Kedengarannya tidak berat tetapi jika Anda pelakunya, Anda akan merasakan betapa beratnya, apalagi terasa tak ada dampak signifikan dari apa yang dikerjakan.
Tapi itulah suka duka dari pekerja sosial. Dampaknya tidak bisa dilihat sekarang, tidak ada hasil yang instan dari sebuah perjuangan. Namun cepat atau lambat, banyak orang akan menikmati buah dari benih yang ditanam.
Beruntunglah saya, sebelum terjun sebagai pekerja sosial, saya tertolong dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi.Â
Saya memilih mengikuti UKM keagamaan dan juga UKM yang bergerak di bidang pendidikan. UKM keagamaan mengajarkan tentang sebuah pengorbanan waktu untuk melayani orang lain.Â
Saya ingat betul, setiap harinya saya harus pulang dari kampus tepat jam 7 malam, karena harus menyiapkan ibadah untuk mahasiswa, pembinaan rohani untuk mahasiswa dan sebagainya.
Benar-benar menguras tenaga tetapi kebiasaan itulah yang saya jalani ketika menjadi pekerja sosial. Bagaimana melayani orang dengan tulus meskipun tubuh benar-benar lelah.
Di bidang pendidikan, saya diajarkan untuk peduli dengan orang-orang yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan layak. Membantu menyalurkan bantuan buku bacaan, memberikan alat-alat tulis di pelosok-pelosok dan sebagainya.
Dari sini saya melihat bahwa, NTT secara khusus membutuhkan pekerja sosial yang lebih banyak. Cukup bergerak di bidang pendidikan karena itu adalah senjata untuk melawan kemiskinan, kata Nelson Mandela.
Dari tahun 2018 hingga 2020 saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman untuk tetap menjadi pekerja sosial.Â
Saya membangun komunitas belajar yang menyediakan perpustakaan, bimbingan belajar, memberdayakan anak-anak muda di bidang pertanian dan peternakan, memberdayakan perempuan penenun lokal.