Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Global Handwashing Day, Menjadi Semmelweis Masa Kini

15 Oktober 2020   08:01 Diperbarui: 15 Oktober 2020   09:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelukis Robert Thom menggambarkan Semmelweis (tengah) di Vienna General Hospital, Austria, saat mengawasi dokter mencuci tangan.

Hari ini, 15 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia / Global Handwashing Day (GHD). Hari besar internasional ini dicetuskan oleh Global Handwashing Partnership (GHP) dengan beberapa organisasi seperti UNESCO dan Unilever pada bulan Agustus 2008 di Swedia dalam suatu acara tahunan tepatnya di Stockholm.

Pada tahun itu pula, majelis Umum PBB menetapkan tanggal 15 Oktober sebagai hari terbaik untuk perayaan pertama kalinya. Kemudian perayaan pada tahun-tahun berikutnya tidak berubah hingga saat ini, 15 Oktober 2020 adalah perayaan Global Handwashing Day yang ke-12.

Pencetusan GHD bertolak dari tingginya angka kematian anak-anak akibat berbagai jenis penyakit pernapasan seperti flu, batuk dan diare. Dilansir dari Halodoc.com, penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri dan virus yang dapat menempel di tangan, lalu masuk ke dalam tubuh melalui anus, mulut dan hidung.

Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Amerika Serikat (CDC) juga menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen penyakit infeksi ditularkan melalui tangan.

Dilansir melalui CNN Indonesia, Husein Habsyi, seorang ahli kesehatan masyarakat mengatakan bahwa terdapat jutaan bakteri yang dapat menempel di tangan manusia. Diperkirakan setiap 1 cm persegi kulit tangan terdapat 1.500 bakteri.

Meski tak semuanya menyebabkan penyakit, beberapa bakteri yang menempel di tangan sangat berbahaya bagi manusia terutama anak-anak. Sehingga langkah antisipasi terbaik adalah rajin cuci tangan menggunakan sabun setelah berinteraksi dengan orang lain, atau memegang sesuatu yang kotor.

Mencuci tangan pakai sabun sangat penting karena terjadi kombinasi antara air dan molekul sabun yang menciptakan gelembung-gelembung sabun untuk menganggu ikatan kimia bakteri atau virus dan melukainya. Bakteri dan virus yang terluka oleh sabun akan hanyut terbawa oleh air dan membebaskan tangan dari berbagai macam kuman.

Namun, tahukah anda, praktek cuci tangan ini pernah ditolak lebih dari satu abad.

Pertama kali diperkenalkan oleh Dokter Hongaria, Ignaz Semmelweis yang bekerja di Vienna General Hospital di Austria. Bermula dari angka kematian akibat demam nifas pasca melahirkan yang ditangani bidan lebih kecil dari pasien yang ditangani dokter.

Kejadian yang menimbulkan tanda tanya ini diteliti oleh Semmelweis. Ia menguji sejumlah hipotesis untuk mengetahui penyebab demam nifas pada perempuan pasca melahirkan.

Dilansir dari National Geograpic, Semmelweis menyelidiki apakah posisi tubuh wanita selama kelahiran memiliki dampak? Apakah rasa malu diperiksa oleh dokter pria menyebabkan mereka demam? Apakah para ibu baru ketakutan melihat para pastor melayani pasien sekarat?

Karena pada masa itu, dokter tidak harus membersihkan tangan mereka seperti saat ini, Semmelweis meninggalkan hipotesis-hipotesis konyol itu. Ia menduga "partikel mayat" terbawa dari ruang jenazah ke pasien bersalin melalui tangan dokter. Menurutnya, patogen apa pun yang mereka dapat selama autopsi akan dibawa ke ruang bersalin.

Oleh karena itu, Semmelweis menerapkan praktik cuci tangan menggunakan larutan kapur diklorinasi yang dapat menghilangkan bau pembusukan mayat yang menempel pada tangan dokter untuk melihat resiko-resiko setelahnya.

Praktek ini berhasil mengurangi angka kematian ibu akibat demam nifas. Merasa yakin dengan teorinya, Semmelweis pun mengkampanyekan praktek tersebut di berbagai kalangan medis. Akan tetapi, teori tersebut hanya menjadi bahan tertawaan karena dianggap tidak memiliki dasar ilmu sains dan logikanya tidak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan.

Bahkan, ia harus mengangkat kaki dari Wina ke Pest, Hongaria karena menjalani masa-masa sulit. Rumah sakit tempat ia bekerja tidak mempraktekkan ilmunya lagi.

Maksud hati mencari tempat yang menerima ilmunya, teorinya masih mendapat penolakan dari beberapa kalangan medis di Pest meskipun praktek cuci tangan pakai sabun berhasil mengurangi kematian akibat demam nifas di Hongaria.

Namun, Semmelweis tidak berhenti sampai disitu. Ia terus gencar melakukan kampanye praktek cuci tangan dengan menulis. Pada tahun 1858 dan 1860 mempublikasikan sebuah artikel tentang praktik cuci tangan. Kemudian dilanjutkan dengan merilis sebuah buku praktik cuci tangan pada tahun berikutnya.

Meski bukunya banyak dikecam oleh para dokter yang mengajukan teori-teori lain terkait demam persalinan, ia seolah-olah tahu bahwa tulisan tidak akan hilang dan teorinya akan diakui suatu saat nanti walaupun ia tidak akan menyaksikan seluruh dunia mengakui teorinya.

Benar demikian, teorinya semakin hari semakin menguat dan semakin diakui di dunia medis. Sebagai bentuk penghormatan terhadap kegigihan Semmelweis mengampanyekan cuci tangan, Medical University of Budapest mengubah namanya menjadi Universitas Semmelweis.

GHD merupakan bentuk apresiasi bahwa mencuci tangan adalah hal sederhana, tetapi begitu penting dan bermanfaat. Khususnya tahun ini, kampanye praktek cuci tangan tidak menunggu 15 Oktober karena pandemi Covid-19 yang memaksa kita menggunakan cuci tangan pakai sabun sebagai senjata ampuh untuk melawan.

Akan tetapi, survei menunjukkan bahwa praktek cuci tangan pakai sabun sedang dalam tren menurun. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tentang "Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19" pada 7-14 September 2020, sebanyak 75,38 persen responden yang mengaku masih mempraktekkan cuci tangan pakai sabun selama 20 detik.

Sementara survei serupa yang dilakukan BPS pada April lalu, responden yang mengaku masih mempraktekkan cuci tangan pakai sabun selama 20 detik sebanyak 80,2 persen.

Artinya bahwa masih ada yang menolak teori Semmelweis. Tidak perlu teori yang kuat, ilmu pengetahuan yang canggih, cukup tidak mencuci tangan pada saat dunia mengandalkan cuci tangan pakai sabun sebagai senjata melawan pandemi, kita sudah ada pada barisan orang yang menolak teori Semmelweis.

Pilihannya ada dua, kita menjadi penerus Semmelweis untuk terus gencar menyuarakan praktek cuci tangan pakai sabun ataukah menjadi orang yang menolak teori tersebut.

Semoga di perayaan GHD, kita semakin sadar bahwa cuci tangan merupakan hal sederhana yang sangat penting untuk menjaga kesehatan.

Salam!!

Bacaan terkait.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun