Mohon tunggu...
Puisi

Cukup Aku Saja yang Tahu

5 Maret 2016   15:58 Diperbarui: 9 Maret 2016   16:31 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Terperangkap dalam sebuah lamunan membuatku lupa akan penat dan kesibukan hari ini. Tugas yang seakan jajarannya lebih tinggi dari gunung-gunung yang mengapit sekolahku ini sejenak kuabaikan. Bagaikan sebuah sejarah yang tak pernah luput dari masa lalu, ya begitulah aku. Bukan masa lalu lebih tepatnya, akan tetapi sebuah masa dimana sekarang aku tak merasakannya lagi, mungkin nanti, entah kapan itu. Tapi mereka sangat kurindukan, siapa lagi kalau bukan sahabatku. Berpegang teguh dan menggapai cita-cita setinggi langit membuat kami terpisah jarak sejak lulus SMP. 

Prinsip hidup yang klasik memaksa kami untuk memilih sekolah lanjutan terbaik bagi kami. “Walaupun pisah, kita bakal tetep bareng-bareng kok, kita tetep saling sayang satu sama lain,jangan lupa do’a, jangan lupa ngasi kabar, see you on top” Mungkin kata-kata ini bisa dijamin Sembilan dari sepuluh orang mengatakannya saat berpisah dari orang tersayang mereka. Berdo’a setiap hari dan setiap waktu untuk orang yang orang yang kita sayang, bagiku itu Bullshit!! karena aku sendiri sangat jarang melakukannya. 

Tapi untuk sekedar kata rindu dan ingin memeluk mereka harus kuakui “Yes, I’am”. Haruskah aku berteriak agar semua orang tahu aku rindu sahabatku? Haruskah aku tampung air mataku agar orang yakin aku menangis karena mereka? Haruskah aku berlari dan menemui mereka dan bilang aku sayang? Haruskah aku mengganggu mereka setiap hari untuk sekedar hanya kata rindu? Bagiku tidak. Cukup dengan sikapku saja aku tahu kalau mereka tahu aku sayang mereka.

Menjalani sebuah perjalanan hidup yang tentu saja aku yang menjadi tokoh utama, mungkin tak luput dari goncangan hidup, begitu bahasa lebaynya. Seperti yang telah kupelajari dalam pelajaran bahasa Indonesia oleh Bapak Aria, guru favoritku. Sebuah cerita pasti memiliki alur dan konflik. Tepat sekali dengan apa yang kurasakan saat ini. Tapi konflik ini berbeda, bukan masalah tentang rumitnya trigonometri, melainkan tentang sebuah konflik yang sangat kusuka. 

Mengapa aku suka? Karena masalah inilah yang mengajarkan dan memberitahuku seberapa besar rasa sayang aku terhadap sahabat. Menangis sendirian dan saat ditanya “Aku tidak apa-apa” ya begitulah perempuan. Tidak apa-apa tetapi dalamnya Nyesek. Tidak mungkin aku berkata setiap hari aku sayang mereka. Aku tahu itu sangat mengganggu mereka. Aku tahu itu hal yang lucu, bukan selucu saat Sandy sahabat Spongebob yang disensor tanpa celana.

Sekarang kita sibuk dengan aktivitas kita masing-masing. Aku sibuk belajar, begitupula mereka. Tapi kurasa tidak selamanya kita menikmati kesibukan kita tanpa mainan, tanpa candaan. Aku lelah dengan hidup yang penuh keseriusan, aku mencoba keluar dari kepenatan ini beberapakali. Ternyata aku bisa. Dan besok balik lagi. Aku ingat betul bagaimana kita dulu menghilangkat penat hidup kita. Bermain bersama, makan bersama, curhat-curhatan, saling pinjam uang, saling bully, gilanya bagi-bagi, sok tahu, ya begitulah. Aku menunggu saat-saat itu lagi.

Aku sudah punya teman baru, mereka juga. Aku mungkin 80% cerita segala hal yang baru kepada teman baruku, mereka juga. Tapi satu hal yang tak bisa aku lakukan ke teman baruku, yaitu mengulang dan merasakan hal yang sama saat dengan mereka dulu. Menurut Andre, teman sekelasku, Ada saatnya kita kembali ke masa dimana kita mengerti betapa berharganya orang itu disaat kita jauh. Sedikit lebay memang, tapi aku percaya itu.

Hanya sekedar bertemu lewat telepon saja aku senang, apalagi bisa memeluk mereka dan berteriak AKU BENCI RINDU INI, AKU BENCI KITA JAUH.

Menahan rindu memang sangat sulit, sangat sulit pula menceritakannya kepada orang yang tak mengerti. Iya memang.

 

Cukup aku saja yang tahu.

 

Ira, Wija, Eyin, Dita, Gina, Aku sayang kalian :) 

 

Ruangan berbuku,

Bogor, 5 Maret 2016

01.00 AM

               

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun