Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikmah dari Wafatnya Abu Thalib

27 September 2022   21:51 Diperbarui: 28 September 2022   15:20 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kajian Islam Ahad Subuh (KISAH) Masjid Al Ihsan Permata Depok, Pondok Jaya, Kota Depok, Minggu 25 September 2022 membahas tentang kajian shiroh "wafatnya Abu Thalib".

Materi kajian disampaikan oleh Ustadz Idrus Abidin, Lc, MA. Ini merupakan kelanjutan kajian pada bulan lalu yang mengupas tema yang sama. Berikut kajiannya.

Sebagaimana kita ketahui Bulan Rajab mengingatkan kita akan kesedihan mendalam yang dialami  Nabi Muhammad Saw saat itu. Saat itu, tahun ke-10 masa kenabiannya.

Wafatnya Abu Thalib adalah ujian berat yang dihadapi Rasulullah. Di tahun ini, Nabi mengalami banyak musibah berat. Di awal tahun, orang-orang Quraisy memboikot bani Hasyim.

Pemboikotan dimulai dari tahun ke-7 kenabian hingga ke-10. Sampai-sampai bani Hasyim tidak memiliki sesuatu untuk dimakan.

Baru saja bebas dari pemboikotan, Abu Thalib, sang paman, wafat. Kesedihan semakin mendalam karena paman Nabi meninggal dalam keadaan kafir.

Tiga hari kemudian, istri Nabi, Khadijah, wafat. Ujian terus berdatangan. Beliau semakin ditekan. Termasuk ditolak berdakwah di Thaif. Karena itu, wajar tahun ini disebut tahun kesedihan.

Abu Thalib, seorang paman yang selalu membela Nabi dengan penuh pengorbanan. Meski sang paman tidak mengakui Islam sebagai agama yang lurus.

Sang paman begitu sayang kepada keponakannya, Muhammad, sejak sang kakek, Abdul Muthalib wafat. Usia Nabi kala itu baru 8 tahun 2 bulan 10 hari.

Pengasuhan lantas diambil alih oleh Abu Thalib. Sang paman memberikannya kasih sayang yang begitu besar. Bahkan ia mendahulukan kepentingan Nabi dibanding anak-anaknya sendiri.

Kedekatan yang luar biasa dengan sang paman terjalin sedari kanak-kanak hingga masa kenabian.

Abu Thalib adalah seseorang yang telah banyak berjasa membantu dakwah Rasulullah. Saat Nabi Muhammad menerima wahyu dan mendakwahkannya, cinta Abu Thalib tidak berubah, meski ajaran yang dibawa keponakannya bertentangan dengan keyakinannya.

Sayangnya, hingga akhir hayatnya di usia 80 tahun, Abu Thalib tetap tidak mau mengucapkan kalimat tauhid "laa ilaaha illallah". Jika Abu Thalib masuk Islam, wibawanya di tengah kaumnya akan hilang.

Bahkan saat Rasulullah meminta Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat ini di akhir hayatnya, dia tetap tidak mau untuk mengucapkannya.

Bisa jadi karena pengaruh sahabatnya, Abu Jahal, yang selalu berada di sampingnya. Abu Jahal selalu mengingat Abu Thalib untuk tetap mengikuti agama nenek moyangnya.

Abu Jahal adalah orang yang paling takut jika Abu Thalib masuk Islam. Itu sebabnya, Abu Jahal selalu setia menemaninya saat sakit. Saat Rasulullah SAW ingin melihat Abu Thalib saat menjelang ajalnya, Abu Jahal sudah terlebih dahulu mendampingi Abu Thalib.

"Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan 'Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah.

Rasulullah berkata kepada Abu Thalib, "Wahai pamanku! Katakanlah 'laa ilaaha illallah', suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah untuk membelamu di sisi Allah".

Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, "Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?"

Rasulullah terus mengulang perkataannya, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan 'laa ilaaha illallah'." (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)

Alasan mengapa Abu Thalib diberi siksaan ringan di neraka, salah satunya karena ia tidak pernah memusuhi Nabi Muhammad. Meski Abu Thalib tidak mempercayai kenabiannya dan tidak mau membaca syahadat, namun ia tidak mau bermusuhan dengan keponakannya itu. Abu Thalib tetap mendukung dakwah Nabi.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Hikmah yang bisa diambil dari kisah Abu Thalib:

Pertama, orang-orang Quraisy memahami makna kalimat tauhid yang bisa membatalkan peribadatan mereka kepada berhala yang mereka sembah. Mereka memahami kalimat tauhid itu adalah lawan dari perbuatan kemusyrikan yang selama ini mereka lakukan.

Jika Abu Thalib sampai mengucapkan kalimat tauhid, itu artinya Abu Thalib telah membenci agama kemusyrikan.

Kedua, Abu Jahal bin Hisyam dan 'Abdullah bin Abi Umayyah selalu berargumentasi dengan Abu Thalib mengenai agama nenek moyang.

"Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?" begitu yang sering disampaikan keduanya ketika Abu Thalib dalam keadaan sakratul maut.

Ini adalah bentuk argumentasi yang sangat jelek dan tercela, mengingat nenek moyang mereka berada dalam kemusyrikan.

"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (QS. Az-Zukhruf 43: 22)

Ketiga, hindari pengaruh jelek dari teman pergaulan yang buruk. Hendaknya kita selalu waspada dan menjauh dari bergaul dengan teman-teman yang berpotensi membawa kejelekan.

Abu Thalib enggan mengucapkan kalimat tauhid, karena ketika dia sudah sakit parah dan hendak meninggal dunia, dia ditemani oleh teman-teman yang buruk.

Keempat, jika seseorang dipastikan meninggal dalam kondisi kekafiran, maka tidak boleh dimintakan ampunan (maghfirah) dan tidak boleh didoakan.

Allah berfirman dalam Alquran yang berkenaan dengan kisah Abu Thalib dan berisi larangan bagi Nabi SAW untuk memintakan ampunan bagi Abu Thalib.

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam." (QS. At-Taubah, 9: 113)

Kelima, status hukum seseorang yang meninggal dunia di atas kekafiran adalah kekal di neraka, sebagaimana Allah  berfirman dalam surat At-Taubah di atas.

" ... sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam." (QS. At-Taubah 9: 113)

Keenam, sesungguhnya hidayah taufik itu tidak ada yang memilikinya kecuali Allah. Manusia yang paling mulia sekali pun, yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak memiliki hidayah taufik.

Demikianlah hidayah. Meski ia akrab dengan seruan yang penuh hikmah, dan disampaikan berulang-ulang, jika Allah tidak berkehendak, tidak ada seorang pun yang mampu memberi petunjuk.

Allah berfirman, "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash 28: 56)

Siapa pun, termasuk Nabi hanya bisa berusaha, menampaikan risalah Islam dan mengajak orang menerimanya, tapi tidak bisa menjamin seseorang dapat menerimanya. Menjadikan seseorang beriman atau tidak adalah otoritas mutlak Allah SWT.

Ketujuh, syafaat Nabi kepada Abu Thalib adalah pengecualian dari firman Allah Ta'ala.

"Maka tidak berguna lagi bagi mereka (orang-orang kafir) syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at." (QS. Al-Muddatsir 74: 48)

Syafa'at Nabi kepada Abu Thalib itu bukan untuk mengeluarkan Abu Thalib dari neraka. Namun, hanya untuk meringankan adzab di neraka.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Sa'id Al-Khudhri radhiyallahu 'anhu, dia mendengar Rasulullah, yang ketika paman beliau, Abu Thalib, sedang diperbincangkan, beliau bersabda,

"Semoga syafa'atku berguna baginya pada hari kiamat, sehingga dia tidak diletakkan dalam neraka yang dalam, yang tingginya sebatas kedua mata kakinya, namun itu pun menjadikan ubun-ubun kepalanya mendidih." (HR. Bukhari no. 6564 dan Muslim no. 210)

"Ia berada di tempat yang dangkal (tidak berada di bagian dasar) dari neraka. Seandainya bukan karena aku niscaya ia berada pada tingkatan paling bawah di dalam neraka." (HR. Bukhari, no. 3883 dan Muslim, no. 209)

"Penghuni neraka yang paling ringan siksaannya adalah Abu Thalib. Dia memakai dua sandal (dari api) hingga mendidih otaknya (karena panasnya kedua sandal itu)."(HR. Muslim, no. 213)

Kedelapan, bahaya bertaklid buta terhadap budaya dan adat tanpa mempertimbangkan batasan-batasan syariat. 

Islam melarang umat Islam untuk bertaklid buta. Yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Alquran dan hadis. 

Biasanya, orang taklid buta tidak memperhatikan lagi apa yang diikutinya walau sudah bertentangan dengan Alquran dan hadis.

Allah SWT berfirman, "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: 'Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.' (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS al-Baqarah 2: 170).

Para ulama mensyaratkan, jika kita ingin bertaklid kepada suatu pendapat harus melihat betul pendapat siapa yang akan diikuti. Taklid hanya dibolehkan kepada para mujtahid yang benar-benar mengerti hukum-hukum Islam. Perkara yang boleh ditaklidi hanya hal-hal yang berhubungan dengan syara (hukum).

Demikian. Semoga memberikan pencerahan.

Wallahu 'alambishowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun