Peneliti hermeneutik tidak hanya mengumpulkan data, tetapi berusaha memahami konteks di mana data itu muncul. Ia mempraktikkan Verstehen memasuki dunia makna pelaku ekonomi. Akuntan yang hermeneutik, pada gilirannya, tidak hanya menghitung laba, tetapi menafsirnya sebagai bentuk tanggung jawab dan nilai hidup.
Integrasi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
Pendekatan hermeneutik bekerja secara menyatu dalam tiga lapisan:
-
Epistemologi: pengetahuan akuntansi diperoleh melalui pemahaman (Verstehen), bukan sekadar pengukuran.
Ontologi: realitas akuntansi dipahami sebagai kehidupan yang dihayati (Lebenswelt), bukan entitas luar.
Aksiologi: setiap tindakan akuntansi memiliki makna moral, empatik, dan nilai kehidupan.
Integrasi ini menjadikan akuntansi sebagai ilmu yang utuh ilmiah sekaligus manusiawi. Ia tidak menolak angka, tetapi menghidupkan kembali makna di balik angka.
Akuntansi sebagai Bahasa Moral dan Sosial
Akhirnya, hermeneutika membawa akuntansi menuju kedalaman yang baru: angka sebagai bahasa moral.
Ketika perusahaan melaporkan laba, ia sedang berbicara kepada masyarakat: "Inilah hasil kerja kami, inilah tanggung jawab kami."
Ketika auditor menandatangani opini, ia meneguhkan janji kejujuran kepada publik. Ketika pemerintah menetapkan standar akuntansi, ia mengatur bukan hanya teknik pelaporan, tetapi juga perilaku moral dalam ekonomi. Dengan kesadaran hermeneutik, akuntansi menjadi media dialog antara manusia dan masyarakat, antara nilai ekonomi dan nilai kemanusiaan.
KESIMPULAN Â Akuntansi sebagai Bahasa Kehidupan
Hermeneutika Wilhelm Dilthey mengajarkan bahwa pengetahuan sejati lahir dari pemahaman, bukan sekadar pengukuran mekanis. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti angka dan laporan keuangan bukan hanya data teknis, melainkan simbol kehidupan manusia yang sarat makna. Setiap transaksi, setiap laba atau rugi, setiap catatan kas adalah jejak dari interaksi manusia dengan nilai, tanggung jawab, dan waktu.