Perlukah BPS 'Diadukan' ke PBB?
Belakangan diskusi di beberapa WAG Saya diramaikan oleh berita yang cukup mengejutkan: Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga negara yang bertugas menghitung data-data resmi kita, dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh sebuah lembaga think tank. Lebih tepatnya dilaporkan ke United Nations Statistical Commission, Komisi Statistik-nya PBB.
Bayangkan, urusan data pertumbuhan ekonomi kita yang 5,12 persen itu sampai dibawa ke level PBB. Sebagian dari kita mungkin berpikir, "Wah, keren! Ini bukti ada yang serius mengawasi pemerintah." Sebagian lagi mungkin bertanya, "Memangnya perlu sampai sejauh itu?"
Yuk, kita coba obrolin dengan kepala dingin.
Apakah Langkah Ini Perlu? Dan Apa Dampaknya?
Langkah ini bisa dilihat sebagai bentuk check and balance untuk menuntut transparansi, yang pada dasarnya baik. Namun, "mengadu" ke PBB untuk isu data statistik adalah hal yang sangat tidak lazim di dunia. Risikonya, ini bisa mengganggu optimisme kolektif kita dan menciptakan citra negatif di mata investor asing yang mungkin tidak mengikuti detail perdebatan, hanya mendengar judul besarnya: "Data Ekonomi Indonesia Bermasalah." Gak bahaya, tah?
Mari Kita 'Uji Tuntas' Poin-Poin Pelemahan Ini dengan Data BPS
Inti dari laporan lembaga think tank tersebut adalah terdapat banyak indikator yang menunjukkan pelemahan, yang terasa kontras dengan angka pertumbuhan ekonomi 5,12 persen. Mari kita akui dan bedah satu per satu, karena data BPS yang detail justru memberikan penjelasan yang menarik. Ada beberapa klaim yang disampaikan melalui laporan ke PBB tersebut, yaitu:
"Konsumsi Lesu karena Penjualan Mobil Anjlok"
Ya, ini benar. Data penjualan mobil dan motor pada Q2-2025 memang turun drastis. Lalu kenapa total Konsumsi Rumah Tangga masih tumbuh solid 4,97 persen? Karena ternyata, masyarakat "mengganti" belanja mobil dengan belanja lain. Pertumbuhan kuat di sektor seperti Transportasi (+8,52 persen) dan Akomodasi & Makan Minum (+8,04 persen) menunjukkan banyak dari kita yang lebih memilih menggunakan uang untuk liburan dan bepergian (didorong banyak tanggal merah di Q2, ingat kan?). Pelemahan penjualan ini pun tercermin langsung di sisi produksi, di mana sub-sektor Industri Alat Angkutan terkontraksi -0,95 persen.
"PMI Kontraksi & Banyak PHK, tapi Industri Tumbuh Tinggi"
Ini juga benar. PMI Manufaktur (S&P Global) memang di zona kontraksi, dan data PHK menunjukkan kenaikan. Tapi kenapa total Industri Pengolahan BPS masih tumbuh 5,68 persen? Karena terjadi polarisasi di dalam sektor industri. Sektor padat karya seperti Industri Furnitur (-0,05 persen) memang lesu. Namun, pelemahan ini ditutupi oleh ledakan di sektor padat modal berorientasi ekspor/investasi seperti Industri Logam Dasar (+14,91 persen).
"Penerimaan Pajak Anjlok, Pertanda Ekonomi Lemah"
Ini juga benar. Data Kemenkeu menunjukkan penerimaan pajak di semester pertama memang turun signifikan. Ini adalah anomali yang disebabkan oleh "efek durian runtuh". Penerimaan pajak tahun lalu (2024) luar biasa tinggi karena ledakan harga komoditas. Tahun ini, harga komoditas sudah normal, sehingga keuntungan perusahaan tambang turun, dan setoran pajaknya pun ikut turun. PDB mengukur volume aktivitas, sementara pajak mengukur profitabilitas.
"Investasi Melonjak tapi Kredit Melambat"
Lagi-lagi benar, pertumbuhan kredit perbankan memang melambat. Lalu dari mana datangnya pertumbuhan Investasi (PMTB) sebesar 6,99 persen? Ternyata yeng menggerakkan sektor ini tidak hanya satu. Pertumbuhan ini juga didorong kuat oleh investasi domestik (PMDN) yang tumbuh 30,5 persen dan belanja modal pemerintah yang tumbuh 30,37 persen. Jika dibedah lebih dalam, penurunan sebenarnya terjadi pada PMA selama Q2-2025. Ini adalah "lampu indikator" yang tentu saja valid dan perlu diwaspadai oleh pemerintah sebagai sinyal potensi perlambatan investasi di masa depan. Namun, untuk Q2-2025, dampaknya belum terasa karena ekonomi masih menikmati hasil dari komitmen investasi di masa lalu dan yang lebih penting, ditopang oleh lonjakan kepercayaan dan ekspansi luar biasa dari para pelaku usaha domestik.
Daripada Ujug-ujug "Lapor, Pak!" Mending Buka Dialog Konstruktif
Langkah melaporkan BPS ke PBB mungkin lahir dari niat baik untuk transparansi. Namun, data yang kita bedah bersama menunjukkan bahwa anomali yang ada memiliki penjelasan yang logis. Ini bukan cerita tentang data yang salah, melainkan cerita tentang pergeseran "struktur" ekonomi kita.
Memahami ini, mungkin ada jalur yang lebih bijaksana. Alih-alih langsung lapor, ada baiknya ruang dialog di dalam negeri dimaksimalkan terlebih dahulu, karena perkara lapor-melapor ini jangan sampai "kalah jadi abu, menang jadi arang". Langkah mengirimkan surat berisi daftar pertanyaan teknis langsung kepada BPS, misalnya, tentu akan disambut dengan baik. BPS pasti akan dengan gentle menerima dan menjelaskan setiap detail metodologi dan temuannya.
Jika ini berlarut, maka yang paling dirugikan adalah kita semua, masyarakat yang mungkin merasa jauh panggang dari api terkait perdebatan makro ini. Kita yang sehari-hari hanya fokus pada bagaimana cara bertahan hidup, menjaga raga dan mental tetap sehat, sambil menaruh seluruh harapan akan perubahan nasib di pundak anak-anak kita melalui pendidikan.
Oleh karena itu, dialog yang konstruktif adalah satu-satunya jalan menjaga optimisme kolektif bangsa ini. Narasi yang terbangun dari perdebatan konstruktif akan menciptakan ketenangan bagi masyarakat dan pengusaha. Bagi investor (baik dalam maupun luar negeri), stabilitas dan kepercayaan adalah segalanya. Kegaduhan di "panggung internasional" yang tidak perlu bisa membuat mereka menunda keputusan, yang pada akhirnya merugikan kita semua.
Selanjutnya, bersama-sama kita memastikan mesin ekonomi yang tumbuh besar ini benar-benar bisa membiayai sekolah yang lebih baik dan layanan kesehatan yang terjangkau adalah wujud nyata dari kerja gotong royong, bukan sekadar ajang membuktikan siapa yang paling benar.
Wallahu a'lam bishawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI