Mohon tunggu...
Nidha Ul Khasanah
Nidha Ul Khasanah Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa sosial humaniora yang berusaha untuk humanis

Pendatang baru di Kompasiana, yang tidak tahu menahu harus menulis apa

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Insecure, Wajar Asal Tidak Kebablasan

11 April 2021   02:14 Diperbarui: 11 April 2021   02:19 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurangnya kontrol dan pendirian yang kuat pada apa yang menjadi pilihan kita, membuat timbulnya kecemasan sosial, sehingga muncul ketakutan pada evalusi yang dilakukan orang lain pada diri kita, seperti judgment dan bullying. Dorongan dari kecemasan sosial ini akan mengarahkan kita pada rasa insecure.

Penyebab insecure berikutnya terkait dengan sikap perfeksionisme yang kita miliki. Penyebab insecure yang ketiga ini mengingatkan saya pada sebuah istilah bahwa realita tidak seindah ekspektasi, sehingga apa yang kita pikirkan tidak selalu sejalan dengan kenyataan. 

Walaupun istilah tersebut sudah mondar-mandir didengar, tapi tetap saja ekspektasi dan segala perencanaan super tinggi tidak serta merta mampu dikurangi begitu saja. Ini menunjukan adanya sikap perfeksionisme yang kita miliki. 

Perencanaan dan tolok ukur yang tinggi sering kali menjadi patokan dalam melakukan berbagai hal. Namun kenyataan memang tidak selalu sejalan dengan perencanaan dan keinginan, justru acap kali menimbulkan kekecewaan. Kemudian terbitlah insecure, karena kekecewaan pada diri sendiri. Merasa bahwa diri ini tidak ada hebatnya sama sekali, lantas mengkerdilkan kemampuan diri.

Insecure juga semakin menguat ketika kita sibuk dengan aktivitas membandingkan diri dengan orang lain. Apalagi di masa yang serba digital ini, dimana dengan mudah kita melihat aktivitas orang lain melalui media sosial. 

Media sosial menampilkan orang lain dengan indahnya pergi kesana kemari, travelling dari satu tempat ke tempat lain, punya relationship goals, meraih berbagai penghargaan, sudah wisuda, kerja di perusahaan benefit, mempunyai usaha sendiri yang laris manis, hingga postingan pernikahan teman. 

Melihat postingan berupa gemerlap kehidupan penuh keberhasilan dan kebahagian dari orang lain membuat kita lantas membandingkannya dengan kondisi diri sendiri. 

Jika kita merasa pencapaiannya masih dibawah postingan-postingan di media sosial tersebut, maka sangat dimungkinkan timbul perasaan gagal, cemas, hingga merasa tidak berguna, yang mengartikan bahwa kita tengah insecure. Padahal media sosial bukan rekapitulasi dari keseluruhan apa yang orang lakukan. 

Media sosial sering digunakan sebagai instrumen branding diri, sehingga yang ditampilkan sepenuhnya dikendalikan oleh sang penggunanya. Orang yang menampilkan kebahagian terus menerus bukan berarti dia luput dari kesedihan, tapi memang dia hanya menghendaki hanya kebahagiaan yang ingin ditunjukkan lewat media sosialnya. Tapi memang benar, rumput tetangga sering kali terlihat lebih hijau.

keberadaan insecure tidak selamanya buruk, kok. Insecure dengan porsi yang tepat bisa membawa kita pada kesadaran untuk berbenah diri dan menjadikan diri kita pada versi yang lebih baik. 

Dalam perjalanan berbenah diri mulailah dengan menghargai diri sendiri. Ketika kita mulai berbenah untuk lebih meningkatkan produktivitas dan sebagainya, tapi tidak ada perasaan menghargai diri sendiri, maka apa yang kita upayakan hanya bertahan sebentar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun