Mohon tunggu...
Roneva Sihombing
Roneva Sihombing Mohon Tunggu... Guru - pendidik

Penyuka kopi, gerimis juga aroma tanah yang menyertainya. Email: nev.sihombing@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Dua Pasang Bahu di Teras Belakang Rumah Kakekku

30 Maret 2019   12:01 Diperbarui: 30 Maret 2019   16:34 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu sore di waktu yang lampau,

aku berdiri memandang ke luar rumah.

Rumah tua sudah dengan sentuhan modern yang pernah menjadi rumah bagi keluarga besar,

kini jumlah penghuninya tidak sebesar dulu.

Hawa dingin nan menusuk hingga tulang.


Dingin menggigit yang membuat gigiku gemeletuk.

Gerimis yang turun sejak subuh,

masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Aku merapatkan baju hangatku yang tebal.

Sore itu di teras belakang rumah kakekku,

aku melihat dua pasang bahu bersisian.

Dekat.

Karib.

Akrab.

Sore itu di teras belakang rumah kakekku,

aku melihat dua pasang bahu bersisian.

Menempel.

Lekat. Rekat.

Intim.

Mereka. Berdua. Kakekku dan nenekku.

Melalui tatapan mereka berdua aku melihat masa-masa di belakang mereka.

Kelahiran anak-anak..

Kematian anak karena sakit..

Anak-anak tumbuh. Kuat. Mandiri.

Tidak cukupnya makanan untuk semua anggota keluarga.

Anak-anak merantau meninggalkan rumah sederhana mereka.

Makan malam bersama hanya dengan lauk sambal hijau.

Luka menganga kehilangan kerabat, sahabat, sanak.

Panen yang gagal. Panen yang berhasil.

Kebun dijual.

Juga..

Agresi militer.

Gempita kemerdekaan pertiwi.

Duka perang.

Trilingual -bahasa daerah, bahasa nasional, bahasa Belanda-..

Bertahun-tahun berlalu...

Musim kehidupan terus berlanjut.

Anak-anak menyelesaikan pendidikan. Mendapatkan pekerjaan. Menikah.

Surat-surat dari desa menuju ke berbagai kota.

Anak-anak pulang dari perantauan.

Kelahiran cucu-cucu.

Cucu-cucu mengunjungi kampung halaman.

Tubuh menua, melemah dan mulai sering mandi air hangat.

Pernikahan cucu-cucu.

Kelahiran cicit.

Namun, bagi mereka berdua..

..yang telah melalui banyak musim kehidupan..

..yang menyaksikan kelahiran dan kematian..

..yang ditinggalkan orang-orang terkasih..

..yang melihat perubahan alam dari waktu ke waktu..

..yang menyaksikan pertumbuhan banyak orang..

Dinginnya hawa sore ini tidak ada apa-apanya..

Karena, mereka senantiasa ada bagi yang lainnya..

Karena, mereka senantiasa hadir bagi yang lainnya..

Waktu yang ada membuat mereka..

..menjadi nyaman satu dengan yang lain.

..menjadi sahabat bagi satu dengan yang lain..

..menjadi tempat berlabuh bagi satu dengan lain..

..menjadi tempat bersandar bagi satu dengan yang lain..

Aku mendengarkan mereka berdua bercerita.

Dalam kata-kata yang tak terucapkan.

Dalam diam yang disampaikan kepada hati.

Dalam tatap rindu yang terus tidak terurai.

Dua pasang bahu di teras belakang kakekku..

Bukti nyata cinta yang tak lekang waktu..

Yang tumbuh kuat melalui terpaan badai kehidupan.

Yang bertambah dalam melalui sukacita.

Yang terus menghangat setiap kali terkenang.

[Eulogi]

Puisi ini untuk kalian berdua.

Kakek. Nenek.

Dan kisah cinta dan hidup kalian..

..yang akan terus kami rayakan.

30 Maret 2019

- RS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun