negeri, perlawanan buruh semakin menjadi setelah kematian Marsinah, para buruh di Indonesia semakin sadar bahwa suatu ketidakadilan yang mereka hadapi harus dilawan, mereka semakin berani untuk menuntuk hak-hak dasar mereka.Â
Lima tahun setelah kematian Marsinah, pemerintahan Orde Baru runtuh dan ruang demokrasi terbuka lebar. Namun, upaya untuk menegakkan keadilan bagi Marsinah masih penuh ketidakpastian. Hingga kini, setelah 20 tahun reformasi dan 27 tahun berlalu sejak kasus Marsinah, kasusnya tetap menjadi misteri, seperti kasus pelanggaran HAM lainnya di Indonesia. Kematian Marsinah tetap diabaikan.Â
C. Dampak Dari Peristiwa Pemogokan Buruh Dan Kematian MarsinahÂ
Peristiwa pemogokan buruh yang terjadi di PT. CPS (Catur Putra Surya) Porong-Sidoarjo, merupakan pabrik Industrial perakitan jam merek terkenal yang sebagian besar perkerjanya merupakan wanita (perempuan). Suatu gerakan protes tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi muncul akibat respon terhadap adanya suatu ketidakpuasan salah satu pihak dalam tatanan masyarakat atau struktur masyarakat yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan struktur akan memunculkan ketidakadilan yang dirasakan pihak lain.Â
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Peristiwa pemogokan buruh ini disebabkan meninggalnya salah satu buruh wanita pabrik perakit jam PT. Catur Putra Surya (PT. CPS) yang terjadi di Porong-Sidoarjo.Â
Adanya indikasi peranan militer dalam peristiwa ini oleh Kodim Sidoarjo dengan memanggil 13 orang buruh yang telah dianggap sebagai provokator, serta memaksa ke 13 orang buruh tersebut untuk menandatangani surat pengunduran diri atau PHK. Kesimpulannya adanya Surat Edaran (SE) Gubernur KDH TK I Jawa Timur yang berisi himbauan untuk para pengusaha menaikan upah buruh sebesar 20% dari upah sebelumnya.16 Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah.Â
Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan namun hal yang paling mendasar tuntutan mengenai kenaikan gaji buruh. Akan tetapi, sebelum pendemo melakukan orasinya aparat dari Koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung.
Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan.Â
Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan Kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Aksi pemogokan itu sampai terjadi tragedy berdarah dengan ditandai kematian Marsinah salah satu buruh PT CPS yang vocal pada aksi tersebut.Â
Aksi berdarah itu member ilahm kepada semua pihak baik dari sisi pemerintah untuk segera merevisi beberapa undang- undang perburuan yang ada dan juga memotivasi para buruh yang lain untuk selalu solid dalam barisannya. Kasus Marsinah adalah kasus pembunuhan seorang buruh perempuan bernama Marsinah yang terjadi di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada tahun 1993.Â
Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi tubuh yang mengalami penyiksaan dan kekerasan seksual setelah menghilang selama beberapa hari. Kasus ini memicu kemarahan dan protes luas dari masyarakat, terutama dari kalangan buruh dan aktivis hak asasi manusia. Dampaknya termasuk peningkatan kesadaran akan isu-isu buruh dan hak asasi manusia di Indonesia.Â
Kasus Marsinah menjadi simbol perjuangan untuk perlindungan hak-hak pekerja, terutama perempuan. Peristiwa ini juga memicu tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan reformasi dalam sistem hukum dan perlindungan tenaga kerja. Para aktivis menggunakan kasus Marsinah sebagai momentum untuk memperjuangkan hak-hak pekerja dan keadilan sosial.Â
Mereka mengadvokasi perubahan kebijakan yang lebih baik dalam perlindungan tenaga kerja, penegakan hukum yang adil, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kasus ini juga mendorong terbentuknya gerakan solidaritas dan kesadaran kolektif dalam menuntut keadilan dan akuntabilitas bagi pelaku kejahatan.Â
Dampak dari kematian Marsinah sangat besar terhadap gerakan buruh di Indonesia, kematian Marsinah tidak menyurutkan semangat buruh yang lain untuk melawan ketidakadilan, oleh karenanya jumlah pemogokan buruh di Indonesia semakin meningkat. Kasus Marsinah menciptakan gelombang protes besar-besaran di seluruh Indonesia, terutama di kalangan pekerja dan aktivis hak asasi manusia. Kasus ini menggerakkan serangkaian aksi demonstrasi, mogok kerja, dan kampanye advokasi untuk menuntut keadilan bagi Marsinah dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja, khususnya perempuan.
Dampaknya termasuk terbentuknya koalisi antar-organisasi buruh dan gerakan hak asasi manusia yang bekerja bersama untuk memperjuangkan reformasi hukum dan perlindungan tenaga kerja. Kasus ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem peradilan Indonesia dan mendorong tuntutan untuk penegakan hukum yang adil dan transparan.Â
Selain itu, kasus Marsinah menjadi momentum untuk membahas isu-isu kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja dan mendorong penguatan regulasi perlindungan pekerja perempuan. Sebagai hasilnya, ada upaya untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak pekerja perempuan dan implementasi kebijakan yang lebih baik untuk mencegah kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja.Â
Kematian Marsinah menimbulkan dampak yang luar biasa, selain mendapatkan kecaman dari berbagai pihak dalam negeri dan luar negeri, keberanian buruh dalam melakukan gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan semakin santer.Â
Buruh di Indonesia semakin sadar bahwa ketidakadilan yang menimpa kaum buruh harus dilawan, kaum buruh semakin berani untuk menuntut hak-hak dasar mereka sebagai kaum buruh walaupun banyak menghadapi resiko yang besar.Â
KESIMPULANÂ
Kesimpulan dari "Marsinah: Potret Kelam Rezim Orde Baru dalam Meredam Aksi Buruh" menyoroti beberapa poin kunci yang penting dalam konteks sejarah Indonesia, perjuangan buruh, serta dampak dari rezim otoriter Orde Baru. Perjuangan Marsinah sebagai Simbol Perlawanan dimana ia merupakan seorang pekerja perempuan di pabrik tekstil di Indonesia, menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di era Orde Baru.Â
Kematian tragisnya menjadi pemicu bagi kesadaran akan hak-hak buruh dan kebebasan berpendapat. Kisah marsinah ini memberikan gambaran yang rinci tentang kondisi buruh dan pekerja di Indonesia pada masa Orde Baru. Mereka sering kali mengalami eksploitasi oleh pengusaha dan perusahaan, serta dihadapkan pada keterbatasan hak-hak mereka.Â
Rezim Orde Baru menggunakan kekuasaan politik dan ekonominya untuk meredam gerakan buruh dan pekerja. Represi terhadap aktivis buruh dan pembatasan kebebasan berserikat menjadi bagian dari strategi rezim ini untuk mempertahankan kekuasaannya. Kasus Marsinah memicu reaksi keras dari masyarakat, baik dalam maupun luar negeri.Â
Solidaritas dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, aktivis, dan organisasi buruh, menjadi nyata dan menunjukkan penolakan terhadap kebrutalan rezim Orde Baru. Meskipun kematian Marsinah merupakan tragedi, peristiwa tersebut memicu peningkatan kesadaran akan hak-hak buruh dan pekerja di Indonesia.Â
Kasus ini juga memberikan momentum bagi gerakan buruh untuk menggalang dukungan dan memperjuangkan perubahan. Kesimpulan yang kuat dari kisah Marsinah adalah warisan perjuangannya yang terus hidup. Dia menjadi inspirasi bagi gerakan hak asasi manusia dan buruh di Indonesia serta di seluruh dunia.Â
Kesimpulan ini menegaskan pentingnya mengenang sejarah perjuangan individu seperti Marsinah, serta pentingnya terus memperjuangkan hak-hak manusia dan keadilan sosial di masa kini. Sejarah Marsinah memperkuat komitmen kita untuk melawan ketidakadilan dan tirani di mana pun dan kapan pun terjadi.Â
Daftar Pustaka
Suparto, Alex,(1999). Marsinah : Campur tangan militer dan politik perburuan.(Jakarta: Yayasan lembaga hukum indonesia).Â
Tim Study Elsam.,.(1995), Kearah Ratifikasi Konvensi Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum Terselesaikan (Jakarta: Lembaga Studi advokasi masyarakat).
Iyut, Qurniasari, IG. Krisnadi,.(2014). "Konspirasi politik dalam kematian Marsinah di Porong Sidoarjo tahun 1993-1995", Jurnal Publika Budaya, Vol. 3, No. 2Â
Nugraha, Pamungkas Detri,(2013). "Pemogokan buruh PT Catur Putra Surya Porong Sidoarjo tahun 1993", e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 3Â
Elyada, Gunharsa Daniel, et.al., (2023) "Analisa Hubungan Kasus Marsinah Terhadap Pelanggaran Sila Pancasila Ke 2 Dan 5", Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humanioral, Vol. 1, No. 2Â
Trilaksana, Agus,(2013). "Pemogokan Buruh (Pt. Catut Putra Surya PorongSidoarjo Tahun 1993", Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 3Â
Rista, Diana, Irawan Hadi Wiranata,(2024). "Pendidikan HAM dalam Kisah Tragis Marsinah: Menggugah Kesadaran akan Pentingnya Perlindungan Hak Asasi Manusia", Jurnal Silatene, Vol. 3, No. 1Â
Indriawati, Tri, "Kisah Marsinah, Aktivis Buruh yang Dibunuh pada Masa Orde Baru",https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/21/080000979/kisahmarsinah-aktivis-buruh-yang-dibunuh-pada-masa-orde-baru?page=all diunduh pada 10 Juni 2024.Â
Menolak lupa 30 tahun kematian Marsinah, dalam https://bemu.umm.ac.id/id/berita/menolak-lupa-30-tahun-kematianmarsinah.html , diakses pada 2 Juni 2024Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI