Salah satu kritik utama terhadap sistem pasca-reformasi adalah hilangnya GBHN. Sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung, setiap pemimpin memiliki kebijakan pembangunan sendiri yang sering kali berbeda dengan pendahulunya. Akibatnya:
Pembangunan bersifat jangka pendek, lebih berorientasi pada masa jabatan lima tahun, bukan visi jangka panjang.
Banyak proyek strategis terhenti atau berganti arah setiap kali kepemimpinan berubah.
Tidak ada kesinambungan kebijakan, sehingga rakyat sering menjadi korban dari ketidakkonsistenan ini.
Apakah kita perlu mengembalikan GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional? Ini adalah pertanyaan yang layak untuk dipertimbangkan.
Demokrasi dan Tantangan Politik Uang
Pemilihan langsung telah membuka partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin. Namun, demokrasi yang kita jalankan juga tidak lepas dari berbagai tantangan, seperti:
Biaya politik yang tinggi, menyebabkan hanya segelintir orang dengan modal besar yang dapat bersaing dalam pemilu.
Maraknya politik uang, yang mengikis nilai demokrasi dan membuat pemimpin terpilih lebih berpihak kepada kepentingan elite dibanding rakyat.
Oligarki politik, di mana kekuasaan lebih banyak berputar di tangan kelompok tertentu.
Apakah sistem pemilihan langsung harus dievaluasi? Ataukah kita perlu mencari mekanisme baru yang lebih berimbang antara demokrasi dan efektivitas pemerintahan?