Mohon tunggu...
Nicky Rizkiansyah
Nicky Rizkiansyah Mohon Tunggu... Honest Statistician

Dubito, ergo cogito, ergo sum

Selanjutnya

Tutup

Financial

Apa Salah Rojali dan Rohana?

13 Agustus 2025   08:26 Diperbarui: 13 Agustus 2025   08:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

APA SALAH ROJALI DAN ROHANA?
Membedah Fenomena Keramaian Tanpa Transaksi di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi.
Oleh: NR.


Fenomena Baru di Pusat Keramaian
Beberapa waktu terakhir, muncul dua istilah baru yang viral di kalangan penjual dan pengamat sosial di Indonesia: "Rojali" dan "Rohana". Akronim dari "Rombongan Jarang Beli" dan "Rombongan Hanya Nanya" ini menjadi label bagi fenomena yang semakin lazim terlihat. Bayangkan sebuah pameran otomotif atau mal di akhir pekan libur panjang: lautan manusia, eskalator yang tak pernah sepi, dan pujasera yang penuh sesak. Namun, di tengah hingar bingar itu, banyak gerai ritel atau diler kendaraan justru mengeluh sepi transaksi.

Keramaian ini seolah menjadi paradoks. Ekonomi dilaporkan tumbuh kuat, namun daya beli untuk produk-produk bernilai tinggi terasa berat. Fenomena Rojali-Rohana pun sempat menjadi kambing hitam. Tapi, benarkah mereka adalah masalah yang harus disingkirkan? Ataukah mereka sebenarnya adalah cerminan dari sebuah pergeseran realitas ekonomi yang lebih dalam dan fundamental? Lantas, apa sebenarnya "salah" mereka?

Untuk memahami fenomena ini, kita harus sadar bahwa "Rojali-Rohana" bukanlah satu kelompok tunggal. Mereka adalah koalisi dari setidaknya tiga kelompok berbeda yang bertemu di satu lokasi untuk alasan yang berbeda pula.

Kelompok pertama adalah "Kelas Menengah yang Menahan Diri". Masih ingat, kan, dengan istilah ini? Mereka adalah kelompok kelas menengah yang secara finansial mampu melakukan pembelian besar. Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan cicilan yang berjalan, mereka memilih untuk menahan diri. Mereka tetap butuh rekreasi dan status sosial, sehingga datang ke mal atau pameran menjadi pilihan. Alih-alih membeli mobil baru, mereka memilih untuk mensubstitusi pengalaman itu dengan nongkrong di kafe atau sekadar jalan-jalan bersama keluarga.

Kelompok kedua adalah "Kelas Pencari Hiburan Murah Meriah". Ini adalah kelompok kelas pekerja atau mahasiswa yang dari dulu memang menjadikan pusat keramaian sebagai bentuk hiburan yang terjangkau. Bagi mereka, tujuan utamanya bukanlah membeli produk yang dipamerkan, melainkan menikmati suasana, "cuci mata", dan menjadi bagian dari sebuah peristiwa sosial. Aktivitas ekonomi mereka terfokus pada: ongkos transportasi, biaya parkir, dan tentu saja, jajan. Selama ini mereka ada, namun kini jumlah dan dampaknya pada sektor tertentu mulai signifikan untuk dianalisis.

Kelompok ketiga, yang paling modern, adalah "Generasi Ekonomi Pengalaman". Didominasi oleh Gen Z dan milenial muda, kelompok ini memiliki sistem nilai yang berbeda. Bagi mereka, pengalaman yang bisa diunggah ke media sosial seringkali lebih berharga daripada kepemilikan barang itu sendiri. Mereka adalah "pemburu konten". Pengeluaran mereka sangat terkalkulasi untuk mendapatkan hasil visual dan pengakuan sosial terbaik, menjadikan mereka "Rojali" bagi produk konvensional, namun konsumen loyal bagi pengalaman yang unik dan instagrammable.

Jejak Ekonomi Rojali-Rohana
Jika kita ragu akan dampak dari ketiga kelompok ini, biarkan data yang berbicara. Data pertumbuhan ekonomi Year-on-Year (YoY) pada semester pertama 2025 menunjukkan sebuah divergensi yang sangat tajam antara sektor yang digerakkan oleh "pengalaman" dan sektor yang berbasis "kepemilikan". Sektor-sektor yang terkait langsung dengan mobilitas dan aktivitas sosial mengalami pertumbuhan eksplosif. Angkutan Darat melesat konsisten 9,89% di Kuartal I dan 9,98% di Kuartal II. Angkutan Laut, yang menjadi andalan wisata antar pulau, bahkan "meledak" 9,80% di Kuartal II, jauh melampaui pertumbuhan Kuartal I yang hanya sebesar 6,87%.

Pola serupa terlihat di sektor Akomodasi dan Makan Minum yang tumbuh kuat 8,04% di Kuartal II, di mana pertumbuhannya ditopang oleh subsektor Penyediaan Makan Minum yang meroket dari 7,21% di Kuartal I menjadi 10,13% di Kuartal II. Ini adalah jejak kuantitatif dari jutaan orang yang memilih untuk "jajan" dan berwisata kuliner. Sekarang, bandingkan data tersebut dengan sektor yang mengandalkan belanja mahal. Industri Alat Angkutan ternyata masih terkontraksi sebesar -0,95% di Kuartal II. Lebih mencemaskan lagi, Perdagangan Mobil dan Motor juga ikut terkontraksi -0,13%. Angka-angka ini adalah bukti sahih bahwa keramaian di mal tidak serta-merta berarti ada antrean di diler mobil.

Dilema Bisnis
Realitas ini menciptakan dilema bagi para pelaku bisnis. Haruskah mereka "melawan" dengan menyaring pengunjung atau membuat acara lebih eksklusif? Pendekatan ini mungkin bisa mengurangi frustrasi para pramuniaga, namun berisiko mematikan "buzz" dan kemeriahan yang justru menjadi daya tarik utama. Pilihan yang lebih bijak adalah "merangkul". Pebisnis perlu mengubah cara pandang mereka: dari melihat Rojali-Rohana sebagai non-pembeli, menjadi melihat mereka sebagai "pembeli pengalaman". Pertanyaannya berubah dari "Bagaimana cara menjual barang kepada mereka?" menjadi "Pengalaman apa yang bisa saya jual dari keramaian yang mereka ciptakan?". Jawabannya bisa beragam: fokus pada perluasan gerai F&B yang unik, menciptakan spot-spot foto berbayar, menjual merchandise eksklusif dengan harga terjangkau, atau secara cerdas memanfaatkan ribuan unggahan media sosial mereka sebagai sarana pemasaran gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun