Mohon tunggu...
Neng Yayas Ismayati
Neng Yayas Ismayati Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menjejakkan sejarah

Seorang Ibu Guru Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Bunda

22 September 2022   23:32 Diperbarui: 22 September 2022   23:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Arrrhhhhh...!"

            "Sayang, ada apa? Kenapa? Mimpi buruk lagi ya!?"

            Sekuat tenaga kukumpulkan kesadaranku sambil tak melepaskan cengkraman di lengan suamiku. Aku tak tahu sejak kapan jemari ini menempel di sana. Sepertinya wajah kekhawatiran suamiku bercampur perih karena kuku-kuku jariku menusuk lengannya.

            "Aku .... Aku ...." Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku.

            Keringat  mengalir dari dahi hingga daguku. Rambutku pun basah. Pelan kumulai mengatur napasku sambil membalas tatapan lelaki yang tak pernah sedikit pun memalingkan mukanya dariku ini.

            "Minum dulu, Sayang," katanya lembut sambil menyodorkan botol minum ukuran satu liter yang selalu tersedia di meja sebelah tempat tidur kami.

            Kusambut botol itu dan mulai menenggak isinya perlahan. Diam. Setelah air mineral itu membasahi tenggorokanku, aku hanya diam, mencoba berlalu dari tatapannya. Entahlah. Setiap mimpi itu kembali, yang ingin kulakukan hanyalah menghindar. Menjauh dari tatapannya, berlalu dari tanyanya. Selama ini suamiku hanya bisa menebak dan menerka-nerka apa yang kualami. Asumsinya bahwa aku bermimpi buruk setiap kali aku terbangun dengan histeris seperti ini. Setiap kali pula tak kuberikan jawaban memuaskan untuknya.

            "Enggak apa-apa, Ayah," jawabku setiap hal itu terjadi.

            Entah sudah berapa kali kejadian ini kualami. Yang kuingat hanyalah sejak aku menempatkan harapanku lebih tinggi dari sebelumnya, saat itulah mimpi-mimpi buruk ini menyapaku. Malam itu, untuk kesekian kalinya, bibirku kelu tak mampu menjelaskan apa pun yang di hadapan orang yang kucintai.

            "Sayang," sapanya lembut, seperti biasa.

            "Ya, Ayah," jawabku pelan.

            "Sayang, Bunda, sampai kapan mau menyembunyikan semuanya dari aku? Hampir setiap malam Bunda mengalami kejadian ini. Dan hampir setiap saat pula aku diliputi kecemasan setiap kali Bunda mulai terlelap. Aku selalu bertanya dalam hati, mungkinkah malam ini engkau akan terbangun lagi dalam keadaan histeris seperti ini."

            "Ayah...," potongku cepat sebelum dia melanjutkan kata-katanya.

            "Iya, Sayang," jawabnya sambil tak sedetikpun memalingkan matanya dariku.

            Pelan kuangkat kepalaku. Kucoba beranikan diri menemukan matanya. Mata yang selalu memancarkan kasih, sayang, dan cinta yang luar biasa untukku. Mata yang membuatku selalu ingin kembali padanya, pada rengkuhnya, peluknya, dan rimbun cintanya.

            "Sejak kita dipertemukan kembali, tak ada yang lain lagi yang kuinginkan di dunia ini selain menjadi seorang ibu. Tahun berganti, yang ada tetap kita berdua. Hingga mimpi-mimpi indah itu selalu datang dalam malam-malamku. Setiap akhir bulan aku bermimpi menimang seorang bayi. Bayi yang montok menggemaskan. Aku selalu terbangun dengan tersenyum setiap mimpi itu berakhir. Empat bulan berturut-turut. Lalu, suatu malam, aku dikejutkan dengan sebuah mimpi buruk. Bayi itu tak lagi ada dalam  pelukanku. Bayi itu hilang. Sekarang,  aku selalu bermimpi adegan yang sama, saat bayi itu direnggut sesuatu dariku. Dan aku tak pernah bisa mengambilnya kembali. Sampai malam ini aku tak pernah melihatnya lagi. Aku selalu didera rasa takut, Yah. Takut mimpi buruk itu benar-benar terjadi. Semakin hari rasa kehilangan itu semakin kuat. Hingga membuat dadaku sesak. Kehilangan itu serasa nyata, Yah. Nyata...! Huk huk huk." Akhirnya tangisku pecah.

            Lengan kokohya sigap menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Mataku pun menumpahkan air bah yang selama ini kubendung. Tak tahan lagi rasanya menyimpan kegalauan ini sendirian. Aku takut. Aku takut tak lagi punya kesempatan mewujudkan cita-citaku untuk menjadi seorang ibu, yang mengandung dan membesarkan anaknya sendiri.

            "Sabar yaa, Sayang. Kalau sudah waktunya, pasti akan kita dapatkan." Hibur  Suamiku yang selalu optimis.

            "Amin," jawabku pelan di antara isak tangisku.

***

            "Bunda, jangan lupa minum susu yaa, aku berangkat dulu," pesan suamiku sambil berjalan ke garasi untuk memanaskan mobilnya.

            "Siap, Bos!" jawabku.

            "Bunda... Bunda." Senyumnya selalu mengembang setiap pagi.

            Setelah mencium kening dan perutku yang mulai menonjol, suamiku pun berangkat. Tak lupa kucium punggung tangannya sambil mengingatkannya agar hati-hati di jalan dan pulang lebih cepat karena akan ada acara syukuran empat bulanan kehamilanku.

            Akhirnya aku hamil juga. Cita-citaku menjadi seorang ibu dalam hitungan bulan akan segera terwujud. Kandunganku sudah menginjak empat bulan. Orang tua, saudara, teman, kerabat, terkejut tak percaya saat kami menyampaikan berita gembira ini. Ekspresi mereka pun macam-macam. Ada yang bersorak kegirangan, berteriak, memelukku, mencubit kulitnya sendiri, membuktikan ini bukan mimpi, bahkan ada yang mengikuti kedua orang tua kami bersujud syukur. Mereka turut berbahagia akan kehamilan yang kunantikan selama belasan tahun ini. Benar kata suamiku, hanya dengan bersabar semua akan tiba pada masanya.

***

            "Yang kuat yaa, Bunda. Sebentar lagi bayi kita lahir," kata suamiku menguatkanku.

            "Maafkan aku, Ayah. Aku sering meragukan kesabaranmu, sering mengecewakanmu," jawabku sambil menatap matanya.

            "Bunda bicara apa sih? Sekarang waktunya Bunda bersemangat untuk melahirkan bayi kita. Bayi yang sudah lama kita nantikan. Bayi yang akan benar-benar memanggil bunda padamu dan ayah padaku. Orang tua dan adik-adik kita menunggu di luar. Menanti kehadiran bayi mungil kita. Bunda jangan banyak pikiran yaa. Ayo sambil berdoa semoga Tuhan memberikan Bunda kekuatan menghadirkan bayi kita ke dunia ini." Seperti biasa, dengan bijak dan tenangnya, suamiku terus menyemangati aku.

            Keringat membanjiri tubuhku. Sudah hampir sehari semalam rasa mulas dan sakit di perutku ini tak kunjung reda. Kini puncaknya aku harus mengeluarkan segala daya dan upaya untuk menyaksikan tubuh mungil yang sudah sembilan bulan bergelung di perutku. Kuhempaskan ketakutanku, kusingkirkan keraguanku, kukerahkan semua sisa tenagaku. Dokter dan para perawat di sampingku tak henti memberikan arahan dan semangat agar proses persalinanku lancar. Dalam setiap hela tarikan napasku, tak lupa kuucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas nikmat yang telah Dia berikan padaku selama penantian ini. Belasan tahun aku dan suamiku menanti kesempatan ini. Ribuan malam terhanyut dalam sujudku. Sindiran dan cibiran, telah kenyang kami telan. Keraguan dan kekhawatiran telah kami lewati. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu, yaaa Bunda sebenar-benarnya.

            Dengan dorongan yang paling kuat yang bisa aku lakukan disertai untaian doa yang tak pernah berhenti aku gumamkan, seorang manusia mungil terlahir ke dunia. Disertai tangisnya yang nyaring, suamiku memelukku erat sambil mengucap syukur. Alhamdulillah...kini aku seorang ibu.

            "Bunda! Bunda! Bunda!"

            Awalnya, seulas cahaya putih itu menyilaukan pandangku. Namun, perlahan cahaya tersebut bak air yang mulai menghangat. Kehangatannya perlahan menarikku. Kulihat kakiku tak bergerak sama sekali. Tapi tubuhku mendekat. Kupalingkan mukaku ke belakang. Tampak senyum suamiku semanis biasanya.  Dia tak sendiri. Ada sesuatu yang terbungkus kain lembut dalam gendongannya. Perlahan suamiku menyingkap kain tersebut. Tersembullah sebentuk wajah bundar menggemaskan dengan tangan dan kaki meronta pelan.

            "Bayi kita, Bunda. Anak kita." Bisik suamiku.

            Walau pelan, aku bisa menangkap jelas ucapannya. Tanpa kusadari tubuhku mendekati mereka yang langsung disambut pelukan suamiku. Tidak. Akulah yang memeluk mereka. Sekilas mata kami bergantian saling menatap. Aku dengan suamiku, dan aku dengan bayi itu. Tiba-tiba, tubuhku menjauhi mereka perlahan. tapi tak ada kesedihan dalam hatiku. Hatiku bahagia. Tubuhku mendekat cahaya putih itu, lalu perlahan mataku menggelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun