Mohon tunggu...
Bbgnn  bnnhghc
Bbgnn bnnhghc Mohon Tunggu... Bngn bbgn jjh

Hgbgnn hhncbvf bgggdb bngnnbv nnvbgj

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi dan Pengkhianatan: Benarkah MPR-RI Melenceng dari Amanat Rakyat?

6 Februari 2025   08:30 Diperbarui: 6 Februari 2025   08:30 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reformasi 1998, Mahasiswa menduduki gedung MPR (Sumber : Pinterest, Firman Dwi Novianto) 

Kritik Maklumat Yogyakarta: Nostalgia atau Tuntutan Perubahan? Mencari Solusi Konstruktif Tanpa Kehilangan Nilai Demokrasi. Apakah Kita Perlu Kembali ke Sistem Lama atau Mencari Jalan Baru?

Indonesia adalah negara yang telah mengalami berbagai perubahan sistem pemerintahan, mulai dari era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi. Salah satu isu yang kembali mengemuka adalah kritik terhadap sistem kelembagaan negara pasca-amandemen UUD 1945, sebagaimana yang disuarakan dalam Maklumat Yogyakarta. Maklumat ini menyoroti dugaan "pengkhianatan" MPR-RI dan menyerukan pengembalian sistem pemerintahan NKRI sebagaimana mestinya.

Namun, apakah benar sistem pemerintahan kita saat ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap NKRI? Apakah perlu kembali ke sistem lama, atau justru kita harus mencari solusi yang lebih relevan untuk menjawab tantangan zaman?

Perubahan Peran MPR dan Implikasinya

Sebelum reformasi, MPR memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR bertugas menetapkan GBHN serta memilih dan memberhentikan presiden. Namun, setelah amandemen UUD 1945 (1999--2002), sistem berubah:

1. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan berfungsi sebagai lembaga legislatif yang sejajar dengan DPR.

2. Pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR.

3. GBHN dihapus, digantikan oleh sistem perencanaan pembangunan nasional yang disusun pemerintah bersama DPR.

Perubahan ini dilakukan dengan harapan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan akuntabel. Namun, setelah lebih dari dua dekade, muncul pertanyaan: apakah reformasi ini benar-benar membawa kebaikan, atau justru menimbulkan masalah baru?

Ketidakkonsistenan Arah Pembangunan

Salah satu kritik utama terhadap sistem pasca-reformasi adalah hilangnya GBHN. Sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung, setiap pemimpin memiliki kebijakan pembangunan sendiri yang sering kali berbeda dengan pendahulunya. Akibatnya:

Pembangunan bersifat jangka pendek, lebih berorientasi pada masa jabatan lima tahun, bukan visi jangka panjang.

Banyak proyek strategis terhenti atau berganti arah setiap kali kepemimpinan berubah.

Tidak ada kesinambungan kebijakan, sehingga rakyat sering menjadi korban dari ketidakkonsistenan ini.

Apakah kita perlu mengembalikan GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional? Ini adalah pertanyaan yang layak untuk dipertimbangkan.

Demokrasi dan Tantangan Politik Uang

Pemilihan langsung telah membuka partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin. Namun, demokrasi yang kita jalankan juga tidak lepas dari berbagai tantangan, seperti:

Biaya politik yang tinggi, menyebabkan hanya segelintir orang dengan modal besar yang dapat bersaing dalam pemilu.

Maraknya politik uang, yang mengikis nilai demokrasi dan membuat pemimpin terpilih lebih berpihak kepada kepentingan elite dibanding rakyat.

Oligarki politik, di mana kekuasaan lebih banyak berputar di tangan kelompok tertentu.

Apakah sistem pemilihan langsung harus dievaluasi? Ataukah kita perlu mencari mekanisme baru yang lebih berimbang antara demokrasi dan efektivitas pemerintahan?

Sentralisasi vs Desentralisasi: Mencari Titik Tengah

Reformasi juga membawa perubahan dalam sistem desentralisasi, memberikan otonomi luas kepada daerah. Namun, dalam praktiknya, sistem ini menghadapi berbagai masalah:

Ketimpangan pembangunan antar daerah, karena kapasitas tiap daerah dalam mengelola anggaran dan kebijakan berbeda-beda.

Pelemahan koordinasi pusat-daerah, di mana kebijakan nasional sering kali tidak berjalan efektif di tingkat daerah.

Potensi penyalahgunaan wewenang, dengan beberapa kepala daerah lebih fokus pada kepentingan politik lokal daripada pembangunan nasional.

Jika kita ingin memperbaiki sistem pemerintahan, kita perlu menemukan keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi. Pemerintah pusat harus tetap memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, namun tanpa menghilangkan otonomi daerah yang telah menjadi bagian dari reformasi.

Mencari Solusi: Evaluasi, Bukan Nostalgia

Maklumat Yogyakarta menyuarakan kekecewaan terhadap sistem yang ada, namun solusi yang ditawarkan harus lebih dari sekadar "kembali ke sistem lama." Kita tidak bisa sekadar bernostalgia tanpa mempertimbangkan relevansi dengan kondisi saat ini.

Sebagai langkah ke depan, kita bisa mempertimbangkan beberapa solusi:

1. Mengkaji kembali GBHN dalam bentuk yang lebih adaptif, sebagai pedoman pembangunan jangka panjang tanpa harus kembali ke sistem MPR yang lama.

2. Mereformasi sistem pemilu, dengan mengevaluasi mekanisme pemilihan langsung agar lebih efisien, misalnya melalui kombinasi pemilihan langsung dan perwakilan.

3. Memperkuat koordinasi pusat dan daerah, dengan sistem yang lebih efektif dalam memastikan kebijakan nasional tetap selaras dengan kebutuhan daerah.

4. Meningkatkan transparansi politik, untuk mengurangi pengaruh oligarki dan politik uang dalam sistem demokrasi kita.

Kesimpulan

Kritik terhadap sistem pemerintahan bukanlah hal yang tabu, justru itu adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Namun, kritik harus disertai dengan solusi yang konstruktif. Kita harus belajar dari masa lalu, tetapi bukan berarti kembali ke sistem lama tanpa pertimbangan. Yang diperlukan bukan sekadar mengembalikan sistem kelembagaan seperti dulu, tetapi membangun sistem yang lebih adaptif, berkelanjutan, dan sesuai dengan tantangan zaman.

Mari kita bersama-sama mencari solusi, bukan sekadar terjebak dalam nostalgia atau polemik politik yang tidak produktif. Masa depan NKRI ada di tangan kita, dan perubahan hanya akan terjadi jika kita berani berpikir lebih jauh ke depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun