"PMI Kontraksi & Banyak PHK, tapi Industri Tumbuh Tinggi"
Ini juga benar. PMI Manufaktur (S&P Global) memang di zona kontraksi, dan data PHK menunjukkan kenaikan. Tapi kenapa total Industri Pengolahan BPS masih tumbuh 5,68 persen? Karena terjadi polarisasi di dalam sektor industri. Sektor padat karya seperti Industri Furnitur (-0,05 persen) memang lesu. Namun, pelemahan ini ditutupi oleh ledakan di sektor padat modal berorientasi ekspor/investasi seperti Industri Logam Dasar (+14,91 persen).
"Penerimaan Pajak Anjlok, Pertanda Ekonomi Lemah"
Ini juga benar. Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak di semester pertama memang turun signifikan. Ini adalah anomali yang disebabkan oleh "efek durian runtuh". Penerimaan pajak tahun lalu (2024) luar biasa tinggi karena ledakan harga komoditas. Tahun ini, harga komoditas sudah normal, sehingga keuntungan perusahaan tambang turun, dan setoran pajaknya pun ikut turun. PDB mengukur volume aktivitas, sementara pajak mengukur profitabilitas.
"Investasi Melonjak tapi Kredit Melambat"
Lagi-lagi benar, pertumbuhan kredit perbankan memang melambat. Lalu dari mana datangnya pertumbuhan Investasi (PMTB) sebesar 6,99 persen? Ternyata yeng menggerakkan sektor ini tidak hanya satu. Pertumbuhan ini juga didorong kuat oleh investasi domestik (PMDN) yang tumbuh 30,5 persen dan belanja modal pemerintah yang tumbuh 30,37 persen. Jika dibedah lebih dalam, penurunan sebenarnya terjadi pada PMA selama Q2-2025. Ini adalah "lampu indikator" yang tentu saja valid dan perlu diwaspadai oleh pemerintah sebagai sinyal potensi perlambatan investasi di masa depan. Namun, untuk Q2-2025, dampaknya belum terasa karena ekonomi masih menikmati hasil dari komitmen investasi di masa lalu dan yang lebih penting, ditopang oleh lonjakan kepercayaan dan ekspansi luar biasa dari para pelaku usaha domestik.
Daripada Ujug-ujug "Lapor, Pak!" Mending Buka Dialog Konstruktif
Langkah melaporkan BPS ke PBB mungkin lahir dari niat baik untuk transparansi. Namun, data yang kita bedah bersama menunjukkan bahwa anomali yang ada memiliki penjelasan yang logis. Ini bukan cerita tentang data yang salah, melainkan cerita tentang pergeseran "struktur" ekonomi kita.
Memahami ini, mungkin ada jalur yang lebih bijaksana. Alih-alih langsung lapor, ada baiknya ruang dialog di dalam negeri dimaksimalkan terlebih dahulu, karena perkara lapor-melapor ini jangan sampai "kalah jadi abu, menang jadi arang". Langkah mengirimkan surat berisi daftar pertanyaan teknis langsung kepada BPS, misalnya, tentu akan disambut dengan baik. BPS pasti akan dengan gentle menerima dan menjelaskan setiap detail metodologi dan temuannya.
Jika ini berlarut, maka yang paling dirugikan adalah kita semua, masyarakat yang mungkin merasa jauh panggang dari api terkait perdebatan makro ini. Kita yang sehari-hari hanya fokus pada bagaimana cara bertahan hidup, menjaga raga dan mental tetap sehat, sambil menaruh seluruh harapan akan perubahan nasib di pundak anak-anak kita melalui pendidikan.
Oleh karena itu, dialog yang konstruktif adalah satu-satunya jalan menjaga optimisme kolektif bangsa ini. Narasi yang terbangun dari perdebatan konstruktif akan menciptakan ketenangan bagi masyarakat dan pengusaha. Bagi investor (baik dalam maupun luar negeri), stabilitas dan kepercayaan adalah segalanya. Kegaduhan di "panggung internasional" yang tidak perlu bisa membuat mereka menunda keputusan, yang pada akhirnya merugikan kita semua.