Setahun kemudian, Jakarta kembali mengalami luka. Kedutaan Besar Amerika Serikat menjadi sasaran ledakan bom yang mirip seperti peristiwa JW Marriott; 9 orang tewas dan lebih dari 180 orang mengalami luka-luka.
Bulan Oktober kembali tercatat sebagai bulan yang membawa malapetaka setelah terjadi tiga pengeboman dalam waktu yang bersamaan pada tanggal 1 Oktober 2005; satu di Kuta dan dua di Jimbaran yang menyebabkan 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.
Setelah Bom Bali II, seakan terlupakan, kasus bom bunuh diri tidak terjadi lagi selama beberapa tahun hingga 17 Juli 2009, Hotel JW Marriott kembali menelan pil pahit. Bersama hotel Ritz Charlton, JW Marriott menjadi saksi bagi kematian 9 orang dan 50 lebih orang yang mengalami luka-luka.
Dan masih banyak kasus bom bunuh diri yang menerpa bangsa Indonesia. Meski tidak semua kasus bom bunuh diri tersebut disebabkan oleh radikalisme, kasus tersebut masih memiliki kesamaan dengan radikalisme yang patut diwaspadai di Indonesia karena mengancam toleransi yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun.
SETARA INSTITUT melalui riset yang dilakukannya berhasil mengungkapkan bahwa terdapat 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham radikalisme. Sedangkan Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyebut sekitar 23 persen Mahasiswa terpapar paham radikalisme.
Menurut Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto, hal tersebut di atas disebabkan karena anak muda berusia 17-24 tahun rentan terhadap penyebaran paham radikalisme dan terorisme, karena masih dalam fase mencari jati diri sehingga mudah dipengaruhi.
Kasubdit kontra propaganda direktorat pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Sujatmiko juga mengatakan bahwa tidak ada satupun institusi maupun kelompok di Indonesia yang dinilai kebal terhadap radikalisme.
Gerakan radikalisme ini pun identik dengan Islam karena beberapa organisasi Islam yang mengusung negara khilafah di Indonesia seperti HTI yang telah dibubarkan. Akan tetapi, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah dikatakan jauh dari label radikalisme. Sehingga citra Islam merupakan beban yang dipikul oleh NU dan Muhammadiyah.
Khususnya untuk Muhammadiyah yang didirikan oleh seorang pahlawan bangsa, Kiai Haji Ahmad Dahlan merupakan organisasi yang mengusung nilai-nilai islami dan berperan penting dalam reformasi pendidikan dan isu-isu sosial di Indonesia.
Pendirian Muhammadiyah merupakan bentuk protes dari Ahmad Dahlan atas penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah dimana menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Lebih dari itu, Muhammadiyah diharapkan menunjukkan ajaran Islam yang sebenarnya bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan untuk semua orang. Kehidupan yang moderat dan toleran kepada semua elemen bangsa.