Pada tahun 2025, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali disorot, bukan karena prestasi gemilang, melainkan karena noda kelam dalam tubuh birokrasi.Â
Dilansir dari Oke Nusra, Pengadilan Tipikor Kupang mencatat sedikitnya 12 kasus dugaan tindak pidana korupsi yang disidangkan sepanjang tahun 2025, dan ironi terbesar adalah mayoritas terdakwanya berasal dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka yang semestinya menjadi pelayan publik justru berubah menjadi penghianat kepercayaan rakyat.
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Di balik puluhan ASN yang terseret kasus korupsi, tersembunyi persoalan lebih dalam: sebuah sistem politik yang cacat sejak akar.Â
Seperti ungkapan Lasarus Jehamat, Dosen Fisip Undana Kupang, dalam wawancara bersama Oke Nusra, bahwa "Sistem politik memang buruk. Ini menjadi penyebab utama dan ketidakberesan sistem politik menyebabkan sistem hukum melempem."
Korupsi ASN bukanlah persoalan individu semata, melainkan manifestasi dari sebuah tatanan politik yang telah lama membusuk.
Politik Patronase
Dalam buku Patronase Politik dalam Perspektif Hukum Islam, Patronase Politik atau Politik  Patronase merujuk pada pola hubungan timbal balik antara individu atau kelompok yang memiliki status sosial-ekonomi lebih tinggi (patron) dengan mereka yang berada pada posisi lebih rendah (klien). Dalam hubungan ini, patron menyediakan akses terhadap sumber daya, perlindungan, atau peluang tertentu sebagai bentuk dukungan terhadap klien.
Sebagai kompensasi, klien diwajibkan menunjukkan kesetiaan, dukungan politik, atau pelayanan lain yang menguntungkan pihak patron. Relasi ini berlangsung dalam kerangka ketimpangan kekuasaan dan sering kali mengukuhkan dominasi sosial, sekaligus menghambat prinsip-prinsip meritokrasi dalam sistem sosial dan politik.
Di NTT, praktik politik patronase menjadi hal yang biasa terjadi. Dalam guyonan masyarakat NTT, praktik politik ini adalah "rahasia umum" (sesuatu yang rahasia tapi sudah diketahuibanyakorang.
Kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota yang naik melalui pertarungan politik mahal, kerap menganggap jabatan publik sebagai alat balas jasa. ASN yang berintegritas kadang tersingkir, digantikan oleh mereka yang "loyal" (mengarahkan dukungan selama Pilkada) kepada penguasa, bukan kepada prinsip pelayanan publik.