"Harga" Privasi di Era PaymentID dan Salah Paham Terkait NIK (Bagian 2/3)
Di tulisan pertama, kita sudah membahas janji manis Payment ID untuk merevolusi penilaian kredit dan memberantas kejahatan keuangan. Sekarang, mari kita bicara jujur tentang "harga" yang mungkin harus kita bayar.
Setiap kali kita mendengar "semua data transaksi akan terhubung", wajar jika lonceng alarm di kepala kita berbunyi. Ada dua kekhawatiran utama yang paling sering dibicarakan:
1. Risiko Privasi dan Pengawasan Massal
Ini adalah "Elephant in the room". Kemampuan satu sistem untuk melihat seluruh aktivitas keuangan kita membuka potensi pengawasan yang belum pernah ada sebelumnya. Pertanyaannya bukan lagi "apakah data kita aman?", tapi juga "untuk apa saja data kita akan digunakan?". Tanpa aturan main yang super ketat, risiko penyalahgunaan data untuk kepentingan non-finansial menjadi nyata.
2. Ancaman Keamanan Siber Skala Nasional
Sistem yang menyimpan data keuangan seluruh penduduk Indonesia otomatis akan menjadi target paling menggiurkan bagi peretas di seluruh dunia. Satu kali sistem ini jebol, dampaknya bisa menjadi bencana finansial nasional. Pertanyaannya, seberapa siap infrastruktur dan talenta siber kita untuk melindunginya?
Tapi, Apakah Payment ID = NIK yang Disebar?
Nah, di tengah kekhawatiran ini, ada satu hal teknis yang penting untuk diluruskan. Banyak yang khawatir NIK kita akan tersebar di setiap transaksi. Ini kurang tepat. Payment ID dirancang sebagai turunan dari NIK, bukan NIK itu sendiri. Bayangkan begini:
NIK adalah identitas asli kita, seperti akta kelahiran. Sangat rahasia.
Payment ID adalah "alias" atau nama samaran yang dihasilkan dari NIK lewat proses enkripsi.
Ini adalah praktik keamanan siber standar bernama tokenisasi. Tujuannya justru untuk melindungi NIK asli kita agar tidak terekspos dalam transaksi sehari-hari. Jadi, Payment ID bukanlah tumpang tindih dengan NIK, melainkan lapisan keamanan fungsional di atasnya.
Memahami hal ini penting, namun tidak serta-merta menghapus risiko privasi dan keamanan yang sudah kita bahas. Lalu, bagaimana negara lain menghadapi dilema serupa? Di tulisan terakhir, kita akan belajar dari pengalaman India dan Singapura, dan merumuskan apa yang harus kita tuntut sebagai warga.
hashtag#PaymentID hashtag#PrivasiData hashtag#KeamananSiber hashtag#NIK hashtag#LiterasiDigital hashtag#BankIndonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI