Benar-benar menguras tenaga tetapi kebiasaan itulah yang saya jalani ketika menjadi pekerja sosial. Bagaimana melayani orang dengan tulus meskipun tubuh benar-benar lelah.
Pekerja sosial adalah seseorang yang memberikan pelayanan sosial untuk banyak orang. Berdasarkan undang-undang, seseorang dianggap sebagai pekerja sosial apabila memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.
Umumnya, lulusan ilmu kesejahteraan sosial dan sejenisnya yang dianggap memiliki sertifikat kompetensi berupa ijazah.Â
Secara teori, lulusan ilmu kesejahteraan sosial memiliki pengetahuan yang cukup di dunia sosial. Akan tetapi, menurut penulis, seorang pekerja sosial tidak terbatas pada teori dan ijazah tetapi mencakup pengalaman kerja nyata di bidang sosial. Sehingga kemudian pekerja sosial tidak perlu dinilai dari berapa banyak ijazah yang dipegang atau berapa banyak teori yang dipahami, tetapi dinilai dari seberapa banyak pengalaman bekerja untuk orang banyak.
Terlepas dari perdebatan itu, menjadi seorang pekerja sosial adalah salah satu pilihan yang tak mudah. Tidak semua orang bisa mengambil pilihan itu karena Anda harus bekerja lebih banyak untuk orang lain dibandingkan dengan bekerja untuk keluarga dan diri Anda sendiri.
Seorang pekerja sosial harus bekerja ekstra mengembangkan mindset seiring dengan perkembangan zaman tanpa melupakan nilai-nilai sosial, kearifan lokal dan tradisi masyarakat itu sendiri. Harapannya masalah-masalah sosial yang sedang dihadapi masyarakat dapat diatasi.
Jika dalam praktiknya, seorang pekerja sosial bekerja dalam masyarakat yang kehilangan nilai sosial, kehilangan kearifan lokal dan budaya maka perjuangannya adalah mengubah mindset dan mengembalikan budaya itu.
Pengalaman penulis sejak 2018 menjadi pekerja sosial memang tidak mudah. Apalagi menjadi pekerja sosial di bidang pendidikan.Â
Penulis tak hanya mengajar di sekolah formal tetapi memberikan bimbingan belajar gratis untuk menguatkan dasar pengetahuan anak-anak.
Maka pengorbanan berupa tenaga dan waktu cukup terasa. Belum lagi membangun relasi dengan masyarakat dalam membangun sebuah community development.Â
Kedengarannya tidak berat tetapi jika Anda pelakunya, Anda akan merasakan betapa beratnya, apalagi terasa tak ada dampak signifikan dari apa yang dikerjakan.
Tapi itulah suka duka dari pekerja sosial. Dampaknya tidak bisa dilihat sekarang, tidak ada hasil yang instan dari sebuah perjuangan. Namun cepat atau lambat, banyak orang akan menikmati buah dari benih yang ditanam.
Beruntunglah saya, sebelum terjun sebagai pekerja sosial, saya tertolong dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi.Â
Saya memilih mengikuti UKM keagamaan dan juga UKM yang bergerak di bidang pendidikan. UKM keagamaan mengajarkan tentang sebuah pengorbanan waktu untuk melayani orang lain.Â
Saya ingat betul, setiap harinya saya harus pulang dari kampus tepat jam 7 malam, karena harus menyiapkan ibadah untuk mahasiswa, pembinaan rohani untuk mahasiswa dan sebagainya.
Benar-benar menguras tenaga tetapi kebiasaan itulah yang saya jalani ketika menjadi pekerja sosial. Bagaimana melayani orang dengan tulus meskipun tubuh benar-benar lelah.
Di bidang pendidikan, saya diajarkan untuk peduli dengan orang-orang yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan layak. Membantu menyalurkan bantuan buku bacaan, memberikan alat-alat tulis di pelosok-pelosok dan sebagainya.
Dari sini saya melihat bahwa, NTT secara khusus membutuhkan pekerja sosial yang lebih banyak. Cukup bergerak di bidang pendidikan karena itu adalah senjata untuk melawan kemiskinan, kata Nelson Mandela.
Dari tahun 2018 hingga 2020 saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman untuk tetap menjadi pekerja sosial.Â
Saya membangun komunitas belajar yang menyediakan perpustakaan, bimbingan belajar, memberdayakan anak-anak muda di bidang pertanian dan peternakan, memberdayakan perempuan penenun lokal.
Perpustakaan tersebut di rumah kami sendiri yang melayani pinjaman buku dan juga menjadi tempat membaca, di rumah kami juga saya gunakan untuk memberikan bimbingan belajar berbasis kontekstual, tanah kami saya sediakan untuk kebun kelompok anak-anak muda, hasil tenunan para penenun saya jual melalui media sosial.
Semua yang saya lakukan berdasarkan budaya dan kearifan lokal tanpa menagih seribu rupiah pun dari mereka masyarakat.Â
Saya beruntung, ketika mengikuti UKM di kampus, saya memiliki banyak teman yang menjadi sandaran utama saya, mereka banyak menolong saya.
Bahkan pada artikel ini saya ingin katakan bahwa tanpa teman-teman UKM selama saya kuliah, mimpi saya menjadi seorang pekerja sosial tidak menjadi kenyataan. Mengikuti UKM selama kuliahlah yang membuat jaringan relasi saya cukup luas.
Salam!!!
Kupang, 20 Desember 2021
Neno Anderias Salukh